“Terdakwa Haryo Bimo Arianto memohon kepada Ketua Majelis Hakim Tiaris Sirait SH.MH segera membebaskannya dari tahanan, karena dirinya hanyalah korban Kriminalisasi Hukum.”
Jakarta, -Lapan6online : Sidang perkara kriminalisasi terhadap Direktur PT DCG Indonesia Haryo Bimo Arianto kembali digelar di pengadilan negeri jakarta utara 06/03/19. dengan agenda keterangan saksi.
Dalam persidangan yang telah ditunda beberapa kali jaksa penuntut umum tidak mampu menghadirkan dua saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Abdul Rauf SH MH. dari Kejaksaan Agung RI dituding mengkriminalisasi Direktur PT DCG Indonesia Haryo Bimo Aryanto hingga menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Pada dakwaan nomor register perkara PDM-112 /Euh.2/11/JKT.Utr/2018, tanggal 13 Nopember 12018 JPU abdul Rauf mendakwa Haryo Bimo Aryanto dengan Pasal 263 KUHP karena pada tanggal 28 Februari 2014 terdakwa telah melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) PT. DCG Indonesia yang dipimpin oleh Ketua Rapat saksi Roh Jae Chung selaku Presiden Direktur PT. DCG Indonesia di kantor PT. DCG Indonesia di Gedung Jamkrindo, lantai 3A Jl. Angkasa, Blok B.9, Kavling 6 Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta Pusat padahal saksi Roh Jae Chung tidak mengetahui RUPS-LB itu karena sedang tidak berada di Indonesia melainkan berada di Korea.
Dalam surat dakwaan tanggal 13 Nopember 2018 sementara dakwaan dibacakan pada tanggal 16 Januari 2018. Bawa keputusan RUPS-LB tersebut dituangkan dalam berita acara RUPS-LB itu pada 28 Februari 2014 dan pada tanggal 26 Maret 2014 dan telah diaktekan pada notaris Liez Savitri Maturidi, SH sehingga terbitlah Akte O2 tanggal 26 Maret 2014 tentang Pernyataan Keputusan Rapat.
Pada saat itu terdakwa Haryo Bimo Aryanto belum menjadi direktur PT. DCG Indonesia Saat itu. Dan nama Haryo Bimo Aryanto tidak ada dalam minuta RUPS-LB tersebut, saat diadakannya RUPS-LB itu, terdakwa tidak mengetahui karena terdakwa belum jadi organ pada PT. DCG Indonesia.
Terdakwa Haryo Bimo diangkat menjadi Direktur PT. DCG Indonesia berdasarkan Akta no.9 yang dibuat di Notaris Yulida Desmartiny SH pada tanggal 18 Desember 2018, dengan pengesahan kementerian hukum dan Ham No. AHU-13079-40.20.2014, yang telah menyetujui perubahan badan hukum PT. DCG Indonesia berdasarkan RUPS-LB tanggal 22 Desember 2014.
Jadi jelas bahwa dakwaan JPU tidak sesuai dengan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, mengenai syarat materil, yaitu harus diuraikan secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan terkait waktu dan tempat pidana itu dilakukan. Bahwa apabila syarat yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP tidak terpenuhi maka surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau null and avoid. Karena surat dakwaan adalah tuduhan dari Penuntut Umum kepada Terdakwa atas perbuatan Terdakwa sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan oleh undang-undang.
Jaksa Penuntut Umum juga tidak cermat, jelas dan lengkap dalam surat dakwaannya terbukti dalam surat dakwaan pada bagian penahanan, JPU tidak mencantumkan tanggal penahanan RUTAN sejak tanggal…**. Agustus 2018 sampai dengan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta pusat. Tanggal penahanan tidak dicantumkan dalam surat dakwaan serta dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta pusat padahal terdakwa Haryo Bimo Aryanto di sidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam hal ini terlihat jelas bahwa JPU tidak memasukkan syarat formil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a yang seharusnya penting dimasukkan didalam surat dakwaan. Padahal terdakwa Haryo Bimo ditahan oleh JPU di Rutan sejak tanggal 5 Desember 2018 dengan nomor: B-203/0.1.11/Epp.2
/12/2018. Kemudian JPU menyebutkan melimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, faktanya terdakwa disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Untuk itu, terdakwa Haryo Bimo memohon kepada Ketua Majelis Hakim Tiaris Sirait SH MH segera membebaskannya dari tahanan, karena dirinya hanyalah korban Kriminalisasi Hukum.
(MasNur)