OPINI | KEHIDUPAN
“Namun sayang, ada yang bersedia menguras keringat dan tenaga dalam bentuk fisik, ada pula yang tidak. Bisnis trading ini akan mendatangkan keuntungan atau kerugian sekalipun cukup dengan gadget dalam genggaman,”
Oleh : Ummi Cahaya, S.Pd
BISNIS trading dengan berbagai wajah dan nama semakin digandrungi generasi milenial terutama mereka yang ingin menjadi milliarder di usia muda.
Bagaimana tidak, iklan yang seliweran di berbagai sosial media mengisahkan tentang crazy rich muda yang memiliki rumah, kendaraan mewah dan penampilan yang serba wah!
Turut pula para influencer mengampanyekan keikutsertaannya demi melipatgandakan harta. Beredarlah tutorial-tutorial yang mengajak masyarakat untuk bergabung membeli asetnya. Meski tak berwujud, bisnis ini digandrungi sudah sejak lama. Sistem kerjanya dianggap mudah, tak jauh beda dengan jual beli saham lewat maya.
Baru-baru ini pun mencul istilah ‘aset kripto’, yang intinya tetap sama yaitu aset dalam bentuk digital. Kripto sendiri telah meluncurkan produknya yang sangat viral, yaitu bitcoin yang diciptakan oleh Satoshi Nakamoto. Meski hingga kini tak diketahui secara jelas identitasnya, idenya yang dianggap brillian itu cukup untuk membuat demam harta warga dunia, termasuk netizen +62 alias indonesia.
Menyoal Legalitas
Dilansir kompas.com (12/11/21) setidaknya ada 10.000 jenis mata uang kripto yang saat ini diperdagangkan. Di Indonesia sendiri, ada 229 aset kripto yang telah terdaftar di Badan Pengawas Perdagagan Berjangka Komoditi (Bappebti). Dari sekian banyak itu, yang paling populer adalah bitcoin, ethereum, binance coin, cardano, degocoin, dan litecoin.
Di Tanah Air, berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga akhir Mei 2021, jumlah investor aset cryptocurrency atau uang kripto sudah mencapai 6,5 juta orang.
Angka yang tidak sedikit meski katanya negeri tengah merugi dan utang negara meninggi di tengah pandemi.
Tak jauh beda dengan jual beli barang nyata, aset digital ini pun ada beragam marketplacenya. Tentu saja bukan Sho*** Tokop*** dan sejenisnya. Marketplace inilah tempat mereka melakukan aktivitas ‘trading’ atau yang sering disebut sebagai broker.
Dilansir situs resmi Bappebti, Kamis (5/1/2022) ada sekitar 11 PT Resmi yang memperdagangkan aset kripto. Pada saat itu pula Bappebti memperingati masyarakat untuk waspada pada PT yang belum mendaftarkan diri. Muncullah pasangan selebriti AA sebagai pemilik Token Kripto ASIX yang sempat mengalami ‘kegaduhan’ karena belum terdaftar namun telah memiliki banyak investor dari kalangan artis hingga masyarakat awam.
Reaksi Masyarakat VS Konglomerat
Sebagaimana karakter manusia pada umumnya, senang akan kesejahteraan dan kemapanan, memang wajar adanya. Namun sayang, ada yang bersedia menguras keringat dan tenaga dalam bentuk fisik, ada pula yang tidak. Bisnis trading ini akan mendatangkan keuntungan atau kerugian sekalipun cukup dengan gadget dalam genggaman. Sekali klik, anda bisa ‘buy’ dan ‘sell’ aset anda dan menerima hasilnya.
Pendek kata, jika ingin untung anda hanya perlu pasang mata melihat grafik harga. Saat sedang naik, anda jual aset lalu untung, namun saat sedang tidak beruntung alias harga turun maka anda ‘hold’ atau tahan aset selama beberapa waktu. Jika terdesak dan butuh pencairan uang segera, anda terpaksa menjualnya meski harga sedang anjlok. Merugi, pada intinya.
Seperti curhatan para pengguna yang tergabung dalam grup telegram ASIX Token ID. User bernama Faisal Amar menulis, “.. saya sudah coba beli token nya modal 17jt hasil tanam jagung tapi pagi ini menyusut jadi 8jt, bagaimana menjualnya ya.. saya buat modal beli pupuk dan bibit..”
Hal senada dituliskan oleh Lili Kusuma “.. kemarin saya beli sekitar 30jt, kenapa sekarang duit saya jadi 12jt? Apa bisa kembali? Saya diiming-imingi bisa umroh kalau beli ini, haduh.. mana ini untuk anak saya kuliah..”
Ada banyak cerita sejenis yang intinya meratapi kerugian ketika memutuskan bergabung dalam bisnis trading yang semula dianggap mampu melipatgandakan duit.
Lain lagi kisah Indra Kusuma seorang youtuber muda yang mengaku meraup keuntungan hampir milyaran selama bergabung kurang dari 2 tahun. Beliau mengaku mendapatkan keuntungan luar biasa ketika membeli seratus bitcoin ketika harganya turun, dan menjual kembali ketika harganya naik dua kali lipat. Kemampuannya dalam “mengatur resiko” diakuinya sangat berdampak pada kesuksesan karena uang investasi tidak disatukan dengan kebutuhan. Dia mengamati terus pergerakan harga yang ketika naik baru memutuskan menjual.
Pertanyaannya, jika ternyata tidak naik bagaimana?
Inilah yang tengah dialami oleh seseorang yang namanya tidak ingin disebutkan. Rela tidak tidur demi mengamati perubahan harga dunia yang menurutnya mungkin akan berubah di malam hari agar bisa langsung dijual untuk bekal hidup anak istri.
Sungguh dua kondisi “kelas sosial” yang berbeda. Masyarakat awam dengan modal pas-pasan termakan iming-iming dan sangat mungkin terjebak utang saat merugi, sedang si konglomerat yang invest ‘dana nganggur’ katanya selalu berhasil mengembangkan kekayaannya. Tak masalah digital, yang penting asetku ada, pikirnya.
Kaya Sesaat Bangkrut di Akhirat
Racun panjang angan adalah bahaya yang senantiasa menghantui bisnis nonriil. Selalu ada 2 kemungkinan. Cepat jadi konglomerat atau justru cepat melarat. Terutama yang nekat investasi dengan modal utang. Bangkrutnya bisa di dua kehidupan.
Aktivitas trading ini sudah lama menjadi perhatian para ulama, terkhusus ketika aset kripto ini mulai mewabah. Diiklankan dimana-mana.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengharamkan penggunaan uang kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang baik sebagai alat tukar maupun investasi. Terdapat gharar dan dharar di sana.
Hukum cryptocurrency dari musyawarah yang sudah ditetapkan saat Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII tentang penggunaan Cryptocurrency sebagai mata uang atau komoditi/aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar(judi) dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, “yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli,” jelas Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh sebagaimana dikutip Tribunnews.com.
Demikianlah aktivitas Trading yang tak ubahnya aktivitas judi yang ‘untung-untungan’. Lebih khusus lagi terkait bitcoin, Syaikh Atha’ bin Khalil menegaskan bahwa bitcoin tidak memenuhi syarat-syarat mata uang dalam syariah. Sebab mata uang yang disetujui Nabi ﷺ yaitu dinar dan dirham, padanya terpenuhi tiga perkara:
1. Bahwa itu merupakan standar untuk barang dan jasa, yakni bahwa padanya terpenuhi ‘illat moneter yakni pada waktu itu sebagai harga dan upah.
2. Dia dikeluarkan oleh otoritas yang diketahui, bukannya otoritas yang majhul yang mengeluarkan dinar dan dirham.
3. Bahwa mata uang tersebut tersebar luas di tengah masyarakat dan bukannya khusus pada satu kelompok dan tidak pada yang lain.
Dan dengan menerapkan hal itu pada Bitcoin menjadi jelas bahwa Bitcoin di dalamnya tidak terpenuhi tiga perkara tersebut:
1. Bitcoin bukan sebagai standar untuk barang dan jasa sama sekali, akan tetapi dia hanya alat tukar untuk barang dan jasa tertentu saja.
2. Bitcoin tidak keluar dari otoritas yang jelas, akan tetapi dari otoritas yang majhul.
3. Bitcoin tidak tersebar luas di tengah masyarakat akan tetapi hanya khusus dengan orang yang mengedarkannya dan menyetujui nilainya, artinya dia bukan untuk seluruh masyarakat.
Karena itu maka mata uang Bitcoin dari sisi syar’iy bukanlah mata uang. Berdasarkan hal itu maka Bitcoin tidak lebih dari komoditas. Akan tetapi komoditas ini tidak jelas pihak yang mengeluarkannya, dan tidak ada penjaminnya. Kemudian Bitcoin itu menjadi ruang besar untuk gambling, kecurangan, spekulasi dan tidak menutup kemungkinan menjadi alat penipuan.
Jangan sampai kesejahteraan yang kita peroleh ternyata buah dari transaksi bathil yang membuat kita rugi di hari berhimpun nanti. Tiada keberkahan yang ada penyesalan. Negara pun seharusnya mencegah kemunkaran ini terjadi jika tak ingin terjadi kerusakan yang lebih besar lagi.
Namun wajah kapitalisme nampaknya begitu membayangi. Selama ada aktivitas ekonomi apalagi berlisensi dan ada pungutan ‘Tax’ yang dianggap memberi keuntungan bagi negeri.
Tidak cukupkah teguran Allah melalui wabah, bencana dan krisis tak berkesudahan yang menimpa ini kita dijadikan sebagai peringatan dan pembelajaran? Wallahua’lam. (*GF/RIN)
*Penulis Adalah Mom Preneur