“Rasa stres ini juga dirasakan oleh sebagian besar orang tua, lantaran mereka yang masih harus keluar untuk bekerja ditambah dengan tanggung jawab untuk mengawasi dan membantu anak dalam memahami materi pembelajaran,”
Oleh : Diantri Fifi
Jakarta | Lapan6Online : Dilansir laman tempo.co, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) memperpanjang status keadaan darurat bencana wabah akibat virus Covid-19. Dalam surat keputusan bernomor 13 A Tahun 2020, Kepala BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo mengatakan memperpanjang keadaan darurat ini dari 29 Februari sampai dengan 29 Mei 2020.
Berkaitan dengan keputusan tersebut, Mendikbud Nadiem Makarim mendukung kebijakan pemerintah daerah (Pemda) yang meliburkan sekolah karena penyebaran virus Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan.
“Dampak penyebaran Covid-19 akan berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kami mendukung kebijakan (meliburkan sekolah) yang diambil Pemda”, ujar Nadiem seperti dikutip Antara, Minggu (15/3).
Terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020, sejumlah provinsi di Indonesia meliburkan sekolah dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA. Bahkan, tidak sedikit pula provinsi yang menetapkan untuk memperpanjang masa libur hingga 30 Mei 2020. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka penyebaran virus Covid-19.
Para siswa dan guru dihimbau untuk melakukan pembelajaran dengan sistem online. Siswa belajar di rumah dan guru mengajar di rumah. Sejumlah operator telekomunikasi pun kompak menyediakan fasilitas untuk mendukung pembelajaran online di tengah penyebaran virus ini.
“Kami memberikan kuota gratis 30 GB yang dapat digunakan untuk mengakses platform belajar online, sehingga mereka tetap semangat belajar meskipun dari rumah,” ujar Presiden Direktur & CEO Indosat Ooredo Ahmad Al-Neama, Kamis (26/03/2020).
Sekilas terlihat begitu menyenangkan, namun fakta menunjukkan hal yang berbeda. Pembelajaran di rumah bukanlah hal yang mudah bagi siswa maupun orang tua. Seiring dengan 14 hari belajar di rumah, ternyata tugas yang harus dikerjakan siswa semakin banyak, karena semua guru bidang studi memberikan tugas dengan waktu pengerjaan yang sempit. Akibatnya, tugas semakin menumpuk dan menjadikan siswa kelelahan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menerima aduan terkait anak-anak yang stres akibat diberi banyak tugas secara online. Dilansir dari detikNews, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, Rabu (18/3/2020), mengatakan bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka malah stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya.
Rasa stres ini juga dirasakan oleh sebagian besar orang tua, lantaran mereka yang masih harus keluar untuk bekerja ditambah dengan tanggung jawab untuk mengawasi dan membantu anak dalam memahami materi pembelajaran.
“Ini anak-anak belajar di rumah jadi orang tua yang sibuk. Aku stres banget nih jadi pengawas. Materinya banyak banget,” ujar Mesya, seorang wali murid sebagaimana dilansir detikNews.
Tentu hal ini akan berdampak pada pengawasan yang tidak maksimal kepada anak. Padahal ketika berbicara dengan proses belajar mengajar (pendidikan) ini tidak terlepas dari tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Ketidaksiapan pemerintah dalam menangani Covid-19 ternyata berimbas dalam berbagai hal. Salah satu diantaranya adalah memperlihatkan ketidaksiapan seorang ibu dalam mendidik anak. Keluhan dan kebingungan bermunculan dari para perempuan dalam mengarahkan dan mengawasi anak nya. Hal ini tidak terlepas dari kondisi saat ini, dimana peran ibu sebagai pencetak generasi penerus bangsa justru berpindah haluan sebagai pekerja.
Perempuan dituntut untuk berdaya di dunia industri dan tidak hanya fokus pada persoalan rumah tangga.
Perempuan harus mampu menghasilkan suatu karya atau produk yang akan membantu pertumbuhan ekonomi negara. Mereka dijadikan objek kapitalisasi melalui budaya konsumtif yang menjadikan perempuan gila belanja dan melepas rasa penatnya di tempat perbelanjaan.
Hakikat hidup perempuan dibelokkan dari menghamba kepada Allah berubah menjadi penghamba materi belaka. Sehingga perempuan yang tidak berpenghasilan dianggap sebagai benalu dalam kehidupan.
Inilah propaganda manis dari kaum feminis yang menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan akan mampu membebaskan mereka dari penindasan, kekerasan seksual, diskriminasi serta menjadikan perempuan mandiri tanpa adanya ketergantungan dengan laki-laki.
Ide feminisme pun tumbuh dengan subur di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Dukungan negara juga diberikan kepada para penggiat ide kesetaraan gender ini.
Negara yang notabene menganut sistem kapitalis merasa mendapatkan keuntungan besar karena dengan adanya feminisme mereka dengan mudah mengeksploitasi perempuan untuk mendongkrak perekonomian negara.
Sejatinya, kaum perempuan dijadikan tumbal negara kapitalis dalam memenuhi keserakahan para penguasa dunia yang buta akan harta.
Namun, sangat disayangkan banyak perempuan terperangkap dalam narasi palsu yang digaungkan oleh kaum feminis ini. Menjadikan perempuan lalai pada peran utama dan akibat buruk pun menimpa para generasi muda yang tidak terdidik dengan baik.
Berbeda hal nya ketika Islam yang dijadikan pedoman kehidupan. Islam telah menyiapkan koridor khusus bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Keduanya dimuliakan tanpa adanya ide kesetaraan. Perempuan sudah dipersiapkan sejak awal menjadi ummu warabatul bait dan ummu madrosatul ula, maka tak ada kekhawatiran ketika anak-anak harus kembali belajar di rumah karena mereka akan tetap mendapatkan pendidikan terbaik dari seorang ibu.
Bukan ketidaksiapan dan kebingungan seperti halnya sekarang ketika keadaan mendesak anak untuk belajar di rumah. Inilah perbedaan negara kapitalis dan Islam dalam mencetak perempuan agar mampu mendidik generasi penegak keadilan. Alhasil, masihkah percaya dengan ide feminis dengan wacana memecahkan semua persoalan? GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis adalah Mahasiswi, UN Malang