OPINI | POLITIK | HUKUM
“Perppu Ciptaker memang bertujuan untuk mendorong investasi dengan sistem perizinan yang sederhana serta syarat-syarat yang lebih mudah sehingga para pemilik semakin bebas “mengeruk” keuntungan dari investasi tersebut,”
Oleh : Isra Novita
KEBIJAKAN perekonomian dalam sistem demokrasi-kapitalistik semakin rusak nan merusak. Kerusakan tersebut pun dibuktikan oleh para aktivis mahasiswa, buruh serta berbagai kelompok masyarakat melalui aksi penolakan Perppu Ciptaker. Pada 28 Februari 2023,
Aliansi BEM SI Kerakyatan bersama massa aksi mahasiswa, buruh, dan elemen gerakan lainnya melaksanakan aksi penolakan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Aksi ini digelar dalam tajuk penolakan suatu peraturan yang dibentuk dengan melanggar konstitusi untuk memudahkan pergerakan oligarki dalam menindas rakyat Indonesia. Peserta aksi menilai peraturan ini dibentuk dan dirancang untuk eksploitasi para buruh bahkan masyarakat.
Konstitusi pun Dilanggar Demi “Keuntungan Besar”
Banyak pihak yang menyatakan bahwa pengesahan Perppu Ciptaker ini pelanggaran terhadap Konstitusi karena beberapa faktor. Salah satu alasannya karena tidak terpenuhinya syarat untuk mengeluarkan Perppu. Peraturan tentang Perppu terdapat dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dengan tiga ketentuan.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berdasarkan fakta pengesahan Perppu Ciptaker dengan kondisi negeri saat ini, jelas ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi. Hal ini memperjelas bahwa Presiden Jokowi sebenarnya tidak tepat menggunakan haknya untuk mengeluarkan Perppu.
Alasan selanjutnya yang membuat Perppu Ciptaker ini sebagai pembangkangan terhadap Konstitusi dikarenakan Perppu Ciptaker melecehkan keputusan MK dan UUD. Sebelumnya, pada 25 November 2021, MK telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945.
Amar putusan MK menyatakan bahwa RUU tersebut inkonstitusional bersyarat. Pemerintah serta DPR diberi waktu hingga dua tahun untuk memperbaikinya. Jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan upaya perbaikan, maka RUU tersebut inkonstitusional permanen. Namun, realitanya Presiden tidak melaksanakan keputusan MK tersebut hingga hari ini.
Presiden justru mengeluarkan Perppu Ciptaker yang substansinya sama dengan UU Cipta Kerja secara sepihak. Dengan kekuasaannya, Presiden Jokowi membatalkan keputusan MK. Hal ini tentu membuktikan bahwa negara ini sudah tidak layak dikatakan sebagai negara hukum, melainkan negara kekuasaan dengan kepemimpinan yang diktator karena mengambil kebijakan secara sepihak oleh penguasa.
Sebagai perppu yang “katanya” untuk kepentingan para pekerja justru ditentang keras oleh kaum pekerja karena dinilai merugikan pekerja. Salah satu poin yang ditentang oleh para pekerja adalah mengenai upah minimum.
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, kenaikan upah dihitung menggunakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi serta adanya komponen hidup layak atau KHL. Namun dalam Perppu Cipta Kerja, ada perubahan yang akan diatur dengan PP tentang pengupahan. PP 36 tentang pengupahan dihitung dua komponen pilihan, yakni inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
Hal ini tentu sangat merugikan para pekerja yang akan berpotensi mendapat ancaman upah ketika terjadinya inflasi. Tentu sangat wajar jika Perppu Ciptaker tetap dilaksanakan justru akan berpotensi membuat pekerja semakin miskin. Namun sebaliknya, para pemilik modal akan semakin menikmati buah hasilnya.
Pasalnya, Perppu Ciptaker memang bertujuan untuk mendorong investasi dengan sistem perizinan yang sederhana serta syarat-syarat yang lebih mudah sehingga para pemilik semakin bebas “mengeruk” keuntungan dari investasi tersebut.
Hanya Oligarki yang Mendapatkan “Keuntungan Besar”
Pengambilan kebijakan Perppu Ciptaker yang tidak logis ini tentu semakin memperjelas bahwa perpolitikan dan perekonomian negeri ini sebenarnya sudah dikendalikan oleh oligarki yang memiliki kekuatan modal.
Kekuatan para pemilik modal tersebut tentu bisa tumbuh subur karena sistem politik yang rusak dan mahal, yakni demokrasi kapitalistik. Dalam sistem ini, untuk menjadi presiden saja membutuhkan dana yang luar biasa besar. Forbes, 20 November 2013 pernah merilis bahwa untuk menjadi calon presiden, seorang kandidat butuh Rp 7 Triliun, belum termasuk biaya kampanye, pemenangan, media, dll.
Jika ditotal angkanya bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Ketika berhasil menjadi presiden, maka secara otomatis presiden harus membayar kembali biaya pemenangan melalui jatah proyek-proyek APBN maupun APBD ataupun konsesi tertentu, misalnya pertambangan, atau perdagangan bebas pajak. Maka, kebijakan seperti Perppu Ciptaker inilah yang memperlancar kepentingan oligarki untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya.
Beberapa pakar juga telah meneliti dan menjelaskan bagaimana Oligark menguasai panggung politik negeri ini. Salah satunya dalam tulisan Peter Geoghegan (2020), melalui publikasinya yang berjudul, “Democracy for Sale: Dark Money Dirty Politic,” menyatakan demokrasi sedang dalam krisis, melalui aliran uang yang tidak dapat dilacak akan mempercepat kehancurannya.
Democracy for Sale adalah kisah tentang bagaimana uang, kepentingan pribadi, dan penipuan digital dilakukan secara masif dan liar. Geoghegan menyelidiki politisi, think tank partisan diany dan propagandis memainkan sistem dengan curang.
Dalam penelitian yang lain, oleh Jeffrey A Winters (2011) menyebut bahwa demokrasi sudah tidak ada, Namun yang tetap ada adalah oligarki yang memanfaatkan demokrasi untuk menguasai regulasi. Melalui regulasi tersebut, kelompok oligarki yang memanfaatkan demokrasi untuk menguasai regulasi agar kelompok oligarki bisa mempertahankan kekayaan.
Berdasarkan realita sistem perpolitikan dan perekonomian negeri ini, semakin jelas arah dan tujuan dihadirkannya UU kontroversi berupa UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja hanya untuk membuka kesempatan besar bagi oligarki di negeri ini.
Oligarki yang tidak kelihatan justru mengarahkan regulasi di negeri ini sesuai dengan kepentingan mereka. Oligarki bisa dengan bebas mengeruk kekayaan negeri ini dengan membuat peraturan perundangan melalui penguasa yang menjadi kaki tangan oligarki bahkan terkadang langsung menjadi pemeran oligarki itu sendiri.
Saatnya Suarakan Solusi Hakiki
Semakin jelas bahwa akar permasalahan hadirnya Perppu Ciptaker dikarenakan sistem yang bermasalah, yakni sistem demokrasi kapitalistik.
Tentu yang perlu diperjuangkan saat ini adalah solusi sistemik karena akar masalahnya sistemik, dimana penerapan sistem kapitalisme yang melanggengkan neoliberalisme maupun neoimperialisme di dunia ini termasuk Indonesia.
Adapun dalam sistem Islam, tidak dikenal agenda-agenda neoliberalisme dan neoimperialisme seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta kebijakan anggaran ketat (termasuk pencabutan subsidi).
Selain itu tambang migas, dari segi kepemilikannya, merupakan milik umum, bukan milik individu (swasta). Dengan demikian, selama karakter tambangnya adalah milik umum, yaitu menghasilkan produksi yang besar, maka haram hukumnya mengubah kepemilikan tambang migas itu menjadi milik individu.
Demikian juga halnya dengan relasi antara pekerja dan pemberi kerja. Sistem tenaga kerja dalam islam memberikan keadilan baik terhadap pekerja maupun pemberi kerja. Sistem Islam tentu berbeda dari Kapitalisme yang sangat zalim terhadap para pekerja. Wallahu a’lam.(*)
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia