OPINI
“Miris tentunya, mendapatkan pekerjaan saja sudah susah, apalagi harus membayar pajak. Inilah yang membuat heboh, memunculkan kekhawatiran dan ketakutan,”
Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I
SETIAP bayi yang baru lahir harus tercatat kelahirannya di akta kelahiran. Akta lahir ini sebagai landasan setiap warga negara Indonesia akan diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Namun, baru-baru ini muncul kehebohan seolah-olah setiap orang yang punya NIK otomatis menjadi wajib pajak dan harus membayar pajak.
Memang, NIK wajib dimiliki setiap warga negara yang menetap di Indonesia. Tapi, apakah bayi yang baru lahir sudah terkena pajak? Kalau memang berita tersebut benar adanya, artinya identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak.
Lalu apakah mereka yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak dan membayar pajak? Miris tentunya, mendapatkan pekerjaan saja sudah susah, apalagi harus membayar pajak. Inilah yang membuat heboh, memunculkan kekhawatiran dan ketakutan. Pasalnya, pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara Indonesia selain utang.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.
Ternyata, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun menegaskan, setiap orang pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak. Karena di Undang-Undang Perpajakan telah mengatur dengan jelas bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Penghasilan di bawah angka tersebut, tentu tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Menurutnya, dengan diresmikannya penggunaan NIK sebagai NPWP justru dinilai mempermudah administrasi bagi kedua belah pihak, baik bagi masyarakat maupun pemerintah, memudahkan masyarakat tak perlu lagi mencatat begitu banyak nomor identitas sedangkan pemerintah akan mudah memberikan pelayanan masyarakat lantaran hanya menggunakan NIK sebagai identitas tunggal.
Walaupun memang di sebagian kasus tidak semua orang wajib pajak, tapi kasus yang lain masyarakat tidak lepas dari membayar pajak. Pasalnya, sudah terikat dengan pajak secara otomatis. Apa yang masyarakat bayarkan sudah terakumulasi dengan pajak sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa mereka sudah membayar pajak.
Contoh kecil saja apabila orang beli rokok sudah otomatis bayar pajak. Jika tidak mau bayar pajak, berarti dia tidak bisa merokok. Perusahaan rokok tidak mau bayar pajak, maka pemiliknya akan dipidana dan izin usahanya dicabut. Sudah ada aturan hukumnya, yang selalu menjerat rakyatnya dengan pajak.
Rasa ingin lepas dari membayar pajak merupakan refleksi diri, rasa yang menyatakan beratnya beban rakyat yang semakin menghimpit dengan beragam pajak. Di saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak, malah pemerintah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada yang lolos dari jerat pajak.
Kebijakan yang menerapkan pajak ini menggambarkan betapa rezim sekuler kapitalis adalah rezim pemalak. Bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyatnya. Padahal, dalam Islam dijelaskan bahwa penguasa/pemerintah bertugas mengurusi urusan rakyatnya dan meringankan beban rakyat agar bisa hidup sejahtera, bukan malah membebani dengan berbagai pungutan pajak. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok