Penulis: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan, (*)
Lapan6online.com : Sungguh parah negara ini. Kooptasi kampus sudah masif. Negara rasa zaman penjajahan.
Suara kritis dibungkam atas nama radikalisme, intoleran, atau sejenisnya. Setelah di UGM acara diskusi dirusak dan pembicara diteror habis, kini Majelis Wali Amanat ITB diganggu oleh permintaan Gerakan Anti Radikalime Alumni ITB.
Prof Din Syamsuddin merasa harus mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebagai anggota Majelis Wali Amanat ITB demi “harmonia in progressio”.
Korban radikalisme kampus. Permainan politik murahan.
ITB yang telah menghasilkan pejuang dan proklamator bangsa sekelas Ir. Soekarno haruskah mencoreng diri di masa rezim Jokowi ? Tangan tangan anti demokrasi, anti kritik, berbau kolonialis bisa mengobrak-abrik kampus ? Bandung kota perjuangan. Kampus sekelas ITB seharusnya memperlihatkan citra yang membanggakan, otonom, dan progresif.
Prof Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, serta tokoh yang malang melintang dalam organisasi perdamaian dunia. Menjadi pengurus di lembaga-lembaga yang menyerukan pentingnya toleransi antar agama. Tak ada bawaan atau watak membuat makar atau yang para sampah sebut radikal.
Aneh jika Ketua MWA Yani Panigoro “ngotot” untuk menyingkirkan Prof Din, apakah karena ia adalah tokoh Islam yang kritis? Jaringan luas yang dimiliki sangat membantu untuk merealisasikan semangat ITB sebagai a world class university. Sayangnya keluasan itu berbalas kesempitan pandangan di internal ITB sendiri. Memasung kebebasan akademik.
Secara pribadi bagi seorang Din Syamsuddin diyakini tidak terlalu penting untuk tetap menjadi anggota Majelis Wali Amanat. Dengan mudah untuk mengundurkan diri. Akan tetapi budaya intoleran, menekan, dan radikal oleh gerakan palsu anti radikalisme adalah merendahkan martabat alumni perguruan ternama di kota Bandung ITB.
Sungguh sangat prihatin pada kehancuran dunia kampus di Indonesia. Para akademisi yang semestinya berfikir obyektif, analitis, logis, serta kritis nampaknya telah dirusak oleh kekuatan kolonialis, pragmatis, dan mungkin agen kapitalis atau komunis. Para Pencercah berhati kusam.
Sebenarnya tak ingin mencampuri urusan yang bukan almamater sendiri, tapi hati ini teriris dan harus berteriak kepada kekuatan para penjajah. Anda telah berhasil menghancurkan kampus-kampus kami!.
Untuk saat ini. Tapi yakinlah tidak untuk selamanya. Kami segera merdekakan!
Bandung, 28 Juni 2020, (*)