“Kebijakan pemerintah pusat pun tak jelas arah hingga tak jarang menuai kritik dari pejabat daerah. Hingga kebingungan di tingkat gubernur dalam mengaplikasikannya di saat PSBB, sebab moda transportasi dibuka kembali,”
Oleh : Desi Yunise, S.TP
Jakarta | Lapan6Online : Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah pembatasan sosial yang diterapkan di Indonesia terkait upaya melawan pandemi dan memutus penyebaran rantai virus corona.
Di negara lain, pembatasan sosial hingga lockdown juga dilakukan untuk mengatasi penyebaran COVID-19 ini namun manfaat pembatasan sosial di Indonesia dinilai paling buruk dibanding negara-negara tetangga. (Detiknews, 20/5/2020).
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan atau INDEF, Didik J Rachbini, Rabu (20/5/2020) mengatakan bahwa Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi COVID-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibanding dengan tingkat kesuksesan negara-negara tetangga di ASEAN.
Didik mengutip data dari Endcoronavirus (ECV) yang merupakan koalisi relawan internasional, mengaku disokong 4.000 relawan, terdiri dari ilmuwan, organisator masyarakat, warga yang peduli, pebisnis, dan individu. ECV dimulai sejak 29 Februari 2020 pada organisasi induk New England Complex Systems Institute (NECSI) di Cambridge, Amerika Serikat.
Dalam data Endcoronavirus, kurva virus Corona dari negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) bisa dibandingkan. Didik membandingkan kurva Corona di Indonesia dengan kurva Corona Singapura, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Hasilnya, hanya Indonesia saja di antara negara-negara itu yang kurvanya nampak menanjak tanpa penurunan signifikan.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, masih ada penularan virus corona yang menyebabkan kasus konfirmasi positifnya bertambah.
Berdasarkan data pemerintah yang masuk hingga Rabu (20/5/2020) pukul 12.00 WIB, ada 693 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total ada 19.189 kasus Covid-19 di Indonesia, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. (Kompas.com, 20/5/2020).
*Inkonsistensi PSBB Menuai Masalah*
Polemik terhadap kebijakan pemerintah sudah dimulai kala presiden membolehkan pulang kampung dan larangan mudik, hingga pelonggaran PSBB dan pengaktifan moda transportasi. Sekumpulan kebijakan yang tumpang tindih menjadikan arah kebijakan menjadi tidak jelas.
Edukasi dan sosialisasi yang tidak tuntas dijalankan pemerintah pun berakibat pelanggaran PSBB terjadi di sana- sini.
Mayoritas masyarakat mengalami dilema antara tuntutan ekonomi keluarga dengan resiko tertularnya Covid-19.
Bagai buah simalakama, keluar resiko tertular sementara di rumah resiko kelaparan yang jadi persoalan.
Masyarakat pun terpaksa mengambil langkah penuh resiko yang bukan hanya membahayakan dirinya namun juga bagi orang lain.
Mereka pun tetap mencari nafkah demi menyambung hidup. Bansos yang dikucurkan pun tak mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga terdampak.
Meski PSBB telah diberlakukan di beberapa daerah, namun penambahan jumlah kasus baru Covid-19 belum juga berkurang. Bahkan cenderung naik secara signifikan, menyusul adanya pelonggaran PSBB. Pelonggaran PSBB ini diikuti oleh pengaktifan moda transportasi oleh menteri perhubungan.
Hal ini pun membangkitkan kekecewaan publik, utamanya tenaga medis.
Kerumunan dan antrian penumpang di bandara Soekarno Hatta yang nerlangsung pada Kamis, 14 Mei 2020 membuat tenaga kesehatan merasa pengorbanan yang mereka lakukan seolah sia-sia.
Sebenarnya, apakah pemerintah peduli dengan keselamatan rakyat atau tidak? Atau pemerintah lebih mementingkan pertimbangan ekonomi meski harus mempertaruhkan nyawa rakyatnya sendiri?
