OPINI
“Namun kita juga perlu melihat pendapatan negara tersebut. Jelas pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal,”
Oleh : Hurun Qonita
PEMERINTAH melalui Kementerian Keuangan resmi menaikan tarif PPN yang semula 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Dikutip dari bbc.com, kebijakan tersebut tertuang dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut Sri Mulyani kenaikan tarif yang dilakukan pemerintah tidak berlebihan, meski masih jauh lebih rendah dibanding tarif pajak di negara lain. Adapun, rata-rata tarif PPN di dunia mencapai 15 persen. Sementara Indonesia baru berencana menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada bulan April 2022. (kompas.com 22/03/2022).
Memang benar, tarif pajak Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G20. Namun kita juga perlu melihat pendapatan negara tersebut. Jelas pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.
Lebih dari itu, kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN berlangsung di tengah kenaikan barang kebutuhan, seperti minyak goreng, cabai, beras dan gula menjelang ramadan. Lagi dan lagi masyarakat, khususnya kalangan buruh tak punya pilihan lain selain memangkas pengeluaran, termasuk untuk makan sehari-hari.
Katanya kenaikan PPN ini untuk menyelamatkan negara dan mensejahterakan rakyat, namun nyatanya justru semakin menyengsarakan rakyat. Belum lagi ketika mengetahui PPN naik menjadi 11% dari yang sebelumnya 10%, namun di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan/perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Wajar jika kita bertanya sebenarnya negara berpihak pada kepentingan siapa?
Beginilah ironi negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis-demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan lewat pajak. Pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sementara pendapatan dari sektor SDA ditiadakan.. Maka wajar jika kondisi negara mentok dan tak memungkinkan lagi untuk menambah hutang, pajak dianggap win-win solution mengatasi krisis keuangan negara.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem ekonomi Islam.. Dalam sistem Islam pajak dan hutang bukanlah sumber pendapatan negara. Negara akan mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan yakni harta anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara , ‘usyur, dan harta sedekah/zakat.
Sedangkan pajak dalam Islam bersifat insidental, jika pendapatan negara di baitul mal telah kosong maka negara baru bisa menarik pajak pada rakyat itupun diperuntukkan kepada kalangan orang kaya yang memiliki harta lebih sedangkan rakyat yang kekurangan tidak akan dikenai pajak.
Pajak yang ditarik oleh negara juga tidak diperbolehkan diambil secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara telah terpenuhi maka penarikan pajak dihentikan.
Khalifah selaku pemimpin negara Islam bertanggung jawab penuh untuk melepaskan kesusahan rakyatnya. Karenanya Ia akan berupaya seoptimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Sebab khalifah sangat memahami hadis Rasulullah SAW berikut ini:
“Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).
Inilah mekanisme negara islam mengatasi defisit anggaran. Maka mengetahui hal ini bukankah sudah seharusnya kita beralih pada sistem berasala dari Ilahi Rabbi. waallahu ‘alam. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Inspiring Muslimah Community (Insmuco)