Kekhususan Jakarta Untuk Berikan Karpet Merah Sang Putra Mahkota

0
8
Ahmad Khozinudin/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Itu kewenangan DPR dan RUU DKJ inisiatif DPR. Persis, gaya cuci tangan rezim Jokowi yang tak mau tanggung jawab pelemahan KPK berdalih RUU KPK yang menjadi UU No. 19/2019 adalah inisiatif DPR,”

Oleh : Ahmad Khozinudin

MULANYA penulis berfikir, terbitnya Putusan MK No. 90 yang memberikan jalan lapang bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilpres 2024 adalah puncak dari kengawuran rezim Jokowi mengeksploitasi (baca: menyalahgunakan) kekuasaan untuk kepentingan melanggengkan dinasti politiknya. Nyatanya, itu hanya awal saja.

Rupanya, praktik penyalahgunaan wewenang untuk memberikan karpet merah bagi putra mahkotanya, masih berlanjut. Satu per satu, putra mahkota Jokowi dinaikan ke tampuk kekuasaan.

Tak seperti putra mahkota dalam sistem kerajaan yang bersifat tunggal, putra mahkota dalam sistem Republik ala Kerajaan Jokowi ini tak cukup satu. Setelah sukses menggendong Gibran menuju Pilpres 2024 melalui putusan MK (dan skenario dari rencana ini adalah hingga pelantikan Gibran menjadi Wapres RI), kini Jokowi menyiapkan karpet merah untuk putranya yang lain.

Adalah Kaesang Putra Pangarep, anak kedua Jokowi yang karir politiknya moncer naik menjadi Ketua Umum PSI dalam waktu dua hari, berpotensi dinaikan posisinya menduduki tampuk kekuasaan Gubernur Jakarta, melalui penerbitan RUU DKJ (Daerah Khusus Jakarta). Pasalnya, dalam Pasal 10 RUU DKJ tegas dinyatakan :

Pasal 10
“Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur.”

“Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.”

“Masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Kekuasaan Presiden menjadi full dan bisa menetapkan siapapun Gubernur yang dikehendakinya. Kaesang bisa diusulkan melalui Fraksi PSI DK Jakarta yang memang memiliki kursi parlemen di DPRD DK Jakarta (saat ini DKI Jakarta).

Partai pengusung Prabowo – Gibran, yakni Golkar, Gerindra, PAN, hingga Demokrat bisa saja akan taklid buta, ikut ramai-ramai mengusung Kaesang sebagai pejabat Gubernur DK Jakarta. Alasan gampang saja dibuat, seperti mudahnya membuat alasan untuk terbitnya Putusan MK No. 90.

Saat istana dikonfirmasi tentang potensi skenario menaikan Kaesang sebagai Gubernur DK Jakarta via RUU DKJ, istana mudah saja membantah. Istana tinggal katakan, itu kewenangan DPR dan RUU DKJ inisiatif DPR. Persis, gaya cuci tangan rezim Jokowi yang tak mau tanggung jawab pelemahan KPK berdalih RUU KPK yang menjadi UU No. 19/2019 adalah inisiatif DPR.

Setelah RUU DKJ diundangkan (sekitar Februari 2024), maka praktis kewenangan menentukan Gubernur DKI Jakarta ada Pada Presiden Jokowi, bukan pada organ Pilkada. Itu artinya, langkah penerbitan RUU DKJ ini lebih praktis untuk menaikan Kaesang ke tampuk kekuasaan Gubernur Jakarta, ketimbang melalui skenario memajukan Pilkada DKI Jakarta dari bulan November 2024 ke September 2024 melalui penerbitan Perppu, yang gagal karena ditentang Parpol, karena dianggap modus untuk menaikan Kaesang menjadi Gubernur Jakarta.

Nah, RUU DKJ ini adalah Short Cut paling aman untuk menyiapkan karpet merah sang pangeran menuju tampuk kekuasaan Gubernur Jakarta. Langkah ini, lebih spektakuler ketimbang Putusan Paman Usman yang meloloskan Gibran menuju Pilpres 2024.

Dari sisi kewenangan dan tanggungjawab, istana bisa lempar tanggungjawab RUU DKJ itu kewenangan DPR. Berbeda dengan memajukan jadwal Pilkada via Perppu, modus menaikan putra mahkota Kaesang sangat kentara karena Perppu produk Presiden.

Lagipula, RUU DKJ ini langsung memberikan otoritas kepada Presiden Jokowi untuk mengangkat Gubernur DK Jakarta. Sehingga, karpet merahnya lebih praktis ketimbang modus memajukan jadwal Pilkada yang harus mempertaruhkan Kaesang via proses Pilkada, yang butuh biaya lebih besar dan tahan malu lebih lama (potensi Kaesang tak siap debat seperti Kakaknya, Gibran).

Analisa ini tentu saja sangat dapat dipertanggungjawabkan secara logika. Mengingat, jika alasan terbitnya RUU DKJ an sich menindaklanjuti amanat UU IKN, tentu kekhususan Jakarta tidak perlu inklud dengan memberikan wewenang kepada Presiden mengangkat dan memberhentikan pejabat Gubernur DKI Jakarta.

Kewenangan Presiden dari RUU DKJ inilah, yang bisa dijadikan celah Abuse Of Power oleh Jokowi, untuk menaikan Putra Mahkota Kedua Kaesang Pangarep, menuju kursi Gubernur DK Jakarta. [*]

*Penulis Adalah Sastrawan Politik