Oleh: Haris Rusly Moti, Aktivis 98, (*)
Lapan6online.com : Alam memberikan isyarat melalui peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Tuhan yang maha kuasa memberi kelebihan pada setiap ciptaanya. Manusia misalnya diberi kelebihan akal yang tak dimiliki oleh ciptaan Tuhan yang lain. Sementara itu, ciptaan Tuhan yang lain juga diberi kelebihan dalam insting hingga penglihatan dan penciuman yang sangat tajam dalam menditeksi setiap ancaman yang akan terjadi.
Karena itu, alam dan makhluk hidup di luar manusia sering kali memberi isyarat tentang sebuah peristiwa yang akan terjadi. Kadang isyarat itu tak dapat dicerna oleh akal manusia yang tumpul batinnya. Hanya dengan kepekaan batiniah, kita bisa menangkap isyarat yang disampaikan oleh alam.
Isyarat alam itu biasanya terlihat berlangsung secara kebutulan (coinsdence). Orang Jawa menyebutnya “ndilalah”. Walaupun sebetulnya tak ada yang ujuk-ujuk terjadi. Tidak ada yang kebutulan. Jika dirunut, setiap peristiwa pasti ada sebab musababnya, ada hukum sebab akibatnya (kausalitas).
Kapal Sinar Bangun yang pernah tenggelam di danau Toba beberapa tahun lalu dapat saja dikatakan sebagai isyarat alam tentang nasib dari bangsa dan negara kita ke depan. Isyarat yang disampaikan oleh Toba dapat juga ditafsirkan sebagai keadaan dan situasi yang dapat saja terjadi pada kapal pemerintahan yang di-nakhodai oleh Presiden Joko Widodo ke depan.
Krisis Kapasitas
Ada dua isyarat alam yang dapat kita ditafsirkan terkait tenggelamnya kapal di Toba tersebut. Pertama, isyarat tentang “krisis kapasitas” yang merusak keseimbangan alam, juga keseimbangan ekonomi, sosial dan politik yang menenggelamkan sebuah “kapal” pemerintahan.
Kapal Sinar Bangun itu dikabarkan sengaja mengangkut penumpang melebihi kapasitasnya. Ketika badai itu datang, maka kapal yang kelebihan kapasitas (over capacity) otomatis pasti kehilangan kendali keseimbangan, oleng lalu tenggelam ke dasar danau.
Pengalaman krisis keuangan dan resesi ekonomi yang terjadi di sejumlah negara juga dipicu baik oleh kelebihan produksi (over production) maupun kelebihan kapasitas (over capacity) yang menciptakan situasi ketidakseimbangan (unbalance) dalam neraca pergerakan ekonomi.
Karena itu, Tuhan yang maha kuasa di dalam Qur’an surat Ar-Rahman mengajarkan agar senantiasa menjaga keseimbangan. “Dan langit telah ditinggikan-Nya. Dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.”
Ketidakseimbangan dalam bidang ekonomi akan memicu krisis atau resesi ekonomi. Revolusi sosial atau amuk massa adalah akibat saja dari tidak tegaknya keseimbangan sosial yang ditandai oleh ketimpangan antara si kaya dengan si miskin. Demikian juga alam semesta, jika keseimbangannya dirusak oleh tangan-tangan manusia, maka akan memicu “amuk alam” atau “revolusi alam”, seperti banjir, longsor, tsunami, gunung berapi, dan lain-lainnya.
Surprising Krisis
Kedua, isyarat tentang efek kejut atau “serangan pendadakan” yang memicu kepanikan dan mengguncang keseimbangan yang dapat menenggelamkan sebuah kapal angkutan, juga “kapal” pemerintahan.
Persis seperti efek kejut (surprising) dari serangan krisis moneter yang merusak keseimbangan ekonomi yang pernah menenggelamkan sejumlah kapal pemerintahan di dunia. Termasuk diantaranya adalah tenggelamnya kapal pemerintahan Orde Baru yang di-nakhodai oleh Presiden Soeharto tahun 1998.