Butuh Kebijakan Efektif dan Komprehensif
Agar sebuah kebijakan dapat berjalan sukses setidaknya ada ada 3 gaktor yang perlu menjadi fokus perhatian:
Pertama, kebijakan harus diambil dengan tepat dan konsekuen dilaksanakan berikut konsekuensinya.
Kedua, kebijakan akan berhasil jika didukung banyak pihak.
Ketiga, masyarakat melaksanakan kebijakan dengan penuh kesadaran.
Sudah semestinya karantina wilayah yang menjadi pilihan, sebab penyebaran Covid-19 dapat sesegera mungkin dilokalisir. Inilah solusi paling efektif dalam mencegah penyebaran wabah.
Pemerintah cukup memberi jaminan berupa makanan pokok bagi rakyatnya selama karantina tersebut dilakukan. Itu pun hanya berlangsung di wilayah yang terkategori zona merah.
Pemerintah semestinya tuntas melakukan sosialisasi dan edukasi. Tentu, jika ini dilakukan dukungan akan mengalir dari mana-mana, baik dari tokoh, tenaga ahli, tenaga medis, bahkan rakyat sendiri.
Nyatanya, kebijakan pemerintah pusat pun tak jelas arah hingga tak jarang menuai kritik dari pejabat daerah. Hingga kebingungan di tingkat gubernur dalam mengaplikasikannya di saat PSBB, sebab moda transportasi dibuka kembali.
Hal ini pun menunjukkan buruknya koordinasi pusat dengan daerah. Sekaligus menyingkap adanya ketidakharmonisan anyara pemerintah pusat dan daerah.
Sangat ironis !
Faktor ketiga adalah kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat muncul manakala masyarakat terdidik dengan baik. Mereka menjalankan kebijakan bukan hanya semata-mata takut akan sanksi namun sekaligus sebagai kewajiban. Sebab Alah SWT mewajibkan rakyat patuh kepada penguasa.
Di samping itu rakyat pun melakukan kritik yang merupakan aktifitas penting dan mulia. Di saat yang sama, pemerintah pun tak anti terhadap kritik rakyat.
Semuanya itu sulit direalisasikan dalam masyarakat kapitalistik seperti saat ini. Sebab masing masing cenderung egois dan tak memperhatikan kaidah halal haram. Rakyat dan penguasa berbuat bebas sesukanya. Pemerintah pun tak memiliki tanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat kecuali hanya ala kadarnya kalau tidak mau dikatakan cenderung lepas tanggung jawab.
Kita patut belajar bagaimana masyarakat islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang melahirkan masyarakat unik.
Rasul SAW mengibaratkan masyarakat seperti menumpang sebuah kapal. Di sinilah pentingnya keseragaman dalam pemikiran, perasaan dan aturan dalam sebuah kapal.
Agar semua selamat sampai tujuan, tidak dibenarkan antara nakhoda dan penumpang memiliki pemikiran sendiri sendiri. Mereka harus punya kesatuan pemikiran. visi dan misi. Jaminan kesatuan ini hanya terjadi jika mereka menggunakan satu standar yaitu halal dan haram. boleh atau tidak boleh sesuai syariat.
Mereka pun bahu membahu dalam amar makruf nahi munkar. Jangan sampai ada pihak manapun yang melubangi kapal sehingga semua mereka bisa tenggelam. Agar keberlangsungan kapal bisa selamat maka nakhoda kapal harus mengadopsi aturan yang wajib dipatuhi bersama.
Nakhoda pun menjaga keselamatan kapal sesuai tuntunan dan aturan main yang telah ditetapkan hukum Allah SWT. Itulah gambaran masyarakat islam yang diikat dengan ketentuan halal dan haram. Inilah gambaran sebuah masyarakat ideal yang akan selamat. Wallahu a’lam bis shawab. GF/RIN/Lapan6 Group