OPINI | KEHIDUPAN
“Sistem sanksi yang tegas melalui undang-undang memang penting. Namun juga harus diiringi dengan program-program preventif yang komprehensif dan menyentuh segala aspek,”
Oleh : Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns,
ISU kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali ramai diperbincangkan lantaran sebuah cuplikan video ceramah pendakwah sekaligus tokoh publik Oki Setiana Dewi yang dinilai menormalisasi KDRT. Perkara yang kemudian menjadi sorotan dalam video tersebut adalah tentang seorang istri yang sedang cekcok dengan suaminya kemudian dipukul, namun sang istri menutupi kejadian tersebut ketika orangtuanya datang.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah seperti dilansir detik.com (3/2)2022) menyatakan setidaknya ada tiga poin yang dipersoalkan publik, yaitu, pertama, tidak masalah suami memukul istri. Kedua, istri tidak boleh menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merupakan aib rumah tangga. Dan ketiga, tidak mempercayai korban dan menilai dilebih-lebihkan.
Terlalu jauh dan terkesan jumping to conclusion jika dikatakan ajaran islam menormalisasi KDRT hanya dari sebuah potongan video, tanpa kemudian mengkaji secara rinci bagaimana fiqih islam menetapkan regulasi yang komprehensif tentang kehidupan suami istri.
Bahkan jika kita mau merunut lebih jauh tentang kasus-kasus KDRT yang pernah terjadi, justru bukan dipicu oleh agama, terlebih agama islam. Kita bisa melihat dari tingginya kasus KDRT yang terjadi di papua yang mayoritas masyarakatnya bukan muslim, kulturnya pun jauh dari ajaran islam.
Maka pengambilan kesimpulan islam menormalisasi KDRT adalah seperti sindrom kacamata kuda yang hanya melihat satu aspek, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang lainnya. Ada begitu banyak aspek makro yang secara tidak langsung menciptakan atmosfer yang kuat pada terjadinya kasus-kasus KDRT.
Himpitan ekonomi, tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, persoalan mendidik anak, standart sukses di masyarakat yang berorientasi materiil, krisis moral akibat jauhnya kaum muslimin dari memahami dan mengamalkan islam secara benar, dan lain sebagainya sedikit banyak telah berkontribusi menciptakan beban mental emosional sehingga terjadilah KDRT.
Kasus demi kasus akan senantiasa berulang ketika aspek-aspek makro ini tidak pernah disentuh. Sistem sanksi yang tegas melalui undang-undang memang penting. Namun juga harus diiringi dengan program-program preventif yang komprehensif dan menyentuh segala aspek. Tentu kerjasama dari berbagai pihak mutlak dilakukan.
Dari individu rakyatnya sendiri harus terus berupaya memperbaiki diri (baik sebagai suami maupun istri), kemudian masyarakatnya harus memiliki kepedulian dan kepekaan sosial, serta para pemangku kebijakan yang menjadi aktor utama dalam menetapkan sistem regulasi yang lebih sistemik dan masif. Wallahualam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Perawat*Penulis Adalah Perawat