Sebagaimana kapal Sinar Bangun yang di-kejutkan oleh serangan badai yang tidak diperkirakan sebelumnya oleh nakhoda kapal. Ketika badai itu datang secara mendadak, pasti tak ada sama sekali persiapan untuk mengantisipasinya. Nakhoda panik, penumpang juga panik dan hesteris. Maka, kapal yang kelebihan kapasitas itu otomatis kehilangan keseimbangan, dan tenggelam.
Pelajaran tentang pendadakan serangan seperti itu sudah ditulis di dalam Qur’an surat Az Zumar. “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya.”
Pendadakan azab dengan senjata “amuk alam”, seperti gempa, tsunami, lonsor, dll. biasanya datang di saat manusia sedang lengah, tidak waspada, misalnya sedang tertidur pulas, pesta pora, atau sedang sibuk dengan urusan dunia lainnya.
Di dalam dunia intelijen, strategi pendadakan atau surprising intelijen, biasanya terjadi di luar dari jangkauan perkiraan keadaan (Kirka) maupun perkiraan dukun (Kirduk). Persis amuk alam yang terjadi diluar perkiraan, seperti gempa dan tsunami, yang datang secara mendadak dan mengejutkan.
Karena itu, salah satu fungsi pentingnya intelijen negara adalah sebagai peringatan dini (early warning system) untuk menghindari strategi pendadakan (strategic surprised) yang mengguncang keseimbangan, melumpuhkan mental, memicu kepanikan dan amuk sosial.
Surprising intelijen atau strategi pendadakan (surprises), seperti peledakan bom, capital flight dan pelemahan nilai tukar, wabah penyakit adalah salah satu hal yang diantisipasi oleh intelijen negara. Apalagi kemajuan teknologi informasi saat ini, strategi pendadakan seperti itu dapat terjadi secara simultan dengan kecepatan pergerakan yang sulit dikendalikan.
Krisis Keseimbangan
Persis seperti manusia yang memikul beban (amanah) diluar batas kapasitasnya, jika dipaksakan terus memikul, maka pasti akan tersungkur. Demikian juga sebuah negara dan pemerintahan, dapat berdiri karena ditopang baik oleh kapasitas mental manusianya maupun kapasitas sistem negara yang mengoperasikannyn.
Jika kapasitas mental (karakter) manusianya telah rusak dan menjadi rongsokan, para pemimpinnya sibuk merampok memperkaya diri dan keluarganya, maka kapal pemerintahan tersebut pasti akan hilang keseimbangannya dan tenggelam ketika di-kejut kan oleh badai krisis yang bergolak.
Di era reformasi, dan khususnya di era pemerintahan Joko Widodo, krisis keseimbangan terjadi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ketidakseimbangan alam terjadi akibat keserakahan mengeruk kekayaan alam yang ditopang oleh sistem Otonomi Daerah dan Pilkada langsung.
Ketidakseimbangan di dalam neraca pergerakan ekonomi juga tak kalah mengancam. Ekonomi lebih besar pasak dari tiang, lebih besar utang dari asset, lebih besar impor dari ekspor, lebih besar konsumsi dari produksi, lebih besar belanja dari pendapatan, dan lain-lain.
Demikian juga ketidakseimbangan di dalam kehidupan sosial jauh lebih mengancam. Global Wealth Report 2016 yang disampaikan oleh lembaga riset Credit Suisse menyebutkan Indonesia berada di posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia.
Dalam laporan terbaru Oxfam tahun 2017 berjudul Menuju Indonesia yang Lebih Setara menyimpulkan sebagai berikut “Indonesia berada pada peringkat keenam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Pada tahun 2016, sebanyak 1 persen individu terkaya dari total penduduknya menguasai hampir separuh (49 persen) total kekayaan secara nasional. Jumlah miliarder mengalami peningkatan dari hanya satu orang pada tahun 2002 menjadi 20 orang pada tahun 2016”.
Selanjutnya Oxfam mencatat “tahun 2016, kekayaan kolektif dari empat miliarder terkaya tercatat sebesar $25 miliar, lebih besar dari total kekayaan 40 persen penduduk termiskin – sekitar 100 juta orang. Hanya dalam waktu sehari, orang Indonesia terkaya dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran rakyat Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun penuh”. (*)