OPINI
“Berdasarkan perhitungan terbaru, jika iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial,”
Oleh : Apt. Zhuhriana Putri
SALAHSATU problematika terbesar dalam sebuah negara adalah kesehatan. Kesehatan menjadi kebutuhan pokok setiap individu yang wajib dijamin oleh negara. Namun pada faktanya hingga hari ini permasalahan kesehatan masih terus menjadi fokus utama masalah negara yang belum menemukan ritme jaminan terbaiknya. Apakah kesehatan hanya layak diterima oleh mereka yang berada saja ?
Problem dalam bidang kesehatan masih banyak. Salah satunya terkait fasilitas layanan kesehatan dan ketersediaan tenaga kesehatan yang tidak merata. Pengamat Tenaga Kesehatan dan Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalteng, Siswandi, menyatakan bahwa permasalahan tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan ini merupakan masalah yang tidak pernah terselesaikan hingga saat ini karena kebanyakan terkonsentrasi hanya di perkotaan (Radio Republik Indonesia, 01/10/2024).
Selain itu, layanan kesehatan berbiaya mahal dan dikomersialisasi oleh negara. Sehingga alih-alih mendapatkan layanan terbaik, tidak semua warga negara bisa mengakses layanan kesehatan. Proporsi penduduk perdesaan yang pernah melakukan self-medication (pengobatan sendiri) cenderung meningkat pada tahun 2022 dan menurun pada tahun 2023 dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan yakni sebesar 3,5%. Fenomena ini dipengaruhi oleh status ekonomi dan akses tempat tinggal. Masyarakat berstatus ekonomi rendah menduduki urutan tertinggi. Artinya semakin tinggi status ekonomi, semakin mudah masyarakat mengakses layanan kesehatan (GoodStats, 06/06/2024).
Belum lagi masalah anggaran yang tidak ada ujungnya. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Berdasarkan perhitungan terbaru, jika iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial. BPJS kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan sebesar Rp146,28 triliun (Bisnis.com, 07/12/2024). Apakah masalah anggaran ini terjadi karena tidak tercukupinya dana atau dikarenakan tidak terdistribusinya anggaran yang tersedia dengan baik ?
Kepemimpinan kapitalis sekuler menjadikan penguasa abai terhadap perannya sebagai Raa’in yaitu pengatur urusan umat. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Kesehatan justru dikapitalisasi atau menjadi industri. Bisa dipastikan narasi pemerintah soal anggaran kesehatan yang diprioritaskan dan upaya peningkatan standarisasi profesi kesehatan sejatinya bukan untuk rakyat, melainkan demi melayani kepentingan korporasi.
Ini karena kita juga tidak bisa menyangkal bahwa sektor kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah lahan untuk meraih profit. Hal ini sudah diaruskan secara internasional sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Adanya kapitalisasi di sektor kesehatan menyebabkan tata kelola dan pelayanan kesehatan menjadi lahan bisnis dari pemerintah kepada rakyatnya.
Kesehatan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan negara. Jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat ini hanya mungkin terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam. Khalifah berperan sebagai Raa’in yang menjamin terpenuhinya layanan kesehatan hingga pelosok, dengan fasilitas yang memadai, berkualitas, dan gratis.
Secara syar’i, fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan keguncangan. Untuk itu di dalam Khilafah, pengelolaan kesehatan tidak boleh ada paradigma bisnis. Kesehatan bukan semata faktor kemanusiaan, melainkan sektor publik yang haram untuk dikapitalisasi maupun diliberalisasi.
Penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan dalam Khilafah adalah tanggung jawab negara. Hal ini justru akan sangat berat jika dibebankan kepada rakyat. Oleh sebab itu, tidak semestinya penguasa berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Masa keemasan Khilafah tercatat mampu menghasilkan para dokter hebat yang ilmunya masih bisa kita nikmati manfaatnya hingga kini. Menurut kutipan dari buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti dan Jurnal Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study oleh Arshad Islam, begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia. Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahrawi hanyalah sedikit di antaranya.
Khilafah juga telah terbukti mampu menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di dunia pada masanya. Fasilitas kesehatan, khususnya milik pemerintah, dikelola di atas prinsip pelayanan penuh dengan anggaran bersifat mutlak berbasis baitulmal. Khalifah Al-Walid I dari Khilafah Bani Umayyah dikenal sebagai penguasa yang pertama kali mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim yang disebut dengan bimaristan.
Imam Ath-Thabari mencatat setidaknya ada dua peran Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim. Pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra; dan kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus. Bimaristan ini disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit pada era modern. Selain merawat orang sakit, bimaristan juga menyediakan dokter serta obat-obatan. [**]
*Penulis Adalah Apoteker