“Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negeri ini dalam memutus mata rantai penyebaran virus justru dilanggar. Pembukaan mall, pusat perbelanjaan dan bandara di tengah pandemi menjadi sinyal buruk bahwa negara tidak serius menangani wabah,”
Oleh : Heni Andriani
Jakarta | Lapan6Online : Pandemi Covid 19 menjadi sebuah isu yang yang sangat luar biasa bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Pandemi ini memberi banyak pelajaran bagi insan yang beriman namun di sisi lain juga menjadi kisah pilu yang dialami oleh para nakes yang berjuang di garda terdepan menangani kasus si makhluk yang kasat mata ini.
Dilansir okezone.com (25/5/2020), akibat kurangnya perhatian penguasa terhadap mereka terkait kebutuhan ADP, banyak tenaga kesehatan yang terkena imbasnya.
Hal ini terjadi pada 24 tenaga medis yang menjalani masa karantina di RSUD M Yunus Bengkulu, sehingga mereka tidak dapat bertemu keluarga saat merayakan Idul fitri 1441 H kecuali secara virtual.
Kondisi ini diperparah dengan tidak diberikannya tunjangan oleh pemerintah kepada tenaga medis yang mengakibatkan mereka melakukan aksi mogok kerja hingga terjadi pemecatan.
Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 109 orang karena melakukan mogok kerja sejak Jumat (15/5/2020) lalu. Tercatat jumlah data di RSUD Ogan Ilir.
Padahal mereka begitu sigapnya dalam penanganan wabah dan setia terhadap sumpah hingga rela berjauhan dengan keluarga, kurangnya istirahat hingga menimbulkan dampak psikologis terhadap jiwa mereka. Namun proteksi serta perhatian pun tak kunjung tiba.
Semakin banyak tenaga medis yang berguguran akibat wabah dan ini seharusnya menjadi perhatian besar pemerintah.
Dilansir warta kota.tribunnews.com [2020-05-21], jumlah dokter di Indonesia sekitar 200 ribu personil.
Begitupun dengan dokter paru yang hanya 1.976 orang. Artinya satu orang dokter paru harus melayani 245 ribu WNI. Ketika kehilangan tenaga medis semisal satu dokter saja maka akan menambah resesi jumlah tenaga medis di Indonesia.
Inilah fakta yang terjadi akibat abainya penguasa terhadap pahlawan kesehatan. Mereka terus berjuang di tengah himpitan kebutuhan hidup karena berbagai janji THR serta tunjangan yang tak kunjung datang hingga ada juga yang dipotong gaji serta dirumahkan.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negeri ini dalam memutus mata rantai penyebaran virus justru dilanggar. Pembukaan mall, pusat perbelanjaan dan bandara di tengah pandemi menjadi sinyal buruk bahwa negara tidak serius menangani wabah.
Bahkan justru semakin melonjaknya pasien Covid19 hal ini tentu menjadi tanggung jawab para tenaga medis itu sendiri. Mereka harus berjuang mempertahankan nyawa pasien agar tidak melayang sementara jaminan kesehatan mereka sendiri terancam dengan alat ADP yang seadanya.
Bahkan dokter yang tidak merawat pun terpapar virus tersebut. Sungguh miris perjuangan mereka, seolah-olah sia-sia bahkan tidak dihargai sama sekali.
Buruknya sistem kesehatan di era kapitalis telah memberikan dampak buruk bagi seluruh rakyat tak terkecuali tenaga kesehatan. Para tenaga kesehatan ini harus bekerja keras melawan virus dengan maju di garda terdepan tanpa sebuah jaminan.
Para dokter dan tenaga kesehatan seharusnya diapresiasi bukan malah di kasih janji yang tak pasti.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam. Islam dengan seperangkat aturannya telah terbukti dan mampu memberi solusi masalah yang dihadapi oleh manusia termasuk dalam penanganan wabah.
Islam menghargai nyawa manusia karena jauh lebih berharga dibanding dengan yang lainnya.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingterbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” Za (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan e al-Albani).
Jikalau kita menengok sejarah Islam saat kepemimpinan Sultan Muhammad Al – Fatih dalam hal pelayanan di bidang kesehatan. Beliau merekrut juru masak terbaik rumah sakit untuk memberikan makanan dan gizi kepada para pasien.
Rumah sakit dan gizi sangat diperhatikan oleh sistem Islam. Dokter berkunjung minimal 2 kali sehari untuk mengontrol pasien agar lebih terpantau kondisinya. Para dokter dan tenaga medis melayani dengan sepenuh hati dan bekal keimanan yang kokoh sehingga mereka lebih optimal dalam tugas.
Mari kita tengok sejenak tentang bagaimana sejarah Islam membangun dan mengoperadionalkan sebuah Rumah Sakit Bimaristan yang sangat terkenal saat itu.
rumah sakit Bimaristan dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 M dan bertahan selama tiga abad merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Hal imi cukup menjadi bukti sejarah bahwa Islam sangat peduli dan memperhatikan bidang kesehatan.
Luar biasa Islam dalam mengatasi masalah kesehatan dan menyiapkan segala sesuatu dengan cekatan baik tenaga medis, obat-obatan serta fasilitas penunjangnya. Berbagai fasilitas terbaik diberikan oleh negara untuk kemajuan di bidang kesehatan ini.
Solusi menghentikan wabah pun sudah digambarkan oleh kalangan medis dan masyarakat.
Pemberlakuan karantina wilayah dan persiapan tenaga medis sebagai sarana penunjang menjadi hal utama di garda terdepan saat wabah melanda.
Hal ini dimaksudkan agar wabah hanya terpusat di satu wilayah sehingga tidak menyebar ke wilayah lain sehingga para medis mampu bekerja optimal dan fokus dalam penanganan.
Gambaran tentang penanganan wabah dengan cepat dan sigap tentu menjadi dambaan bagi kita semua. Perhatian dan apresiasi terhadap para dokter dan tenaga medis lainnya menjadi sebuah kerinduan.
Harapan semakin baiknya penanganan wabah dan layanan kesehatan ini tidak akan terwujud bila sistem sekuler kapitalistik yang menjadi kiblat aturan dan hukum di negeri ini. Wallahu a’lam bishshawab. GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial