“Indonesia Gelap“ Membutuhkan Cahaya Islam

0
8
Selvi Safitri/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Faktanya, pergantian pemimpin dan kebijakan telah berulang kali terjadi, tetapi kondisi tetap suram karena yang melingkupinya masih sama,”

Oleh : Selvi Safitri

KAMPUS mulai bergeliat menjadi lidah rakyat. Mahasiswa dari berbagai universitas mengadakan demontrasi yang beratajuk Indonesia Gelap di berbagai kota di seluruh negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Mataram, Makassar, Banjarmasin, dan Samarinda, sejak Senin ( 17-2-2025 ). Di Jakarta, aksi ini dipelopori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia ( BEM SI ).

Gelombang Protes Indonesia Gelap terus berlangsung dalam hari – hari berikutnya.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa menentang berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, terutama terkait pemangkasan anggaran. Mereka juga menolak revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara ( UU Minerba ) yang memberi hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi serta mendesak agar UU Perampasan Aset segera disahkan.

Dalam demonstrasi Indonesia Gelap, mahasiswa membawa berbagai poster dengan tulisan seperti : Efisiensi atau Sekedar Memenuhi Ambisi ?; Hentikan Pengurangan Anggaran Pendidikan !; Rakyat Tercekik, Pendidikan Terabaikan, Masa Depan Terancam !; Janji Makan, Sekolah Dikorbankan, Masa Depan Dimusnahkan !; Makan Susah, Bodoh Pasti; #KrisisPendidikan; Mana Janji, Mana Realisasi ?; 100 Hari yang Paling Buruk !; Kabinet Boros !; serta berbagai slogan protes lainnya.

Aksi Indonesia Gelap menjadi cerminan kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai semakin menindas rakyat. Gerakan ini mengingatkan pada Peringatan Darurat dengan logo Garuda Biru yang menggema tahun lalu. Didukung oleh kemajuan teknologi digital, mahasiswa dari berbagai daerah dengan mudah mengoordinasikan aksi serentak diseluruh Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Mmuchtar, aksi ini mencerminkan kreativitas aktivisme mahasiswa dan anak muda yang kian berkembang berkat platform digital. Jaringan mahasiswa kritis kini tidak hanya terkonsentrasi di Jakarta atau Jawa, tetapi telah menyebar ke seluruh negeri. Dalam gerakan ini, mahasiswa menerapkan konsep netizenship,yaitu keterlibatan aktif netizen dalam politik melalui media sosial.

Fenomena ini mengiungatakan pada Arab Spring 2010 yang memanfaatkan media sosial untuk menggerakkan rakyat, serta Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan Orde Baru.

Namun, Reformasi ternyata tidak membawa perubahan yang diharapkan. Alih – alih membaik, kondisi negara justru semakin terpuruk. Korupsi makin menggila, kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik, dan kebijakan yang diterapkan justru kian menambah beban masyarakat.

Baru 100 hari pemerintahan Prabowo – Gibran berjalan, berbagai kebijakan yang menyakitkan rakyat sudah bermunculan, mulai dari rencana kenaikan PPN, kelangkaan LPG melon, kontroversi MBG, efisiensi anggaran yang memangkas layanan public, cabinet gemoy, ringannya hukuman bagi koruptor, hingga polemic lagu “ Bayar,bayar, bayar “.

Dengan situasi yang terus memburuk, muncul pertanyaan : ke mana seharusnya arah perjuangan ? apakah cukup mengganti kebijakan ? mengganti rezim ? atau justru perlu mengganti sistem ? Faktanya, pergantian pemimpin dan kebijakan telah berulang kali terjadi, tetapi kondisi tetap suram karena yang melingkupinya masih sama : Demokrasi Sekuler Kapitalisme. Perubahan yang tejadi selama ini tak lebih dari sekedar tambal sulam yang gagal menyelesaikan akar permasalahan.

Korupsi makin merajalela, kesenjangan ekonomi semakin dalam, hutang negara terus menumpuk, penguasa semakin represif, kesejahteraan rakyat makin sulit diraih, pilitik sarat kepentingan, dan institusi keluarga semakin rapuh. Bahkan, saking frustasinya, muncul #KaburAjaDulu dikalangan anak muda yang kehilangan harapan akan perubahan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa solusi yang dibutuhkan bukan sekedar pergantian pemimpin atau kebijakan, melainkan transformasi total dari sistem kapitalisme yang terbukti gagal menuju sistem islam. Namun, perubahan hakiki ini tidak akan terwujud selama demokrasi masih menjadi pijakan gerakan mahasiswa. Demokrasi, yang digadang-gadang memberi kedaulatan kepada rakyat, justru menguntungkan para penguasa dan pemilik modal yang menggunakan sistem ini untuk mengatur negara sesuai kepentingan mereka. Jika mahasiswa terus berjuang dalam bingkai demokrasi, mereka hanya akan terjebak dalam pusaran lubang “korporatokrasi”, di mana yang berganti hanyalah wajah- wajah di penguasa, sementara kepentingan oligarki tetap berkuasa.

Bahkan di Barat, demokrasi semakin dipertanyakan. Dibarat saja masyarakatnya sedang “ berjuang “ mengkritik demokrasi yang makin mereka rasakan kezalimannya. Hal ini tampak dari maraknya demonstrasi di negara kampiun demokrasi AS, yang menolak beberapa kebijakan Trump, bahkan menyebut Trump sebagai diktator.

Oleh karena itu, umat islam tidak boleh menggantungkan harapan pada demokrasi. Jika ingin perubahan yang benar- benar menyeluruh, solusi sejati hanya dapat ditemukan dalam sistem islam yang menerapkan aturan secara menyeluruh dalam kehidupan.

Segala permasalahan yang menimpa umat bukan sekedar kezaliman, tetapi juga bentuk kemungkaran, yaitu segala sesuatu yang dinyatakan buruk dan haram oleh syariat islam, seperti meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram.

Rasullah SAW, memerintahakan umat islam untuk mengubah kemungkaran sesuai dengan kemampuan, ini sebagaimana sabda beliau, “ Siapa saja yang melihat kemungkaran, ia wajib mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka wajib dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka wajib dengan hatinya. Itu merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim ). Arah perubahan tersebut telah digariskan oleh Allah Ta’ala dalam Q.S Ali Imran ayat 104, “ Hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh ( berbuat ) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Para ulama menjelaskan bahwa kebajikan yang dimaksud adalah ajaran islam secara menyeluruh, sementara kemungkaran mencakup segala sesuatu yang dilarang oleh syariat. Inilah yang harus di wujudkan oleh para mahasiswa, yaitu hendaklah para mahasiswa bergabung didalam jema’ah dakwah islam yang berjuang mewujudkan tegaknya syariat islam kaffah. Meski berbeda kampus, da nasal daerah, para mahasiswa harus bersatu di atas akidah islam dan mengarahkan perjuangan pada satu tuntunan, yaitu mewujudkan kehidupan islam dengan penerapan syariat islam kaffah. (**)

*Penulis Adalah Mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara

Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.