“Jadi, kalau pasal yang disangkakan oleh polisi dianggap akan sulit dibuktikan di pengadilan, maka dengan seenaknya saja bisa dirobah atau ditambahkan pasal lainnya,”
Lapan6Online | Jakarta : Baru-baru ini santer dimediakan tentang indikasi kebobrokan penyidik Bareskrim Polri atas nama AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH, yang diduga keras menyalahgunakan otoritasnya sebagai penyidik terhadap terlapor Leo Handoko [1]. Berdasarkan temuan lapangan, penyidik Binsan Simorangkir diduga merekayasa kasus pelaporan direktur perusahaan PT. Kahayan Karyacon oleh komisaris perusahaan itu, Mimihetty Layani, sebagai modus memeras Leo bersama 3 orang terlapor lainnya [2]. Tidak hanya Leo dan kawan-kawan, notaris pembuat akta perusahaan hebel juga diduga kuat dipalak Rp. 10 juta oleh oknum penyidik bergelar doktor tersebut [3].
Kini kesemrawutan proses hukum atas pengusaha bata ringan di Cikande, Serang, Banten, itu berpindah ke lembaga Kejaksaan Negeri Serang. Pemaksaan kasus perdata – kisruh antara komisaris dengan direksi PT. Kahayan Karyacon – ke delik pidana oleh penyidik di Bareskrim Polri diduga telah menghasilkan kebingungan luar biasa di sisi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang. Kebingungan itu akhirnya menyeret JPU yang menanangani kasus ini, Budi Atmoko, SH, kepada kekonyolan berikutnya: menyusun dakwaan yang dinilai obscuur libel atau dakwaan kabur [4] alias tidak jelas, alias ngawur, alias ngibul.
Terhadap kasus yang mendudukan Leo Handoko sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Serang itu, Wilson Lalengke ikut angkat bicara. Kepada media, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini mengatakan bahwa baginya dakwaan yang disusun oleh JPU Budi Atmoko dan dibacakan di persidangan pada Selasa, 5 Januari 2021, lalu adalah upaya lanjutan merekayasa kasus dengan cara mengakali isi BAP yang dibuat Bareskrim Polri agar terlihat seolah-olah terdakwa bersalah.
“Pasal yang didakwakan saja berbeda dengan kasus yang dilaporkan pelapor Mimihetty Layani dan yang disidik oleh penyidik Bareskrim Polri. Mimihetty mempersoalkan dugaan pemalsuan dokumen dan atau memasukan data palsu (pasal 263 dan 266 KUHP – red) ke dokumen akta notaris yang dibuat oleh Notaris Ferri Santosa, SH, M.Kn. Namun, JPU Budi Atmoko justru mendakwa Leo dengan tuduhan penipuan (pasal 378 KUHP – red) [5]. Pasal penipuan ini tidak ada dalam BAP Polisi. Yaa, jelas ngawur JPU itu,” ungkap Wilson yang mengawal kasus ini sejak awal.
Ketika dikonfirmasi ke Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Serang, Yogi Wahyu Buana, SH, terkait dugaan keteledoran JPU dalam penyusunan dakwaan, Yogi berdalih bahwa pasal tersebut ada dalam BAP. Setelah diminta untuk menunjukkan keberadaan pasal tersebut tertulis di BAP, sang Kasi Pidum ini terlihat gagu dan berusaha mencari alasan lainnya.
“Pak Yogi akhirnya mengatakan bahwa penambahan pasal 378 ke surat dakwaan adalah sebagai hasil konsultasi dan arahan pimpinan [6]. Bagi saya ini mengindikasikan bahwa Kejaksaan itu bukan diisi oleh oknum-oknum yang mau menegakkan kebenaran dan keadilan bagi warga masyarakat yang terlibat dalam persoalan hukum. Jadi, kalau pasal yang disangkakan oleh polisi dianggap akan sulit dibuktikan di pengadilan, maka dengan seenaknya saja bisa dirobah atau ditambahkan pasal lainnya,” urai lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini dengan nada heran.
Kejanggalan lain, tambah Wilson, JPU menyebut Leo Handoko yang hanya seorang direktur di PT. Kahayan Karyacon, sebagai direktur utama dalam surat dakwaannya. “Mungkin karena panik dan sibuk mencari pasal yang bisa menyeret terdakwa divonis bersalah, JPU akhirnya tergelincir membuat kesalahan fatal dalam menerangkan posisi hukum terdakwa. Kekeliruan penyebutan Leo sebagai direktur utama inilah yang akhirnya digunakan oleh penasehat hukum terdakwa sebagai salah satu senjata pamungkas untuk mementahkan dakwaan JPU,” imbuh pria yang juga menyelesaikan studi pasca sarjananya di bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, itu.
Sebagaimana diketahui, penasehat hukum Leo Handoko, Endang Sri Fhayanti, SH, MH, telah mengajukan dan membacakan eksepsi atau keberatan atas dakwaan JPU di persidangan kedua, Selasa, 12 Januari 2021, lalu. Dalam eksepsinya, advokat yang populer disapa Angel ini mengatakan bahwa sudah sepatutnya dakwaan JPU dinyatakan obscuur libel alias dakwaan kabur dan harus ditolak [7].
“Itu sangat jelas JPU ngawur alias ngibul dan termasuk kategori memberikan keterangan bohong di pengadilan. Berdasarkan Akta Notaris perusahaan itu, juga tertuang dalam BAP, jabatan Leo Handoko di PT. Kahayan Karyacon hanya direktur, bukan direktur utama. Tapi saya sudah bisa menduga, JPU nanti dalam nota jawabannya akan mengatakan itu sebagai kesalahan ketik saja,” ujar Wilson lebih lanjut.
Menurutnya, jika JPU menggunakan dalih salah ketik dalam penyampaian jawaban atas eksepsi penasehat hukum Leo Handoko, maka JPU Budi Atmoko dan semua pihak yang terlibat dalam kesalahan itu seharusnya diberhentikan dengan segera. “Rakyat Indonesia mengumpulkan pajak untuk membelikan isi perut dan celana dalam mereka itu supaya mereka bekerja dengan benar, bukan untuk ngibul dengan modus salah ketik. Jaksa seperti itu harus digusur dari kelembagaan hukum di negeri ini,” kata tokoh pers nasional yang dikenal sangat anti korupsi dan manipulasi itu.
Namun demikian, Wilson juga merasa kasihan kepada Kejari Serang. Pasalnya, kekeruhan masalah ini adalah buah dari kekacauan di tingkat penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Jika saja proses di Bareskrim berjalan sesuai prosedur hukum yang benar tanpa dibarengi oleh sifat dan perilaku ingin memperkaya diri bermodus UUD (ujung-ujungnya duit) dan KUHP (kasih uang habis perkara), tentunya JPU tidak akan tertimpa ‘musibah’ seperti yang dihadapi JPU Budi Atmoko itu.
“Saya kasihan juga sebenarnya terhadap Pak Budi Atmoko. Hingga sakit dia sekarang, katanya terjangkit Covid-19 [8]. Semoga lekas sembuh. Dan paling penting, JPU itu bisa berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di persidangan-persidangan berikutnya,” harap Wilson yang juga menjabat sebagai Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko itu. (APL/Red)
*Sumber : Humas PPWI