Oleh : Asnawi Arbain, (*)
Lapan6online.com : Saya tidak merasa takut, ciut atau kecewa atas hasil kongres PAN kali ini. Dimana, kandidat yang saya dan pak Amien Rais dukung kalah. Saya pun tidak pernah takut kehilangan jabatan apapun di partai ini sebagai konsekuensi dukungan politik. Saya pulang dari kongres ini dengan kepala tegak dan dada membusung.
Ini kongres yang berarti buat saya. Meski di belakangnnya, ada begitu banyak peristiwa mengenaskan. Khususnya di media dan netizen. Menyisahkan preseden buruk tentang kongres PAN. Sepertinya ini kongres terburuk dalam sejarah PAN.
Saya jarang menemukan, satupun tanggapan positif tentang kongres PAN kali ini. Rata-rata negatif. Baik terhadap PAN dan hasil kongres. Silahkan baca semua komentar _netizen_ di kolom pemberitaan media.
Tapi ini kongres yang membanggakan buat saya. Dalam hati kecil saya katakan, “jika Kongres PAN kali ini adalah kongres terakhir buat ayahanda Amien Rais, maka inilah yang terakhir saya ikut pembela pikiran-pikiran pak Amien tentang politik _per se._ di tubuh PAN.
Saya bangga, tidak menjadi bagian dari pengkhianatan terhadap begitu banyak jasa Amien Rais terhadap partai ini. Harus dicatat, bahwa dalam sejarah lahirnya PAN, tidak lepas dari _ijtihad_ politik Muhammadiyah. Amien Rais, adalah termasuk salah satu tokoh sentral dalam ijtihad politik itu. Jika saat ini PAN makin jelas keluar dari khittah perjuangannya, maka bukan tidak mungkin, Muhammadiyah akan semakin menjauhinya.
Almarhum AM Fatwa pernah bilang, PAN itu sebenarnya dilahirkan dari Tanwir Muhammadiyah di Semarang bulan Mei tahun 1998. Kata Fatwa, Amien Rais sebagai ketua PP Muhammadiyah kala itu, berunding bersamanya menginginkan agar Syafi’i Ma’arif sebagai ketua umum PAN pertama.
Bahkan Amien mengumumkan dalam penutupan Tanwir bahwa buya akan menjadi ketua umum PAN. Namun Syafii Ma’arif besoknya konferensi pers menyatakan tetap Amien Rais yang akan memimpin partai, itulah PAN.
Dengan jasa Amien Rais yang begitu besar pada PAN, maka, jika ini kongres PAN yang terakhir buatnya, maka saya bangga sekali, mengakhiri masa-masa berpolitik dengan seorang politisi yang saleh, dan seorang cendikiawan yang progresif. Saya bangga tidak menjadi pengkhianat pada jasa-jasa baiknya di partai ini.
Kita tak tahu umur seseorang itu sampai kapan. Demikianpun pak Amien; di usianya yang sudah senja. Tapi masih konsisten menjaga PAN. Memberikan spirit _qur’ani_ pada partai. Memberikan giroh spiritualitas pada partai yang kita cintai ini.
Jadi, kalaulah ini kongres terakhir buat pak Amien, maka saya berbagangga, ada dalam sejarah PAN, dimana, itu kali terakhir saya ikut membela pikiran-pikiran seorang profesor ilmu politik yang saleh. Bapak reformasi, sosok yang selama 50 tahun, tak pernah putus puasa Daud dan _qiamul lail._
Sosok pemberani. Sosok yang saya kenal, dikala rezim militer Soeharto berkuasa, tak satupun yang berani berhadap-hadapan dengan penguasa. Namun sosok Amien yang genius dan saleh, berani bicara lantang tentang suksesi kepemimpinan nasional di era 90-an. Ia tidak memilih jalan kompromi pada penguasa yang zalim.
Ini kongres yang indah, meski seperti dalam abad kegelapan. Tak ada gagasan yang lahir dari dalam kongres. Yang ada hanyalah arogansi dan syahwat untuk berkuasa yang menggebu-gebu. Tapi saya bangga, dalam kemelut yang demikian, Amien Rais tetap ada dengan pikiran dan perspektifnya. Dan saya bangga bersama Amien Rais di usia senjanya.
_Wassalam.. (*)
*Penulis adalah Ketua DPW PAN Kaltara, sekaligus juga sebagai Presidium KAHMI Kaltara.