Jakarta, Lapan6online.com : Komposisi menteri di bidang ekonomi dinilai kurang meyakinkan untuk memberikan hasil terbaik dari persoalan ekonomi saat ini. Harmoni guna mencapai tujuan yang diharapkan akan sulit terwujud.
“Lebih banyak yang tidak tepat di posisinya jika kita mengukur dari masalah perekonomian yang ada serta target ke depan,” ujar Direktur Data Indonesia Herry Gunawan di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Beberapa persoalan ekonomi di depan mata saat ini, lanjut Herry, adalah kondisi industri manufaktur Indonesia yang dalam tekanan. Sejak tiga bulan terakhir, Juli-September 2019, indeks manufaktur berada di bawah angka 50. Indeks tersebut dikeluarkan oleh Nikkei, yang melakukan survei secara berkala terhadap 400 perusahaan manufaktur.
Indikator yang menjadi ukuran indeks tersebut adalah pesanan baru, produksi, karyawan, waktu pengiriman dari pemasok serta bahan baku. Indeks di bawah 50 itu menunjukkan bahwa posisi industri manufaktur Indonesia hanya bisa bertahan, tidak bisa ekspansi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri di bidang manufaktur atau pengolahan hingga Februari 2019, menyerap sekitar 18 juta pekerja atau 14 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Sementara pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang secara kuartalan pada kuartal kedua mengalami kontraksi, yaitu -1,91 terhadap kuartal sebelumnya. Sedangkan secara tahunan, mengalami perlambatan. Pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 3,62 persen, sementara periode yang sama tahun sebelumnya tumbuh 4,36 persen.
“Ini persoalan yang ada di depan mata,” ujarnya.
“Sementara persoalan ini sekarang diurus oleh tiga menteri dari partai politik yang tidak memiliki track record maupun konsep yang jelas terkait dengan masalah yang dihadapi,” katanya menambahkan.
Menko Perekonomian diemban oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Selanjutnya, posisi Airlangga di Kementerian Perindustrian diberikan kepada Agus Gumiwang Kartasasmita dari Golkar dan Menteri Perdagangan diisi oleh Agus Suparmanto dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Komposisinya memperlihatkan bahwa mereka perlu waktu tidak sebentar untuk beradaptasi dengan persoalan yang menjadi tanggung jawabnya,” papar Herry.
Selanjutnya, menurut Herry, terkait potensi industri digital Indonesia yang mencapai ratusan miliar dolar sepatutnya dipimpin oleh Nadiem Makarim, yang justru ditempatkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Bukan hanya berhasil membangun Go-Jek, Nadiem telah berhasil menciptakan ekosistem industri digital dengan kondisi nyata di Indonesia. Ini yang diperlukan sekarang,” tegasnya.
Sementara itu, menurut Herry, mungkin Sri Mulyani Indrawati menjadi satu-satunya menteri yang sejalan dengan keahlian dan pengalamannya, sehingga cocok di tempat sekarang, yaitu Menteri Keuangan. Tapi masalahnya, ketika kondisi keuangan negara yang sedang ketat seperti sekarang lantaran penerimaan pemerintah sedang melambat, akan dihadapkan dengan persoalan pelik.
“Kalau pertumbuhan ekonomi meleset atau turun, yang ditunjuk adalah Menkeu. Sementara mitranya yang punya peran besar ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, justru akan sulit mendukung,” katanya.
Herry berpandangan Sri Mulyani lebih cocok menjadi Menko Perekonomian, kalau melihat komposisi yang ada sekarang. “Dia yang menjadi konduktor, bukan Airlangga,” ujarnya.
“Dengan demikian tercipta harmoni yang lebih baik dalam memulihkan kondisi perekonomian sekarang dan menyiapkan fundamental ekonomi untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh Presiden.”
Sementara di Badan Usaha Milik Negara yang saat ini menterinya adalah Erick Thohir, juga kurang meyakinkan. “Belum kelihatan visinya, bahkan saat menjadi pengusaha. Beda dengan kakaknya, Boy Thohir yang memimpin Adaro dan sukses,” katanya.
Persoalan yang dihadapi oleh BUMN saat ini sangat serius. BUMN sedang menjadi pendamping pemerintah dalam merealisasikan program-program besar yang dampaknya akan terasa dalam jangka panjang. Akibatnya juga, BUMN sedang menghadapi beban utang yang besar dan harus diatasi, sementara proyek yang dikerjakan banyak muatan sosialnya.
Tak kalah pentingnya, Herry memaparkan, secara organisasi BUMN sedang dalam proses pemantapan terkait dengan holding yang baru dibentuk. “Erick belum terlihat memiliki tanda-tanda positif di seluruh persoalan ini,” katanya.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, keinginan Presiden Jokowi agar Indonesia memiliki pertumbuhan yang tinggi, sehingga pendapatan per kapita bisa Rp27 juta per bulan, akan sulit. “Begitu pun dengan keinginan keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah,” tukasnya.
(teropongsenayan.com)