“Sudah menjadi rahasia umum jika dalam sistem kapitalisme sekuler, tentu berbagai hal senantiasa disandarkan pada orientasi materi, yaitu sejauh mana bisa menghasilkan keuntungan,”
Oleh: Annisa Fauziah, S.Si
Jakarta | Lapan6Online : Beberapa bulan sejak tersebarnya Covid 19 di Wuhan Cina awal 2020, kemudian menyebar ke berbagai negara ternyata belum menunjukkan tanda akan segera berakhir.
Faktanya, di Indonesia saja, setiap hari penambahan kasus positif corona semakin meningkat. Bahkan selalu menyentuh angka di atas 1000 kasus positif per hari.
Namun, kini masyarakat sudah banyak yang mulai “cuek” untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti melakukan social distancing dan memakai masker. Bahkan tak sedikit masyarakat yang meyakini Covid-19 hanyalah konspirasi belaka.
Padahal, akibat pandemi ini, banyak negara kelabakan karena mengalami resesi ekonomi. Di saat yang sama ratusan ribu nyawa masyarakat pun harus mendapat perhatian utama.
Di tengah kondisi tersebut, tenaga medis dan para peneliti di bidang kesehatan tentu masih harus berjibaku mencari solusi untuk mengatasi supaya pandemi ini segera berakhir. Salah satunya dengan mengembangkan uji coba vaksin Covid-19.
Pakar kesehatan dan perusahaan obat dari seluruh dunia pun mencari cara dan upaya untuk menemukan vaksin SARS-CoV-2 secepat mungkin. Salah satunya adalah perusahaan Sinovac asal Beijing, Tiongkok.
Sinovac merupakan salah satu dari empat perusahaan dunia yang melakukan pengembangan tahap akhir vaksin Covid-19. Sinovac sendiri sudah berpengalaman dalam pengembangan vaksin beragam virus yang menjadi epidemi maupun pandemi, seperti SARS, flu domestik, maupun flu yang disebabkan virus H1N1.
Berkat pengalaman ini, Indonesia memutuskan menjalin kerja sama dengan Sinovac. Lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kesehatan, Bio Farma, Indonesia akan melakukan uji klinis tahap ke-III vaksin Covid-19 milik Sinovac. Namun, ada beberapa hal yang harus kita cermati kembali, yaitu jangan sampai proyek penemuan vaksin Covid-19 ini lebih mengutamakan motif ekonomi dibandingkan dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Kekhawatiran lain salah satunya muncul dari Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher yang meminta kepada pemerintah untuk transparan melakukan uji klinis tahap tersebut.
Sebab beberapa bulan sebelumnya, ditemukan vaksin yang diproduksi Cina di bawah standar WHO. Oleh karena itu, sebelum pemerintah melakukan uji tahap akhir harus dipastikan proses produksi dan pengedaran vaksin sudah sesuai standar WHO (wartaekonomi.co.id, 3/8/20).
Beberapa kasus ketidaklayakan produsen vaksin asal Cina perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu agar pemerintah lebih waspada dan ekstra hati-hati sebelum menjalin kerja sama yang dilakukan BUMN dengan produsen vaksin.
Jangan sampai menjadi kerja sama swasta (business to business) yang memonopoli kepentingan umum demi keuntungan segelintir pihak, yang tidak lain adalah para kapitalis itu sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum jika dalam sistem kapitalisme sekuler, tentu berbagai hal senantiasa disandarkan pada orientasi materi, yaitu sejauh mana bisa menghasilkan keuntungan. Maka, dunia kesehatan pun menjadi salah satu bidang yang menjadi sasaran empuk untuk program industrialisasi alias “bisnis”.
Jika negara tidak memiliki regulasi yang jelas, tentu bukan tidak mungkin, para kapital memanfaatkan kesempatan pandemi ini untuk meraup keuntungan.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu keamanan dan kehalalan dari produk vaksin. Apalagi vaksin tersebut akan digunakan di negeri yang mayoritas Muslim seperti Indonesia. Tentu jaminan tersebut menjadi hal yang mutlak harus diperhatikan oleh pemerintah.
Pengaturan kesehatan dalam sistem Islam sungguh berbeda dengan sistem saat ini, yakni, negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan di seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Termasuk dalam hal anggaran pun, negara memberikan anggaran mutlak agar pelayanan kesehatan rakyat bisa terpenuhi. Termasuk menyediakan fasilitas kesehatan, pengobatan dan anggaran penelitian yang layak. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan ini akan terintegrasi dari hulu sampai ke hilir demi terpenuhinya pelayanan kesehatan yang mumpuni bagi seluruh masyarakat.
Islam mewajibkan negara tidak menjadikan faktor keuntungan sebagai pertimbangan utama pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, negara harus berorientasi kepada kemaslahatan umum yakni mendapatkan obat yang tepat dengan memfokuskan pada aspek kelayakan dan keamanan, bukan aspek keuntungan. Red