OPINI
Oleh : Alman Helvas Ali, (*)
PENGADAAN PESAWAT TEMPUR baru merupakan salah satu agenda utama Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sebab, hal itu termasuk dalam upaya pemenuhan Minimum Essential Force 2020-2024.
Demi mendapatkan kandidat terbaik, dalam satu tahun terakhir orang nomor satu di Kementerian Pertahanan itu, telah bertemu dengan sejumlah menteri pertahanan antara lain Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly, Menhan Austria Klaudia Tanner dan Menhan Amerika Serikat (AS) di era Presiden ke-45 Donald Trump, yakni Mark Esper. Prabowo juga bertemu dengan eksekutif Boeing dan Dassault Aviation, di mana Dassault Aviation telah bolak-balik ke Jakarta tanpa peduli dengan pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia.
Rencana pembelian 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia sejak 2018 nasibnya tidak menentu. Ini karena ada ancaman sanksi Countering America’s Adversaries Through Sanction (CAATSA) dari Negeri Paman Sam terhadap para pejabat dan pihak lain di Indonesia yang terlibat dalam kontrak itu.
Isu ini pula yang nampaknya menjadi salah satu topik pembicaraan antara Prabowo dengan mitranya dari Rusia, termasuk Rostec, dalam lawatan ke Rusia pada 24-26 Maret 2021. Nampaknya Rusia menekan Indonesia agar melanjutkan rencana pembelian Su-35 melalui mekanisme khusus yang tidak menggunakan sistem keuangan internasional.
Salah satu dinamika yang menarik dari rencana akuisisi pesawat tempur di era Prabowo adalah tersingkirnya F-16V buatan Lockheed Martin dari kompetisi karena tidak memenuhi persyaratan yaitu pesawat tempur bermesin ganda.
Padahal manajemen Lockheed Martin setidaknya sejak 2015 sudah bolak-balik ke Jakarta untuk mempromosikan produk mereka. Pergantian kepemimpinan di Kemenhan pada 24 Oktober 2019 membawa bencana bagi Lockheed Martin, namun membawa berkah bagi F-15 produksi Boeing dan Rafale milik Dassault Aviation. Sebelumnya F-15 dan Rafale mempunyai peluang kecil untuk dapat mengisi pasar pesawat tempur Indonesia.
Kini terdapat kecenderungan Kemenhan nampaknya akan memborong F-15 dan Rafale sekaligus yang merupakan perpaduan antara pertimbangan keunggulan teknologi dan geopolitik. Indonesia memainkan kartu geopolitik Prancis sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB sekaligus negara yang memegang teguh strategic autonomy dalam bidang industri pertahanan.
Jakarta masih memiliki memori buruk tentang embargo senjata oleh AS dan beberapa negara Barat pascaperistiwa 12 November 1991 di Dili, Timor Timur. Singkatnya, Indonesia tidak menginginkan semua pesawat kombatannya buatan AS atau memiliki banyak komponen yang membutuhkan izin ekspor dari Washington DC untuk pembeliannya.
Pesawat tempur bekas Eurofighter Typhoon milik Austria bukan lagi pilihan bagi Indonesia mengingat tidak adanya lampu hijau dari pemerintah Austria. Belum lagi persoalan kebutuhan dana yang besar yang harus disiapkan oleh Indonesia untuk memodernisasi Typhoon nantinya. Sejak berita rencana pembelian Typhoon eks Austria mengemuka ke publik pada pertengahan 2020, muncul suara kritis terhadap rencana itu.
Tantangan dari sisi anggaran
Pasar pesawat tempur Indonesia memang menjanjikan karena terdapat kebutuhan untuk menambah sejumlah skuadron pesawat tempur baru. Dari sisi anggaran pertahanan, mengacu pada data Janes, Indonesia membelanjakan US$ 7,4 miliar (Rp 106,58 triliun) pada tahun anggaran 2020. Nominal itu sudah mencakup pemotongan anggaran karena pandemi Covid-19.
Pada tahun anggaran 2021, anggaran pertahanan mengalami kenaikan 7,1% menjadi US$ 8.2 miliar (Rp 118 triliun). Untuk pengadaan alutsista, mayoritas mengandalkan pada pinjaman luar negeri (PLN) dengan dana pendamping rupiah murni pendamping harus ditanggung oleh APBN.
Bagaimana dengan dukungan anggaran untuk pengadaan F-15 dan Rafale? Pada 13 Juli 2020, Prabowo secara resmi mengajukan surat Pengajuan Usulan Rencana PLN Tahun 2020-2024 kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa senilai US$ 20,8 miliar (Rp 299,5 triliun).
Namun, menurut informasi dari seorang pejabat senior pemerintah pada September 2020, kapasitas pemerintah untuk mendukung pembiayaan PLN untuk pengadaan alutsista hingga 2024 hanya akan pada kisaran US$ 9 miliar (Rp 129,6 triliun) hingga US$ 11 miliar (Rp 158,4 triliun) saja.
Kemampuan membiayai belanja alutsista melalui PLN mengkhawatirkan karena kapasitas fiskal pemerintah semakin tertekan akibat pandemi Covid-19 yang hingga kini belum jelas kapan akan berakhir.
Mengacu pada Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) Kementerian PPN/Bappenas, pembiayaan untuk Kemenhan hanya dialokasikan sebesar US$ 9,3 miliar (Rp 133,9 triliun).
TNI Angkatan Udara mendapatkan alokasi terbesar dalam DRPPLN, disusul TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan Mabes TNI. Terdapat banyak usulan pengajuan belanja senjata oleh Kemenhan yang tidak diloloskan dalam DRPPLN. Namun, bukan hal mustahil bahwa beberapa item yang tidak muncul dalam DRPPLN alokasinya berada pada DRPPLN Khusus.
Rencana pengadaan F-15 dan Rafale secara simultan akan menemui jalan terjal apabila tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Pemerintah sedang menghadapi tekanan fiskal akibat pandemi Covid-19, sehingga alokasi PLN untuk pengadaan pesawat tempur secara simultan belum sepenuhnya aman.
Diskusi intensif antara Kemenhan dan Kementerian Keuangan dalam alokasi PLN untuk belanja alutsista masih terus terjadi. Menurut kalkulasi kasar, secara total minimal diperlukan US$ 4 miliar (Rp 57,6 triliun) guna membeli F-15 dan Rafale, itu pun dengan jumlah yang tidak banyak.
Anggaran untuk pengadaan pesawat tempur yang saat ini tercantum pada DRPPLN nominalnya tidak mencukupi untuk dua tipe sekaligus. Boleh jadi pemerintah akan menerbitkan DRPPLN khusus untuk pengadaan pesawat tempur berikutnya apabila tercapai kesepakatan antara Kemenhan, Kemenkeu dan Kementerian PPN/Bappenas. Mana tipe pesawat tempur tempur yang akan dibiayai oleh DRPPLN dan mana yang difasilitasi oleh DRPPLN khusus masih belum jelas. Kata kunci pengadaan pesawat tempur, apapun jenisnya, berada pada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). (*)
*Penulis adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman memiliki spesialisasi di bidang industri pertahanan, pasar pertahanan dan kebijakan pertahanan.
*Sumber Publish: CNBC Indonesia