Hilangnya Empati Wakil Rakyat di Tengah Kenaikan Harga BBM

0
63
Ihsaniah Fauzi Mardhatillah/Foto : Istimewa

OPINI | POLITIK

“Ironi sungguh memalukan. DPR berleha-leha di dalam ruangan yang merayakan hari ulang tahun Puan Maharani, sedangkan rakyat memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM,”

Oleh : Ihsaniah Fauzi Mardhatillah

AKSI unjuk rasa menolak kenaikan BBM pada Selasa, 06 September 2022 di depan gedung parlemen berbarengan dengan perayaan pesta ulang tahun Puan Maharani di Ruang DPR RI menimbulkan banyak kontra. Pasalnya anggota dewan malah bersenang-senang di atas penderitaan rakyat karena naiknya BBM. Itu menandakan hilangnya empati wakil rakyat di tengah kenaikan harga BBM.

Salah satunya yang kontra dari Peneliti Formappi, Lucius Karus. Ia yang telah menyoroti aksi DPR karena dianggap sibuk berpesta ketika massa menolak kenaikan harga BBM.
Menurutnya, ironi sungguh memalukan. DPR berleha-leha di dalam ruangan yang merayakan hari ulang tahun Puan Maharani, sedangkan rakyat memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM.

Jika dilihat, naiknya harga BBM memperlihatkan bahwa penguasa telah hilang rasa empatinya terhadap rakyat. Banyak pertanyaan asbun atas permasalahan rakyat yang terlontar dari mulut para pengusaha. Salah satunya, dengan adanya kenaikan pada BBM rakyat malah disuruh pindah ke mobil/motor listrik. Begitu juga ketika minyak mahal, masyarakat diminta merebus dan mengkukus masakan dan lainnya.

Tentunya pernyataan yang dijawab asal bunyi (asbun) dan menyakiti perasaan masyarakat, terutama rakyat kecil. Sungguh jauh dari kata empati jika kita melihat dari kebijakan yang ditetapkan seperti halnya DPR tetap merayakan ulang tahun Ketua DPR bersama hari jadi DPR.

Seperti yang kita ketahui, pemimpin dalam pandangan politik demokrasi hanyalah kekuasan untuk kepentingan para kapitalisme bukan untuk kemaslahatan rakyat. Terdapat tiga sistem yang disebut sebagai biang kerok atas hilangnya rasa empati para penguasa terhadap rakyat, yakni:

Pertama, hubungan penguasa dan rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis bagaikan penjual dan pembeli. Penguasa sebagai pihak penjual sedangkan rakyat sebagai pihak pembeli yang sering dipaksa membeli produk apa saja yang disediakan pengusaha. Sehingga yang dihitung untung rugi bukan kemaslahatan rakyat. Tentunya yang untung para kapitalis dan penguasa, yang dirugikan pastinya rakyat banyak. Jadi tidak ada sama sekali periayahan dari penguasa buat rakyatnya. Tak heran jika hilangnya empati saat rakyat menuntut haknya.

Kedua, Sistem demokrasi kapitalisme sesungguhnya berada di tangan para pemilik modal, seperti halnya jual beli kebijakan dan jabatan. Wajar saja apabila kebijakan hanya seputar mereka yang duduk di kursi legislatif, eksekutif, yudikatif, karena sistem politik demokrasi memunculkan banyak celah untuk para pejabat. Ketiga, memisahkan agama dari kehidupan sehingga tidak pernah melibatkan Allah sebagai Sang Pencipta. Oleh karenanya, aturan yang dibuat pun sesuai dengan aturan manusia yang memiliki kekuasaan dan modal yang banyak. Sehingga akan menuimbulkan berbagai masalah.

Tentunya, berbeda dengan sistem Islam yang mampu memimpin 2/3 dunia selama 13 abad aturannya yang bersumber dari pencipta akan menutup celah kerusakan akibat manusia. Solusi yang ada dalam sistem Islam pun jelas dan mampu memecahkan masalah yang terjadi bukan asal bunyi seperti yang dikatakan para pejabat yang ada di negeri ini. Sistem Islam juga sangat mendorong setiap Muslim melakukan muhasabah lil hukam untuk menjaga iklim ideal di masyarakat agar tetap berada di jalur syariat Islam.

Dengan sistem Islam (Khilafah Islam) pemimpin/penguasa akan amanah dan memiliki empati dan mengurus rakyat dengan segenap hati agar rakyat bisa merasakan rahmat bagi seluruh alam. Karena kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawab di akhirat kelak. Tentunya, pemimpin yang seperti ini tidak akan ditemukan dalam sistem politik demokrasi. [*]

* Penulis Adalah Aktivis Dakwah