Kontroversi Pemilu di tengah Penderitaan Rakyat, Mulai Penundaan hingga Mahalnya Pembiayaan Kontestasi 2024

0
34
Puput Hariyani, S.Si/Foto : ISt.

OPINI | POLITIK

“Biaya sebesar ini tentu sangat mencengangkan, mengingat kondisi masyarakat yang jauh dari kata sejahtera, juga keuangan negara yang sedang memprihatinkan. Akankah pesta demokrasi tetap berlanjut?,”

Oleh : Puput Hariyani, S.Si

PERBINCANGAN tentang naiknya beragam bahan kebutuhan pokok belumlah usai. Jeritan masyarakat dari berbagai penjuru negeri masih menghiasi relung hati. Mulai dari naiknya harga minyak goreng, harga bahan bakar jenis pertamax, kenaikan pajak, dll. Mirisnya dalam kondisi demikian, pemerintah layaknya pihak yang terpisah dengan masyarakat.

Alih-alih berempati dengan situasi sulit yang sedang dihadapi rakyat yang tengah terseok-seok berjuang untuk hidup, pemerintah seakan menutup mata dan telinga.

Dalam beberapa bulan terakhir, seiring dengan beban hidup yang kian berat, masyarakat justru disuguhi dengan berbagai perbincangan dan gagasan wacana tiga periode jabatan presiden, penambahan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara, hingga penundaan pemilihan umum.

Situasi inilah yang menjadi salah satu pemicu aksi para mahasiswa dari 18 universitas di Indonesia yang menggelar aksi demonstrasi di Jakarta pada senin (11/04), mereka mendesak Presiden Jokowi memberikan pernyataan jelas untuk menolak wacana perpanjangan jabatan atau penundaan pemilu.

Meski dalam kesempatan yang sama presiden mengambil sikap untuk meredam gejolak masyarakat dengan mengatakan “Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode,” kata Jokowi dilansir dari Kompas.com, Senin (15/3/2021).

Namun, pernyataan ini tidak lantas membuat masyarakat lega, pasalnya gaya kepemimpinan yang dikemas sederhana secara penampilan ini, sudah terlampau sering menyakiti hati umat dengan lahirnya seambrek kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Sebagaimana disampaikan oleh Pengamat politik, Rocky Gerung, arahan sebelumnya dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta para menterinya untuk berhenti bicara soal wacana penundaan pemilu atau presiden tiga periode hanya lip service dan untuk konsumsi diplomasi politik. Tudingan tersebut disampaikan Rocky dalam videonya berjudul Jokowi Setop Wacana 3 Periode Tapi Boong yang diunggah di kanal Rocky Gerung Official, Kamis (7/4/2022).

Melalui laman wartaekonomi.co.id Rocky Gerung justru menilai Jokowi diam-diam mengamini agenda presiden tiga periode. Hal itu tak lepas dari megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tengah disiapkan Jokowi. Rocky Gerung menyebut wacana tiga periode tidak mungkin berhenti karena Jokowi ingin berkuasa lebih lama supaya bisa menikmati ibu kota baru.

Rocky Gerung bahkan menuding beberapa tokoh intelektual dalam negeri sudah “disewa” untuk menyusun opini bahwa wacana presiden 3 periode adalah sesuatu yang masuk akal.

“Pakar-pakar HTN (Hukum Tata Negara) juga udah disogok pake mobil listrik tuh. Karena kan dia butuh opini hukum untuk mewujudkan 3 periode,” ujar Rocky Gerung.

Belum lagi masyarakat harus mengelus dada ketika muncul polemik soal prediksi biaya pemilu 2024 yang sangat fantastis. Maka tidak berlebih jika banyak pihak menuding bahwa politik di alam demokrasi menjadi industri bagi para oligarki.

Diketahui dari penuturan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra, usulan anggaran terakhir yang diajukan kepada DPR terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah sebesar Rp 76 triliun.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia memperkirakan biaya Pemilu Serentak 2024 bisa mencapai Rp 150 triliun (Kompas.com).

Biaya sebesar ini tentu sangat mencengangkan, mengingat kondisi masyarakat yang jauh dari kata sejahtera, juga keuangan negara yang sedang memprihatinkan. Akankah pesta demokrasi tetap berlanjut? Lantas dari mana dana sebesar itu akan didapat? Dari pajak, dari saku pribadi para kontestan, dari korporasi atau hutang luar negeri?

Semua pilihan itu tentu sangat beresiko terutama bagi rakyat. Jika dana itu dari pajak maka rakyat harus menerima pil pahit kesengsaraan jika harus membayar pajak yang kian naik, kalau dana diperoleh dari saku pribadi kontestan adakah jaminan tidak korupsi ketika menjabat sebagai upaya balik modal? Begitupun jika diperoleh dari hutang, siapa yang akan membayar, pasti rakyat bukan? Dan kalau kita berani menggandeng koorporasi maka bersiaplah untuk gigit jari ketika semua kebijakan yang lahir dalam pusaran oligarki.

Jika berkaca dari pengalaman tahun-tahun ke belakang, besarnya mahar politik yang harus dibayar bukanlah sesuatu yang baru. Kekuasaan adalah jabatan menggiurkan yang sangat diinginkan oleh banyak kalangan. Hal ini sangat bisa dipahami karena paradigma kekuasaan dalam kolam demokrasi dijadikan kendaraan untuk berburu materi, eksistensi dan melanggengkan dinasti.

Pengangkatan Pemimpin di dalam Islam
Realitas pemilihan pemimpin di atas meja demokrasi sangat jauh berbeda dengan mekanisme pengangkatan pemimpin di dalam Islam.

Diawali dengan sebuah cara pandang yang sangat mendasar bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah yang sangat agung. Memiliki tujuan mulia untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Maka kekuasaan bukanlah jalan untuk diperebutkan demi alasan kemanfaatan finansial.

Seorang pemimpin dipilih karena kapabilitas kepemimpinannya dan sifat amanah, mereka juga harus memenuhi kriteria yang disyariatkan oleh Islam.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fii al-Islam menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/Khalifah) yaitu: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Beliau juga menambahkan syarat keutamaan, yakni seorang Mujtahid, pemberani dan politikus ulung.

Selain itu seorang pemimpin juga harus memiliki karakter seorang pemimpin yang sangat dirindukan oleh umat.

Pertama , orang yang paling takut kepada Allah, ia akan memimpin berdasarkan ketetapan Allah SWT.

Kedua , shiddiq, yang berarti jujur. Imam Ibnu Katsir berkata, “Jujur merupakan karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar sahabat tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan, baik pada masa jahiliah maupun setelah masuk Islam. Kejujuran merupakan ciri keimanan, sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur dia akan beruntung.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/643).

Ketiga , amanah. Amanah adalah lawan dari khianat, dengan sifat amanah pemimpin akan menjaga kepercayaan rakyat atas tanggung jawab kepemimpinannya.

Keempat, tabligh atau komunikatif. Pemimpin harus terbuka dengan rakyatnya, mendengar keluhan mereka, dan menerima masukan serta nasihat mereka. Pemimpin tidak boleh antikritik.

Kelima , fathanah (cerdas). Kecerdasan seorang pemimpin akan memudahkannya memecahkan persoalan yang terjadi di masyarakat.

Keenam , adil. Lawan dari adil adalah zalim. Pemimpin haruslah adil. Di tangannya, hukum ditegakkan.

Tidakkah kita rindu menghadirkan kembali sosok pemimpin yang selembut Abu Bakar, setegas Umar, sebijak Utsman, secerdas Ali, sesederhana Umar bin Abdul Aziz, segemilang Harun Al Rasyid, setangguh Sulaiman Al Qanuni, seperkasa Muhammad Al Fatih, dan seteguh Sultan Abdul Hamid II, serta para khalifah lainnya? Mereka semua lahir dari rahim peradaban Islam yang agung.

Kemudian berkaitan dengan pengangkatan pemimpin, Islam memiliki metode baku yakni baiat. Seorang pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan dari rakyat, dan tidak harus lewat jalan pemilu yang menghabiskan banyak modal. Pemilihan juga bisa melalui perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya, lalu wakil umat ini (Majelis Ummah) yang memilih penguasa.

Islam juga menetapkan batas waktu pemilihan pemimpin bahwa batas kekosongan pemimpin hanya boleh tiga hari. Dalilnya adalah ijma‘ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Juga ketetapan Umar bin Khatab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi adalah tiga hari. Dengan batasan tiga hari ini akan meminimkan masa kampanye yang berpotensi menghabiskan dana besar.

Demikianlah cara Islam melahirkan sosok pemimpin yang dirindukan oleh umat, dilakukan secara efektif, murah dan hasil berkualitas. Wallahu’alam ‘alam bi ash-showab. (*)

*Penulis Adalah Pendidik Generasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini