HUKUM | NUSANTARA
“Jaksa Agung kembali menegaskan untuk tidak ada satupun yang bermain-main dengan program humanis yakni restorative justice sebab ini merupakan “program memanusiakan manusia”
Lapan6Online | Jakarta : Kejaksaan RI sebagai pelopor penegakan hukum humanis menilai criminal justice system/sistem peradilan pidana terpadu belum mampu membangun penanganan yang efektif, sebab cenderung berjalan sendiri, sehingga menyebabkan penegakan hukum punitif yakni mengejar hukuman dan pembalasan.
Demikian dikatakan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI, Dr Fadil Zumhana SH MH, pada siaran persnya yang dikeluarkan Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung di Jakarta, pada Senin (27/02/2023).
Kata Fadil, hal inilah yang mengakibatkan biaya penanganan perkara menjadi besar dan berdampak pada tingkat hunian lembaga pemasyarakatan meningkat. Bahkan melebihi kapasitas (over capacity), dimana 60% penghuni merupakan penyalahguna narkotika.
Melihat keadaan tersebut, tambah Fadil Zumhana, Jaksa Agung merasa prihatin dan oleh karenanya harus ada solusi untuk kedepannya.
Jaksa Agung menegaskan agar jangan sampai pengguna narkotika berada dalam satu sel tahanan dengan pengedar, sebab pengedar perlu mendapat perhatian serius.
Atas dasar itulah, muncul gagasan yang dituangkan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Usai diimplementasikannya pedoman tersebut, menunjukkan tren positif dalam penerapan restorative justice di perkara narkotika.
Menurut Fadil, hampir ratusan korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan haknya untuk diobati secara mental dan fisik.
Namun untuk pengedar, kata Jampidum Fadil Zumhana, tidak ada ampun dan harus ditindak tegas karena telah merusak moral bangsa.
“Kami tidak segan-segan memberikan hukuman mati bagi mereka yang mencoba menjadi pengedar narkotika di negeri ini,” tegas Fadil.
Dia menjelaskan, Penerapan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 dilakukan dengan sangat ketat dengan melihat jumlah barang bukti, kualifikasi Tersangka, kualifikasi tindak pidana dan pasal yang disangkakan, unsur kesalahan (mens rea) pada diri Tersangka, serta pemeriksaan terhadap Tersangka secara seksama melalui hasil asesmen terpadu.
Selain itu, bahkan ada kewajiban khusus oleh Penuntut Umum untuk memberikan petunjuk kepada Penyidik yakni memastikan Tersangka merupakan pengguna terakhir (end user), serta mengetahui profil Tersangka baik gaya hidup, transaksi keuangannya, hingga termasuk kolega dan lingkungannya (know your suspect).
Mengutip pernyataan (statement) Jaksa Agung Burhanuddin di berbagai kesempatan, Jaksa Agung kembali menegaskan untuk tidak ada satupun yang bermain-main dengan program humanis yakni restorative justice sebab ini merupakan “program memanusiakan manusia”.
Melihat pelaku sebagai korban penyalahgunaan narkotika yang perlu mendapat pengobatan serius dan guna mendukung implementasi dari Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021, Jaksa Agung mendorong pemerintah daerah dan penegak hukum untuk berkolaborasi dalam mendirikan rumah rehabilitasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota.
Hal ini sebagai upaya yang sangat serius bagi penegakan hukum yang humanis.
“Jika ada Jaksa yang main-main, saya tegaskan akan saya pidanakan,” tegas Jaksa Agung Burhanuddin.
Jampidum Fadil Zumhana mengatakan, naluri kemanusiaan sebagai seorang penegak hukum harus ada di setiap insan Adhyaksa, karena Jaksa merupakan bagian dari masyarakat dan harus menjadi solusi bagi masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Rehabilitasi hanya bisa dilakukan bagi mereka yang terbukti sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Sementara bagi mereka yang memiliki dan menguasai, juga dapat dimungkinkan menjalani rehabilitasi apabila dalam proses asesmen menunjukkan bahwa narkotika digunakan untuk dikonsumsi sendiri dengan jumlah yang sangat kecil.
Filosofi restorative justice dalam perkara narkotika tidak saja dilihat dari ultimum remedium sebagai pintu terakhir dalam proses peradilan, tetapi sebagai bentuk rehabilitasi yakni pemulihan kembali korban pelaku keadaan semula, dengan harapan korban yang telah menjalan rehabilitasi tidak hanya sembuh tetapi dapat kembali ke masyarakat, serta tak lagi menggunakan narkotika.
“Menyehatkan bangsa dari pengguna narkotika tidak hanya tugas penegak hukum, tetapi menjadi tanggung jawab Negara dan kita semua,” tutur Fadil Zumhana. (*Kop/Syamsuri/MasTe/Lpn6)