Herd Immunity Antara Keterpaksaan Dan Keterlambatan Penanganan

0
80
Siti Ningrum, M.Pd
“Akibat dari keterlambatan dalam pengambilan sebuah kebijakan dan kurangnya kordinasi. Kita sebagai rakyat Indonesia hanya bisa berharap dan berdoa semoga tidak seperti apa yang diprediksikan oleh para ahli kesehatan itu,”

Oleh : Siti Ningrum, M.Pd

Jakarta | Lapan6Online : Covid-19 masih menjadi perbincangan hangat dan trending topic nomor 1 di dunia. Memasuki bulan ke-2, yaitu bulan April 2020, seperti dikutip sumber covid19.go.id pertanggal 10/4/2020 pukul 16.34, di Indonesia pandemi ini telah mencapai angka 3.512 kasus + 219 yaitu 2.924 dirawat, 306 meniinggal, 282 sembuh.

Hingga saat ini ini kasus tertinggi adalah di DKI Jakarta yaitu positif Covid-19 1.753 disusul peringkat ke-2 Jawa Barat 388, urutan ke-3 256 Jawa Timur dan Banten 243 ada di posisi ke-4.

Penyebaran Covid-19 atau Corona Virus Disinfectant begitu masif menyerang manusia.

Pemerintah pusat memberlakukan PSBB dan darurat kesehatan, belum mengambil kebijakan Lockdown sebagai pilihan dan jalan keluar menghadapi ganasnya serangan oleh virus asal china ini.

Kebijakan ini menuai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat mengingat penyeberan virus yang semakin banyak memakan korban. Apalagi ketika muncul alternatif lain untuk mencegah penyebaran Covid-19 ini dengan Herd Imunity.

Pro dan kontra pun terus bergulir bak bola salju di tengah masyarakat yang semakin gelisah dan cemas terhadap fenomena pandemi yang telah menewaskan banyak orang ini.

Herd Immunity (kekebalan kelompok) adalah imun secara alami yang timbul dari tubuh masing-masing. Tentu saja makin menambah kepanikan, sebab hanya mereka yang kuat imun (kekebalan tubuh) saja yang bisa bertahan terhadap virus dan yang lemah kekebalan tubuhnya akan kalah oleh virus (meninggal).

Untuk mencegah virus meluas, herd immunity bukan kali ini saja santer terdengar namun pernah diuji coba di negara-negara lain. Tentu yang terjadi adalah sebuah negara akan kehilangan generasi. Cara ini tidak behasil maka ini sebisa mungkin tidak boleh terjadi dan diambil sebagai kebijakan dan strategi mencegah buasnya virus covid19 ini.

Kendati bisa mengatasi penyebaran pandemi, konsep ini justru dinilai mengerikan karena virus akan terus dibiarkan menyebar dan menginfeksi banyak orang terlebih dahulu. Para ahli bahkan memperkirakan butuh 60-70 persen orang yang terinfeksi untuk membentuk populasi yang kebal hingga akhirnya mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).

Berdasar kutipan cnn Indonesia (3/4/2020), tiga negara di Eropa yakni Inggris, Belanda, dan Swedia sempat merencanakan penerapan konsep herd immunity untuk menghentikan penyebaran virus corona. Namun, ketiga negara kemudian membatalkan strategi tersebut karena berisiko cukup besar.

Seharusnya setiap negara yang terpapar virus ini menyiapkan langkah-langkah tepat agar tidak terjadi herd immunity sebab akan terjadi secara alami ketika pada awal proses pencegahan serangan virus ini dilakukan parsial dan tidak komprehensif.

Tahapan awal proses yang seharusnya dilakukan dan diimplementasikan oleh pemerintah adalah kebijakan lockdown secara serentak dengan menutup pintu masuk dan keluar Indonesia. Namun sayang bahwa pemerintah pun tidak menetapkan local transmitted secara serentak. Ini akan membentuk herd immunity.

Apa itu herd immunity dan bagaimana cara kerjanya?
Herd immunity mengacu pada situasi di mana cukup banyak orang dalam suatu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.

Kekebalan tersebut bisa berasal dari vaksinasi atau dari orang yang menderita penyakit tersebut. Seberapa banyak orang yang dibutuhkan untuk menciptakan kondisi itu tergantung pada seberapa menularnya patogen tersebut.

Wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Dengan begitu virus akan sulit menemukan host atau inang untuk menumpang hidup dan berkembang.

Kondisi itu disebut dengan herd immunity atau kekebalan kelompok.
Untuk mencapai kekebalan kelompok, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen agar sel memori imun merekam ciri-ciri patogen penyebab penyakit. Caranya bisa ditempuh dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit secara alami.

Sebaliknya vaksin meminimalisir risiko tersebut karena patogen telah dilemahkan, diuji coba, dan terjamin aman. Dengan vaksinasi, penyebaran infeksi kepada kelompok berisiko bisa ditekan dengan memilih kelompok kuat untuk dijadikan populasi kebal. Namun perlakuan ini nampaknya belum bisa diterapkan untuk kasus COVID-19 karena vaksinnya belum ditemukan.

