Impor Limbah di Indonesia Mengerikan dan Tidak Terkendali, Siapa Tanggung Jawab?

0
72
Sampah atau limbah Impor yang mengerikan. (foto ilustrasi)
“Gunung-gunung sampah plastik, kertas, dan elektronik dari Amerika Serikat, Eropa, dan Australia menumpuk dan sebagian besar dibakar di seluruh desa-desa kami,”

Jakarta, Lapan6online.com : Organisasi pengawas perdagangan limbah internasional Basel Action Network (BAN) bersama dengan organisasi lingkungan Indonesia Ecoton, WALHI, dan Nexus3 hari ini, Selasa (5/11/2019) menyebut situasi impor limbah di Indonesia dalam kondisi mengerikan dan “tidak terkendali”.

Keadaan ini disebut hanya dapat diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia yang lebih bertanggung jawab dalam menangani pengiriman sampah ilegal yang tiba di Indonesia, sambil memberlakukan larangan penuh terhadap impor di masa depan.

Pekan lalu para aktivis mengungkapkan bahwa banyak pengiriman limbah ilegal dan terkontaminasi yang dijanjikan pemerintah untuk dikirim kembali ke Amerika Serikat malah diekspor lagi ke India, Vietnam, Thailand, Meksiko, Belanda, Kanada, dan Korea Selatan.

“Di bawah Konvensi Basel, Indonesia seharusnya mengambil kendali ketat atas ekspor ulang pengiriman limbah ilegal,” kata Yuyun Ismawati Drwiega dari Nexus3, dalam siaran pers, Selasa (5/11/2019).

“Namun kenyataannya, tidak hanya pemerintah melanggar janji untuk mengembalikan mereka ke negara asal, tampaknya mereka gagal memberi tahu pemerintah negara penerima atau gagal memastikan bahwa peti kemas yang dikirim ke negara yang menjadi tujuan pengalihan akan dikelola dengan cara yang ramah lingkungan seperti yang disyaratkan oleh Konvensi Basel.” tandasnya.

Menurut para aktivis lingkungan, Indonesia diharuskan untuk:

1. Memberi tahu pemerintah negara penerima tentang pengiriman peti kemas yang direekspor termasuk gambaran tentang limbah yang terkontaminasi di dalamnya.

2. Bekerja dengan negara asal untuk meminta mereka mengambil kembali limbah untuk diolah dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan, atau untuk memastikan pengelolaan tersebut di negara yang dialihkan.

3. Menerima persetujuan dari negara pengimpor sebelum re-ekspor dilakukan,

4. Memastikan, di negara pengimpor, bahwa fasilitas penerima diketahui dan dikenal sebagai fasilitas daur ulang atau pembuangan yang berwawasan lingkungan.

5. Secara pidana menuntut siapa pun yang terlibat dalam perdagangan limbah ini jika gerakan mereka dan pengelolaan akhir, tidak sesuai dengan kewajiban Konvensi.

“Tanpa melibatkan negara asal dengan benar, atau mengambil langkah-langkah untuk menuntut para pelanggar Konvensi Basel, kriminalitas seperti ini akan terus berlanjut, dan lebih banyak peti kemas akan terus datang untuk mencemari Indonesia,” kata Jim Puckett, Direktur BAN.

Invasi limbah ke Indonesia dimulai setelah Cina melarang impor hampir semua limbah dua tahun lalu. Solusi Cina untuk polusi kini menjadi mimpi buruk Indonesia.

“Gunung-gunung sampah plastik, kertas, dan elektronik dari Amerika Serikat, Eropa, dan Australia menumpuk dan sebagian besar dibakar di seluruh desa-desa kami,” kata Daru Setyo Rini dari Ecoton.

“Cina melarang barang-barang ini karena suatu alasan. Kita harus melakukan hal yang sama.”

“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan investigasi lengkap terhadap bisnis impor limbah, termasuk semua kementerian dan perusahaan yang terlibat,” kata Nur Hidayati dari WALHI.

“Kami menyerukan kepada Presiden untuk mencabut izin pencemar dan memberlakukan larangan total impor limbah.”

Para pemerhati lingkungan menyerukan Indonesia untuk:

Bertindak dengan segera untuk memastikan bahwa limbah impor ilegal yang sudah dikirim ke Indonesia dikirim kembali ke negara asal sesuai dengan aturan Konvensi Basel.

Mengadopsi pembatasan impor yang sama seperti Cina untuk memastikan Indonesia tidak dilihat sebagai tempat sampah global baru.

Pengiriman yang dialihkan melanggar perintah pemerintah dan karenanya ilegal serta dapat dikatakan sebagai penipuan. Tindakan tersebut harus dibawa ke pengadilan dan dikomunikasikan kepada negara-negara yang menjadi korban – beberapa pengiriman ini akan melibatkan ilegalitas lebih lanjut di negara penerima.

Pemerintah harus meminta surat pengiriman asli yang menyertai pengiriman nomor kontainer tersebut (Bill of Ladings). Dokumen ini dapat diperoleh dari jalur pelayaran yang terlibat maupun dari perusahaan yang melakukan re-ekspor.

Baik dokumen notifikasi dan tagihan muatan ekspor ulang perlu diumumkan kepada publik untuk memastikan adanya transparansi penuh.

Otoritas berkompeten di negara asal (Konvensi Basel atau yang setara) serta masyarakat umum (diunggah di situs web) perlu diinformasikan pada saat ekspor nomor peti kemas, kapal, dan rute, serta jadawal kedatangan (Estimated Time Arrival/ETA) pengembalian peti kemas.

Komite pemantau independen harus segera dibentuk untuk memastikan impor/ekspor limbah dan re-ekspor mematuhi semua peraturan dan perintah pemerintah. Demikian Walhi mengabarkan.

(red-lapan6online.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini