“Saya tidak meminta imbalan waktu itu kepada Ibu Mimihetty Layani dan Pak Soedomo Mergonoto, karena hal tersebut tidak bisa dihargakan dengan uang, dan saya tulus membantu mereka,”
Lapan6Online | Serang | Banten : Soal kisruh PT Kahayan Karyacon yang selama ini terjadi antara jajaran Direksi dan Komisaris, membuat Leo Handoko, selaku Direktur PT Kahayan Karyacon angkat bicara. Leo menjelaskan, awalnya ia diberikan dana sebesar Rp. 40 milyar oleh Mimihetty Layani untuk membangun perusahaan tanpa syarat apapun. Namun, Leo diminta untuk merahasiakan dari suami Mimihetty, yaitu Soedomo Mergonoto.
“Saya juga tidak tahu apa maksud dari merahasiakan dari suaminya. Lalu, pada 2012 dibangunlah PT. Kahayan Karyacon,” kata Leo Handoko melalui pers rilisnya yang diterima media ini, pada Selasa, 16 Maret 2021.
Menurut Leo, ia mengurus seluruh akte pendirian tanpa kehadiran jajaran Komisaris dan Direksi. Akta pertama itu bernilai Rp. 2 Milyar saham. Pada akhir 2014, PT. Kahayan Karyacon mulai beroperasi. Dalam perjalanannya, perusahaan dijalankan secara otodidak oleh Direksi. Mimihetty selaku Komisaris, tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab selaku Komisaris seperti yang tertulis di Undang-Undang Perseroan (PT).
Tugas dan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan, seperti pengawasan terhadap urusan perusahaan dan memberikan nasihat berkenaan dengan kebijakan Direksi dalam menjalankan perusahaan, tidak dijalankan oleh Komisaris. “Perusahaan dijalankan, dan Komisaris tidak mau tahu. Jadi semua yang seharusnya dilakukan Komisaris, tidak terjadi di PT. Kahayan Karyacon,” ungkap Leo.
Leo menambahkan bahwa semua yang dikatakannya itu bisa dibuktikan, salah satunya dengan tidak pernah terjadinya RUPS. Selama ini laporan keuangan yang disampaikan ke Komisaris dari tahun 2014 sampai 2017 juga tidak pernah dikomplain.
Selama perjalanan operasional perusahaan yang bergerak di bidang produksi batu bata ringan (hebel) tersebut, RUPS ternyata tidak pernah dijalankan dan tidak menjadi masalah di PT. Kahayon Karyacon. Sebab Komisaris juga tidak menjalankan fungsinya sesuai UU PT.
Namun, jajaran Direksi pada tahun 2019 secara mengejutkan dilaporkan atas tuduhan pemalsuan surat dan penggelapan. “Padahal selama ini Komisaris juga menggelapkan pajak terhadap negara dengan tidak memilki NPWP. Dan anaknya, Christeven Mergonoto, juga tidak pernah melaporkan kepada negara bahwa dia menjabat sebagai Komisaris serta memiliki saham di PT. Kahayan Karyacon,” tambah Leo.
Perbuatan curang yang dilakukan Mimihetty Layani dan Christeven Mergonoto untuk menghindari pajak sudah dilakukan sejak tahun 2012. “Logikanya, seorang Komisaris Utama dan pemilik saham mayoritas di suatu perusahaan, masa’ tidak memiliki NPWP? Modusnya apa kalau bukan untuk menghindari pajak?” tanya Leo dengan nada heran.
Leo juga mengungkapkan, sekitar tahun 2015 atau 2016 suami dari Mimihetty ikut Tax Amnesty. Kemudian, Komisaris akhirnya memerintahkannya untuk menaikkan saham PT. Kahayan Karyacon karena takut ketahuan pihak pajak.
Saham PT. Kahayan Karyacon dinaikkan pada 7 September 2016 dan pada 5 Desember 2016 yang totalnya menjadi Rp. 32 milyar. “Semua saya bikin tanpa sepengetahuan Direksi yang lain dan semuanya tidak melalui RUPS. Namun, tidak ada penyetoran saham sebesar Rp. 32 milyar, karena semua hanya formalitas di atas akta saja,” ujar Leo.
Pada 2018, Leo memperbarui akta perusahaan yang sudah habis masa berlakunya demi kepentingan untuk membuka rekening PT Kahayan Karyacon di bank BCA. “Akta tersebut juga beberapa kali dipakai oleh Komisaris Utama untuk keperluan surat-menyurat kepada Direksi dan memposisikan diri sebagai Komisaris Utama. Selain itu, Komisaris Christeven Mergonoto juga memakai akta itu untuk memberi surat kuasa kepada legal corporate dengan mencantumkan nomor akta,” ungkap Leo.
Akta pertama telah berakhir sejak 2017, sehingga jabatan Komisaris Utama dan Komisaris dipertanyakan. “Dari mana mereka dapat jabatan itu? Mimihetty dan Christeven mempermasalahkan akta tersebut, padahal juga dipergunakan oleh mereka dan sekarang dilaporkan palsu oleh mereka juga,” ucap Leo mempertanyakan sikap licik kedua orang komisaris itu.
Leo yang kini dilaporkan atas tuduhan membuat dokumen palsu bertanya, apakah akta yang diperintahkan untuk naik menjadi Rp. 32 milyar tanpa sepengetahuan Direksi dan tidak ada setoran itu, asli atau palsu? “Saya adalah orang kecil yang tidak sehebat istri dari CEO Kapal Api. Sehebat-hebatnya manusia, tidak pernah terhindarkan oleh masalah termasuk keluarga dari Komisaris Utama (Mimihetty Layani-red). Apa Komisaris Mimihetty Layani yang terhormat, sudah lupa dengan jasa saya membantu menyelesaikan masalah Anda di akhir 2015 dan yang bergulir di awal tahun 2016?” tanya Leo.
Leo mengaku bahwa dirinya pernah membantu memfasilitasi pertemuan Mimihetty Layani dengan pihak pejabat tinggi Mabes Polri (Wakapolri – red) di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, pada 19 Februari 2016. “Mungkin Anda lupa karena selama ini sibuk dengan agenda melaporkan saya. Saya ingatkan kembali, Anda pernah memiliki masalah hukum di Bareskrim Mabes Polri dan memohon ke saya untuk membantu membereskan masalah tersebut,” kata Leo.
Leo mengatakan bahwa saat itu dirinya telah mengambil segala resiko demi membantu Komisarisnya lepas dari persoalan hukum yang dihadapinya di Bareskrim Mabes Polri. “Saya tidak meminta imbalan waktu itu kepada Ibu Mimihetty Layani dan Pak Soedomo Mergonoto, karena hal tersebut tidak bisa dihargakan dengan uang, dan saya tulus membantu mereka. Semoga mereka tidak seperti kacang lupa kulit, yang setelah dibantu malah melupakan jasa saya,” harap Leo.
Namun begitu, Leo menolak untuk menjelaskan lebih detail tentang permasalahan hukum yang dihadapi oleh Mimihetty itu. “Saya masih menghormati kalian dengan segala kelebihan dan kekurangan kalian. Cukup kami beserta jajaran Direksi yang tahu. Saya memilih diam dan tidak perlu membuat heboh publik. Tapi bukan berarti saya akan diam selamanya. Biar waktu yang akan mengungkap kebenaran,” tutup Leo. (*Red)
*Sumber : Humas PPWI