Berdasarkan data (BPS) jumlah penduduk lansia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan asumsi tersebut pemodelan kelompok rentan yang harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa. Jumlah tersebut belum ditambah kelompom rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi.

Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka bisa jadi Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang terinfeksi.

Jika melihat perhitungan angka-angka prediksi di atas maka Indonesia akan mengalami kerugian dengan banyaknya nyawa yang hilang. Belum lagi 27 dokter sudah menjadi korban akibat kekurangan APD.

Tapi itulah yang terjadi, akibat dari keterlambatan dalam pengambilan sebuah kebijakan dan kurangnya kordinasi. Kita sebagai rakyat Indonesia hanya bisa berharap dan berdoa semoga tidak seperti apa yang diprediksikan oleh para ahli kesehatan itu.

Terkait persoalan covid-19 ini, Allah swt. tidak akan menurunkan bencana secara tiba-tiba melainkan manusialah yang mengundang bencana itu sendiri. Seperti firman Allah swt:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]: 41).

Wabah pandemi ini bukan kali pertama terjadi. Sejarah pernah mencatat bagaimana wabah pandemi sebelumnya telah melanda dunia dan Indonesia khususnya, seperti virus SARS, MERS dan H1N1. Seharusnya, Indonesia dapat mengambil pelajaran berdasar dua pengalaman dan peristiwa tersebut.

Penanganan wabah dalam sistem kapitalis vs sistem Islam
Dalam sebuah negara yang menganut sistem kapitalisme, asas perhitungan materi menjadi bagian penting yang tidak mudah dikesampingkan terhadap sebuah kebijakan meskipun bermuara pada kerugian di masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme, negara-negara berkembang apalagi Indonesia sangat sulit mengambil kebijakan secara mandiri.

Tidak menutup kemungkinan bantuan yang datang dari negara negara kapitalis terkait wabah ini sarat dengan kepentingan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Sistem kapitalisme tunduk pada kekuatan global dan pernjanjian perjanjian yang mengikat melalui pinjaman hutang dan ini akan menjadi ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara.

Indonesi adalah salah satu negeri yang menganut sistem ekonomi liberal dan kapitalistik ini tentunya tidak bisa secara bebas menentukan kebijakan dalam negerinya. Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam dalam menangani wabah ini.

Berikut adalah langkah-langkah yang akan diambil:
Negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan covid-19.

Sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Kemudaratan atau bahaya itu sendiri apa pun bentuknya wajib dicegah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan Khudri ra, artinya: “Tidak ada mudarat (dalam Islam) dan tidak boleh menimbulkan mudarat (penderitaan).”

Apapun alasannya, tidak dibenarkan bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator.

Negara wajib melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah. Yang pada kasus ini adalah Cina– karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda melalui lisannya yang mulia, “Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bebas dari agenda imperialisme karena diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala apa pun bentuknya.

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS An-Nisa: 141).

Sehingga, wajib mandiri dalam menyikapi wabah, tidak bergantung pada sebuah negara dengan kepentingan imperialisme.

Negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan.

Baik untuk tujuan pencegahan dan mengatasi wabah sesegera mungkin, maupun untuk tujuan menimbulkan rasa sungkan dan takut terhadap negara imperialis, pelaku kejahatan agenda hegemoni senjata biologi, sebagaimana diperintah Allah subhanahu wa ta’ala, yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”.

Negara wajib melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat.

Hal ini dapat ditempuh melalui pembagian segera asupan bergizi kepada setiap individu masyarakat terutama kalangan miskin.

Selain itu, pemerintah juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan publik demi terwujudnya sistem imun yang tangguh, baik pangan bergizi, sanitasi dan air bersih hingga perumahan dan pemukiman yang sehat.

“Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Ketersediaan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai dan mudah diakses kapan pun, di mana pun dan oleh siapa pun.

Di samping itu juga disertai kelengkapan alat kedokteran dan obat-obatan terbaik yang efektif bagi penangan masyarakat yang dicurigai dan atau terinfeksi wabah termasuk Covid-19. Pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara cuma- cuma.

Anggaran berbasis baitul mal dan bersifat mutlak.
Dalam Islam, baitul mal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat sehingga negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya termasuk fungsinya sebagai pembebas dunia dari penderitaan bahaya wabah.

Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pencegahan dan penanggulangan pelayanan kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini untuk sesuatu yang ketiadaannya berakibat kemudaratan, maka wajib diadakan negara.

Bila dari pemasukan rutin tidak terpenuhi, diatasi dengan pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sesuai jumlah kebutuhan anggaran mutlak.

Kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi. Ditegaskan oleh Rasulullah saw yang artinya, “Apabila dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”. Aspek ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai untuk pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dalam penanggulangan dan pembebasan dunia dari serangan wabah mematikan.

Pelaksanaan prinsip sahih ini beserta keseluruhan ketentuan syariat Islam secara kafah sebagaimana yang telah dibuktikan dalam masa peradaban dan kejayaan islam di masa lalu.

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107). Wallohu’alam Bishowab. GF/RIN/Lapan6 Group

*Penulis adalah Praktisi pendidikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini