OPINI | POLITIK
“Mulai dari saling mendengarkan dan didengarkan. Kemudian, menerima kekurangan masing-masing hingga selalu bersyukur pada segala hal dan tidak terfokus pada suatu benda,”
Oleh : Alin Aldini
SEMAKIN majunya zaman semakin banyaknya juga tantangan, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan yang memang tidak dijamin oleh negara saat ini.
Otoritas kehidupan sejatinya tidak ada yang memiliki termasuk manusia itu sendiri, kecuali Tuhan Pencipta segalanya yaitu Allah SWT. Oleh karenanya manusia tidak pantas ketika dirinya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak tahan dengan masalah yang sedang dialaminya.
Namun, saat ini ramai diberitakan kasus bunuh diri yang terjadi di beberapa kota besar Indonesia yang sudah maju, bahkan menjadi tren atau viral bak gelombang laut yang pasang. Kota yang rawan kasus bunuh diri itu salah satunya di Bali.
Sebagaimana yang disebutkan CNN Indonesia, (02/07/2024), data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri menyebut laporan kasus bunuh diri di Bali sepanjang 2023 angkanya mencapai 3,07.
Suicide rate atau tingkat bunuh diri dihitung berdasarkan jumlah kasus bunuh diri dibandingkan dengan jumlah penduduk. Berdasarkan data Pusiknas Polri, pada 2023 ada 135 kasus bunuh diri di Bali yang dilaporkan. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berkisar 4,3 juta jiwa, angka tersebut tergolong tinggi.
Dilaman yang sama, dokter spesialis kejiwaan atau psikiater RSUP Prof Ngoerah, Anak Ayu Sri Wahyuni menyatakan Bali merupakan kota dengan tingkat bunuh diri paling tinggi di Indonesia dan kasusnya juga viral.
Satu kasus bunuh diri yang terjadi di salah satu kabupaten di Bali pada tahun ini yakni pasangan suami istri (pasutri) bunuh diri lantaran dikejar-kejar debt collector setelah terbelit utang pinjol. Menurut Ayu Sri, upaya pencegahan kasus bunuh diri di Bali yang terpenting adalah meningkatkan komunikasi dalam keluarga. Mulai dari saling mendengarkan dan didengarkan. Kemudian, menerima kekurangan masing-masing hingga selalu bersyukur pada segala hal dan tidak terfokus pada suatu benda.
Namun, Islam sudah jauh memandang masalah ini dengan sangat jernih dan komprehensif bahwa kehidupan manusia di dunia ini tidak terlepas dari interaksi yang terbentuk dari pemikiran dan merasa dijaga dengan aturan yang sama, bukan hanya sebatas kumpulan individu yang tak acuh pada masalah orang lain hingga muncul sikap apatis bahkan menjadi penyakit antisosial yang seharusnya diselesaikan dengan interaksi sehat seperti yang diajarkan Islam, paham terhadap adab sehingga bisa saling memahami batasan kapan harus menolong dan kapan boleh abai.
Seandainya syariat Islam diterapkan demikian dalam tatanan negara bahkan global, maka ruang untuk melakukan kejahatan bahkan menghabisi nyawa dengan bunuh diri akan semakin sempit malah hampir tidak akan terjadi.
Selain keimanan yang dibutuhkan masyarakat per individu, negera juga berperan penting dalam menata dan menjaga rakyatnya agar tetap waras dengan menjamin kebutuhan pokok, memenuhi fasilitas yang dibenarkan Islam untuk memiliki keluarga, kendaraan, dan kebutuhan sekunder bahkan tersier, bukan malah mengembangkan bisnis anak-cucu untuk kepentingan dinastinya sendiri.
Penting pula negara memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar ketentuan hukum termasuk menyakiti diri sendiri sampai menghilangkan nyawa bukan malah memfasilitasi orang bunuh diri seperti di negara-negara sekuler Barat maupun Timur.
Termasuk pendidikan yang seharusnya dijamin oleh negara tidak menjadi beban hidup rakyat yang nantinya setelah lulus juga tak berarti apa-apa selain gelar pengangguran bagi yang tidak punya afiliasi dengan orang dalam, jangankan untuk bekerja. Sebuah bangku sekolah saja bisa dibeli, bagaimana mau mencetak generasi emas dan maju?
Stigma bahwa sekolah itu mahal untuk kualitas bagus pun harus dihapus. Kurikulum berbasis akidah sekuler jelas membuat masyarakat stres dengan banyaknya tuntutan yang tujuannya kabur.
Pendidikan ala Barat telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Hanya Islam yang mampu mewujudkan mental yang sehat bagi rakyatnya, dengan menerapkan syariat-Nya keadilan dan kesejahteraan tidak tebang pilih hingga penyakit kejiwaan bisa ditekan bukan hanya dengan angka tapi aksi nyata. Sehingga ruang untuk melakukan aksi bunuh diri tidak akan terjadi. [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok