“2/3 kekayaan orang-orang kaya itu didapat melalui koneksitas dengan kekuasaan. Anda bisa bayangkan, tanpa koneksi dengan penguasa, bagaimana mungkin jutaan tanah negara mereka bisa kuasai dan berganti kepemilikan. Tanpa koneksi, semua itu tak akan pernah terjadi,”
Oleh : Tony Rosyid
Lapan6Online : Majalah Forbes pernah merilis data bahwa satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50% kekayaan negeri ini. Menurut Bank Dunia, 10% orang kaya kuasai 77% kekayaan negeri ini. 23% sisanya diperebutkan oleh 90% penduduk negeri.
2/3 kekayaan orang-orang kaya itu didapat melalui koneksitas dengan kekuasaan. Anda bisa bayangkan, tanpa koneksi dengan penguasa, bagaimana mungkin jutaan tanah negara mereka bisa kuasai dan berganti kepemilikan. Tanpa koneksi, semua itu tak akan pernah terjadi.
Jangan kaget ada hutan karet milik negara berubah jadi mall dan apartemen. Lalu terbit sertifikat hak milik untuk setiap kios dan kamarnya. Akses ke kekuasaan berhasil menyulap kepemilikan melalui proses administrasi birokrasi yang sangat rapi. Tampak asli, tapi sarat manipulasi. Sebuah kolaborasi yang rapi antara taipan dan birokrat. Hebat gak?
Kasus Bank Century dan BLBI yang menjadi lahan operasi perampokan triliunan dana negara tak pernah tuntas di meja hukum. Ini juga bagian dari hasil koneksitas itu. Hanya saja, sekarang kalah gila dengan kasus PT. Jiwasraya dan PT. Asabri. 13,7 triliun dan 10 triliun lenyap. Usut punya usut, kabarnya dirampok oleh orang-orang yang dekat dengan – dan punya akses terhadap- kekuasaan.
Bagaimana cara mereka menguasai, lalu merampok aset negara? Pertama, kuasai partai politik. Setiap kongres atau munas, dukung calon yang paling potensial. Potensial menang, dan potensial untuk diajak merampok. Siapkan dana/logistik buat mereka untuk menjadi ketua umum partai. Paling satu triliun, kata Bambang Soesatyo (Bamsoet), ketua MPR. Bamsoet yang ngomong? Alhamdulillah waras, komen teman saya.
Apa yang diungkap Bamsoet itu sudah terjadi sejak lama. Bahkan tidak hanya parpol, banyak calon pimpinan ormas juga sering mendapat suplai dana . Hanya saja, lebih kecil angkanya. Gak sampai triliunan. Akibatnya, ormas berada dalam kendali mereka. Ormas tua, maupun ormas anak muda, sama saja!.
Sewaktu-waktu bisa dipakai untuk memberi fatwa, nyariin dalil, membuat statemen, atau menyiapkan massa untuk melindungi kepentingan para taipan ini. Jadi, kalau ada ormas kok dukung si taipan, berarti itu tandanya pohon sudah mulai berbuah. Saat itu, argo juga jalan. Jangan heran kalau ada ormas, pimpinannya sejahtera, dan bahkan kaya raya, tapi ormasnya selalu kesulitan dana untuk biaya kegiatan.
Kenapa taipan mau keluar dana gede untuk sejumlah parpol? Karena parpol punya anggota komisi dan fraksi di legislatif. Mereka bisa buat undang-undang. Melalui undang-undang inilah ada celah untuk merampok uang dan aset negara. Leluasa dalam berbisnis untuk mengeruk keuntungan segila-gilanya. Hebat bukan? Gak perlu ikut demo, apalagi main medsos. Cukup duduk di Cafe dengan secangkir kopi, sambil nonton anggota DPR bertengkar dan antar ormas cakar-cakaran.
Selain anggota DPR, parpol juga punya gubernur, bupati dan walikota. Bisnis pertambangan dan menggarap proyek infrastruktur daerah duitnya besar sekali. Membiayai calon ketua umum partai saat kongres atau munas sama artinya membeli aturan, kebijakan dan akses kekuasaan. Berawal dari sinilah perampokan negara dimulai, dan proyek-proyek plat merah bisa dijadikan bancakan. Parah!
Kedua, taipan memborong calon-calon pejabat, termasuk di institusi hukum. Disiapin modal sejak sekolah, hingga biaya naik pangkat/golongan dan menduduki sebuah jabatan. Gak ada yang gratis bro. Ke toilet aja bayar. Bentar lagi bayarnya gesek pakai kartu kredit. Bisa juga pakai gopay. Kayak bayar SPP sekolah aja pakai gopay. Kenapa gak pakai Paytren? Ups.
Kalau ada yang bilang hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, ya wajar. Karena, banyak oknum penegak hukum yang dikendalikan oleh para pemodal. Buktinya? KPK tangkepin mereka. Taipan sendiri? Sebelum ditetapkan jadi tersangka, terlanjur sudah berada entah dimana. Nyusul Edy Tansil.
Jadi, perampokan negara itu diawali dengan pengkondisian ayat dan pasal UU di parlemen, lalu secara teknis direkayasa dalam kebijakan di lembaga setingkat kementerian atau kepala daerah, dan prosesnya dikawal oleh birokrat dan oknum aparat. Goal! Setelah sekian tahun kemudian rakyat baru sadar, kok ada empat orang terkaya Indonesia memiliki harta ($ 25 miliar). Setara dengan 100 juta (40%) orang Indonesia. (Lowy Institute, lembaga independen Australia) .
Lalu, bagaimana mengembalikan aset negara yang sudah dirampok itu? Atau setidaknya menyelamatkan aset yang tersisa. Pertama, lakukan langkah struktural. Langkah struktural kuncinya ada di pemimpin. Indonesia butuh pemimpin yang tidak saja bersih dan pintar, tapi juga tegas dan berani. Agak gila dalam memberantas mafia. Tembak mati koruptor yang maling di atas dua miliar, misalnya. Pemimpin harus punya nyali tegakkan hukum dengan adil. Di tangan pemimpin, negara ini dikendalikan. Jadi, kita butuh pemimpin yang mengendalikan, bukan pemimpin yang dikendalikan. Pemimpin yang di dalam semangatnya ada harapan rakyat.
Hukum mesti menjadi panglima. Pemimpin harus lebih dulu memberi teladan dan komitmennya terhadap hukum. Menjadikan hukum untuk mengukur batas kebenaran dan kesalahan dalam mengelola negara ini.
Karena itu, perlu beresin struktur penegak hukum lebih dulu. Mulai dari kepolisian, kejaksaan Kehakiman hingga KPK. Proses rekruitmen juga harus baik. Tidak cukup kompetensinya, tapi terutama adalah mental dan moralnya. integritas harus jadi syarat prioritas.
Kedua, langkah kultural. Seluruh rakyat Indonesia harus memiliki maindset yang sama: selamatkan Indonesia dari para mafia Taipan. Semua bisnis ilegal harus menjadi musuh bersama. Pemimpin, pejabat, intelektual dan agamawan harus menggerakkan perlawanan bersama. Ini bagian dari hakekat nasionalisme. Jangan malah sibuk menyoal hubungan agama dan pancasila. Kuno dan ndeso! Biar masuk Tv?
Lalu, kapan pemimpin adil, berani dan bernyali ini akan lahir? Kapan hukum itu akan tegak? Dan kapan nasionalisme itu tumbuh bergelora menjadi spirit bersama seluruh rakyat Indonesia? Semua bergantung kepada rakyat. Di era demokrasi, rakyatlah yang menentukan siapa yang akan jadi pemimpin mereka. Rakyatlah yang mengontrol jalannya legislasi dan penegakan hukum. Dan rakyat pula yang memiliki kekuatan untuk menggelorakan nasionalisme bersama. Tapi, kalau rakyatnya (para tokoh, intelektual dan agamawan khususnya) juga gemar makan suap, jangan berharap Indonesia keluar dari kendali para taipan. Ngayal! ****
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
(Jakarta, 21/2/2020)