OPINI | POLITIK
“Pekerjaan yang serius dilakukan oleh tenaga pendidik kurang dipandang serius oleh penguasa negara ini yang belum mampu mengurus secara adil kesejahteraan para guru honorer”
Oleh : Karin Kurniawan, S.Pd
SUDAH sering terdengar di telinga kita, bahwa gaji honorer dinegara ini sangat memprihatinkan. Jauh dari kata layak dibandingkan dengan kewajiban yang harus mereka tunaikan yaitu mendidik generasi agar cerdas dan mampu memimpin negeri ini di masa depan. Banyak guru yang mengeluh bahkan saya sendiripun sebagai seorang guru juga merasakan keluh kesah gaji yang sedikit sedangkan kebutuhan pokok semakin meningkat.
Malah ada sebuah peristiwa dimana saat mengajar gaji guru tersebut tidak dikeluarkan, sebagaimana dikutip dari data CNN.Indonesia. Gaji guru ini tidak dibayar selama 3 bulan. Di tempat yang berbeda, ratusan guru di Teluk Bintuni mogok mengajar sebagaimana di lansir oleh Tribun-Medan.com yang menjelaskan tangis guru SMPN 15 pecah diteror dan gaji belum dibayar.
Betapa mirisnya seorang guru di sistem ini, mereka tidak dihargai, gaji ditahan sedangkan gaji yang didapatkan juga belum tentu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan bahkan tidak bisa menjadikan mereka hidup sejahtera.
Mencoba untuk menghibur, Boby Nasution seakan membawa angin segar bagi para guru dengan berjanji menaikan intensif gaji guru honorer dari 250.00 menjadi 400.00 ribu disekolah negeri dan swasta. Tentu hal ini disambut baik oleh para guru walaupun tetap gaji 400 ribu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Guru adalah profesi yang mulia tapi dihinakan dengan gaji yang rendah sedangkan tuntutan administrasi dan kebutuhan pokok sangat banyak sekalinya. Tentu hal ini tak akan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi mereka.
APBD Kota Medan tidak sanggup mengeluarkan lebih dari 400.000 ribu untuk menggaji guru, inilah bukti lemahnya sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Sudah umum diketahui bahwa guru adalah profesi serius namun digaji seperti bermain-main. Pekerjaan yang serius dilakukan oleh tenaga pendidik kurang dipandang serius oleh penguasa negara ini yang belum mampu mengurus secara adil kesejahteraan para guru honorer.
Sementara profesi publik figur yang secara umum menghibur, punya penghasilan yang sangat serius alias sangat besar. Negara hari ini masih belum mampu memberikan kesejahteraan kepada profesi guru honorer artinya guru tidak dianggap lebih penting dibandingkan dengan profesi lainnya.
Sistem Islam memberikan penghargaan tertinggi kepada para guru sebagai pendidik generasi. Sebagai contoh pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang saat itu menggaji guru di Madinah. Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khathab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp 1 juta saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp63.000.000).
Begitu pula di masa Shalahuddin al-Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khabusyani misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah (jika 1 dinar= 4,25 gram emas; 40 dinar= 170 gram emas; bila 1 gram emas harganya Rp 1 juta, gaji guru pada saat itu tiap bulannya sebesar Rp. 170 juta).
Inilah rahasia mengapa ilmu dan peradaban umat Islam bisa berjaya dimasa itu, karena para guru/pengajar diposisi sebagai pahlawan dengan tanda jasa sepenuhnya! (*)
*Penulis Adalah Aktivis Pendidikan