Kapitalisme Biang Kemiskinan Negara

0
4
Bella Lutfiyya/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Kemiskinan berdampak pada banyak aspek kehidupan, seperti ketidakmampuan menyediakan makanan bergizi yang berisiko memicu stunting pada anak-anak, serta minimnya akses pendidikan yang membatasi kesempatan mereka untuk berkembang,”

Oleh : Bella Lutfiyya

PERNAHKAH kita menengok sekitar, melihat bagaimana keadaan masyarakat di sekeliling kita? Anak-anak yang seharusnya belajar di sekolah terpaksa bekerja untuk membantu orang tua.

Banyak orang tua merelakan diri kelaparan demi memastikan anak-anak mereka makan, sementara mereka bekerja dengan segenap tenaga demi keluarga. Ini bukan cerita fiksi, melainkan kenyataan yang dapat kita lihat sehari-hari. Saat ini, kemiskinan semakin meluas, dan kesenjangan antara yang miskin dan kaya kian lebar.

Meski dunia telah menetapkan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional, kenyataan ini tak kunjung berubah. Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB pada Kamis, 17 Oktober 2024, lebih dari satu miliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia, dengan setengahnya adalah anak-anak yang paling merasakan dampaknya (beritasatu.com, 17 Oktober 2024).

Kemiskinan berdampak pada banyak aspek kehidupan, seperti ketidakmampuan menyediakan makanan bergizi yang berisiko memicu stunting pada anak-anak, serta minimnya akses pendidikan yang membatasi kesempatan mereka untuk berkembang. Padahal, setiap anak adalah aset masa depan yang berharga jika diberi kesempatan untuk mengasah potensi mereka.

Terdapat beragam pandangan tentang solusi pengentasan kemiskinan, mulai dari pergantian pemimpin hingga pemberdayaan perempuan di berbagai jabatan publik. Selain itu, sebuah studi dari International Journal of Educational Research (Volume 128, 2024) menunjukkan bahwa anak-anak yang menempuh pendidikan di luar negeri dapat memberikan dampak positif terhadap pengurangan kemiskinan setelah mereka kembali ke negara asal.

Namun, tantangan baru muncul karena semakin banyak lulusan luar negeri yang enggan kembali ke negaranya, yang dapat menghambat perkembangan pendidikan dan kerja sama lintas negara (detik.com, 19 Oktober 2024). Dengan berbagai tantangan yang ada, mungkin sudah waktunya untuk mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih efektif dan berkelanjutan. Akankah upaya global untuk pengentasan kemiskinan benar-benar membuahkan hasil, ataukah hanya menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan?

Fakta menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa, berkat sistem pendidikan yang mumpuni di negara-negara tempat mereka menuntut ilmu. Namun, ketidakberanian mereka untuk pulang mengindikasikan bahwa mereka tidak melihat masa depan yang cerah di tanah air, terutama terkait dengan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat yang dimiliki.

Ironisnya, Indonesia harus merenungkan bahwa ada yang tidak beres dengan sistem yang ada. Namun, benarkah solusi yang diusulkan sebelumnya dapat menjadi langkah yang efektif? Kemiskinan adalah masalah global, dan Indonesia hanya satu dari sekian banyak negara yang menghadapi tantangan ini.

Sementara negara-negara maju terus memimpin dengan berbagai keunggulan, upaya yang dilakukan oleh organisasi internasional seringkali gagal mewujudkan kesejahteraan yang merata.

Sumber solusi yang berasal dari sistem kapitalisme hanya menguntungkan segelintir orang kaya, sementara rakyat kecil seringkali terabaikan dan berjuang sendirian. Sistem kapitalisme yang rusak tidak mungkin menghasilkan kesejahteraan yang merata.

Penerapan sistem ini justru memperkaya oligarki dan memperdalam penderitaan rakyat, dengan aturan yang dibuat hanya untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Kapitalisme mengutamakan materi sebagai ukuran utama, sehingga setiap solusi yang ditawarkan biasanya hanya berfokus pada “untung-rugi” bagi para pemimpin.

Dalam situasi ini, rakyat seolah tidak memiliki hak untuk mengkritik, apalagi melawan secara terbuka. Slogan demokrasi, “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,” tampaknya hanya menjadi bualan belaka. Para pemimpin dengan mudah mengubah aturan untuk kepentingan pribadi, sementara di sisi lain, rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Akibat dari penerapan sistem buatan manusia yang bersifat dinamis dan subjektif ini, peraturan dan hukum dibuat sefleksibel mungkin agar urusan pribadi para oligarki tetap berjalan lancar. Di tengah kondisi ini, Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan permanen melalui penerapan sistem Islam Kaffah. Sistem ini didasarkan pada hukum-hukum syara dari Allah SWT yang bersifat kekal dan adil, tanpa memihak satu pihak pun.

Islam bukan sekadar agama yang mengatur aspek rohani, tetapi juga memberikan pedoman dalam bidang ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Dengan mewajibkan para lelaki untuk bekerja dan menyediakan lapangan kerja yang cukup, Islam juga menjamin pendidikan yang layak bagi generasi mendatang.

Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim demi mencetak generasi cemerlang. Kembali kepada Allah SWT adalah langkah terbaik, karena Dia-lah yang menciptakan manusia dan tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Oleh karena itu, mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam merupakan solusi yang efektif, tanpa pandang bulu, dan bersifat kekal. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah