“Sebuah peristiwa masa lampau sejarawan tidak dapat merekontruksi secara total atau sempurna atau seperti yang terjadi sesungguhnya karena kurangnya rekaman atau sumber, terbatasnya pengalaman, imajinasi, prespektif dan bahkan bisa jadi ada campur tangan kepentingan didalamnya,”
Oleh : Yusly Aenul Kamaliya
Jakarta | Lapan6Online : Hubungan antara khilafah dan Nusantara hingga kini masih dipertanyakan. Meskipun beberapa waktu yang lalu diluncurkan sebuah film dokumenter kesejarahan berjudul “Jejak Khilafah Di Nusantara” yang menuai pro dan kontra.
Baik itu ada yang mengkritik fakta sejarah yang digunakan maupun isi keselurahan yang disampaikan. Kiranya itu tak bisa dihindari karena masing-masing pribadi memiliki cara pandang dan keterbatasan masing-masing.
Dalam daya upaya merekontruksi sebuah peristiwa masa lampau sejarawan tidak dapat merekontruksi secara total atau sempurna atau seperti yang terjadi sesungguhnya karena kurangnya rekaman atau sumber, terbatasnya pengalaman, imajinasi, prespektif dan bahkan bisa jadi ada campur tangan kepentingan didalamnya.
Disamping itu sejarah juga bisa bersifat dinamis artinya sejarah bisa berubah seiring fakta yang baru ditemukan.. Oleh karena hal itu sejarah bisa disebut benar maupun tidak benar berdasarkan siapa, waktu, dan dari sisi mana melihatnya.
Selain itu sejarah juga memiliki metode tersendiri yang merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau sehingga dalam mengolah peristiwa masa lampau yang bukan sembarang peristiwa yang dapat diolah dan bukan sembarang fakta sejarah yang dapat digunakan.
Sejarah melibatkan manusia sebagai objeknya sehingga apa yang dikisahkan adalah hal yang rasional. Dalam mengolah peristiwa masa lampau sejarawan dituntut untuk objektif. Namun sikap tidak memihak dan obkektif merupakan hal sulit yang dicapai.
Setelah mengerti hal tersebut sebagai muslim sangat penting untuk mengerti bagaimana sikap kita terhadap sejarah. Islam memiliki dasar hukum Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadikannya pedoman dalam menjalani kehidupan. Selain itu Al-Quran dan As-Sunnah menjadi landasan berpikir seorang muslim sehingga jika menarik peran sejarah membuatnya berperan sebagai objek pemikiran/kajian.
Oleh karena itu sejarah menjadi pelengkap apa yang kita pikirkan atau menjadi sesuatu yang bisa membuktikan sebuah pemikiran karena sifatnya yang tidak dapat sempurna dan bukan seperti apa yang seluruhnya terjadi.
Sebagai contoh ketika sejarah islamisasi di Nusantara tidak dapat dibuktikan atau malah terbukti keberadaanya itu tidak melepaskan kewajiban muslim untuk terus menyuarakan dan memperjuangkan Islam dan jika islamisasi dianggap dimulai berabad-abad lalu maka saat ini bisa dianggap islamisasi masih berlangsung karena islamisasi bukan hanya upaya mendakwahkan/mengislamisasi pada non muslim melainkan pada muslim sendiri.
Meskipun begitu sebagai muslim juga harus menganggap penting sejarah karena melalui kejadian masa lampau kita bisa kita bisa mengenal diri kita, mengambil pelajaran, melakukan kemajuan, kejayaan, hingga kemuliaan dunia dan akhirat.
Seperti yang difirmankan Allah Swt. dalam surat Yusuf ayat 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Serta dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.”. ****
Referensi:
Gottshchalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press
https://almanhaj.or.id/3833-pentingnya-belajar-dari-sejarah.html
*Penulis Adalah Mahasiswi Prodi Ilmu Sejarah UI