OPINI | POLITIK
“Permasalahan yang ada saat ini bukanlah semata-mata oversupply PLN yang menyebabkan kerugian melainkan kacaunya paradigma kepemilikan komoditas milik umum. Kekacauan cara pandang ini akhirnya berakibat pada kesalahan pengelolaan,”
Oleh : Nisrina Nitisastro
BARU – baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan listrik. Presiden sendiri telah menitahkan semua lembaga pemerintah pusat dan daerah mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik.
Untuk itu telah terbit payung hukumnya: Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan data Kemenkeu, total kendaraan dinas sebanyak 189.803 unit. Artinya, kendaraan sebanyak itu akan dikonversi dari mesin konvensional ke mesin bertenaga listrik. Proses ini dilakukan secara bertahap.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah juga getol mendorong peningkatan penggunaan listrik dalam rumah tangga. Pemerintah melancarkan program konversi gas LPG 3 kg ke kompor induksi alias kompor listrik 1000 watt.
Uji coba akan dilakukan di tiga kota: Solo, Denpasar, dan satu kota di Sumatera.
Untuk program konversi kompor ini, pemerintah akan membagikan secara percuma paket kompor listrik kepada 300 ribu rumah tangga di tahun ini. Total anggaran yang disiapkan sebesar Rp540 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov kepada CNN Indonesia (Rabu, 21/9/2022) menilai bahwa ambisi pemerintah mendorong penggunaan listrik ini lebih banyak dilakukan di hilir. Karenanya ini menjadi tanda bahwa ada masalah dalam pasokan listrik yang berlebih.
Oversupply listrik terjadi di wilayah Jawa-Bali. Ada tambahan pasokan hingga 6 gigawatt (GW) di Jawa. Padahal tambahan permintaan hanya 800 MW. Ada kelebihan 5 GW. Kelebihan ini bisa meningkat hingga 7,4 GW pada 2023 dan bisa tembus hingga 41 GW pada 2030. Sedangkan setiap kelebihan 1 GW saja, PLN merugi sebesar Rp 3 triliun (CNN Indonesia, Rabu, 21/9/2022).
Pemerintah tampaknya telah yakin akan langkah yang diambilnya tanpa mempertimbangkan lebih jauh akan harga BBM yang baru naik. Padahal konversi ke peralatan listrik sama sekali tidak murah. Suplai listrik yang memadai hanya ada di Jawa dan Bali, di luar kedua pulau itu suplai tidaklah stabil. Bagaimana mungkin masyarakat bisa menggunakan kompor listrik dengan nyaman jika suplai listrik tidak stabil?
Selain itu, SPBKLU masih terbatas jumlahnya. Di Indonesia terdapat 32 titik SPBKLU di 22 lokasi proyek percontohan 33 SPBKLU. Umumnya di Jawa. Berbicara mengenai mobil listrik, kita tak hanya sedang membahas teknis konversinya melainkan juga berbagai sarana dan prasarana penunjangnya. Sejauh ini, persiapan ke arah itu masih minim.
Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah pihak yang akan diuntungkan dengan adanya konversi ini? Menarik jika kita menelisik lebih jauh tentang pelaku “bisnis” listrik di Indonesia. Masyarakat selama ini mengira bahwa mayoritas pembangkit listrik yang ada saat ini dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan PLN merupakan perusahaan monopoli kelistrikan nasional.
Kenyataannya, lebih dari 50% pembangkit listrik yang beroperasi di tanah air saat ini adalah milik pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP).
IPP menjual listriknya kepada PLN, kemudian PLN menyalurkan listrik kepada pelanggan. Tugas PLN adalah melaksanakan mandat dari negara untuk melistriki semua wilayah. Besarnya porsi pembangkit listrik swasta ini berimbas pada biaya pembelian tenaga listrik PLN yang akhirnya memberatkan konsumen.
Seolah tidak cukup sampai di situ, dalam kontrak jual-beli dengan pihak swasta terdapat skema take or pay. Artinya, listrik yang sudah dihasilkan tetap harus dibayar walaupun tidak dipakai. Inilah yang menyebabkan terus membengkaknya kerugian PLN akibat oversupply.
Tak hanya tentang pasokan listrik, konversi mobil listrik juga menjadi proyek basah bagi produsen baterai mobil listrik. Melimpahnya nikel di Indonesia membuat pemerintah menatap baterai kendaraan listrik sebagai potensi baru dalam sektor pertambangan.
Indonesia sendiri masih menggandeng produsen asing seperti LG dan Hyundai. Selain itu juga ada Tesla, BASF, VW, Britishvolt, Chengxin Lithium, dan CATL.
Roadmap pengembangan industri baterai EV (electric vehicle) dan ESS (energy storage system) sudah dimulai dan diharapkan rampung pada 2027.
Pembangunan charging station (SPKLU dan SPBKLU) sendiri sudah dimulai sejak 2021. Pembangunan ekosistem industri baterai listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir bakal membutuhkan investasi mencapai US$13-17 miliar atau sekitar Rp182-238 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar).
Politik Kejar Setoran
Proyek konversi mobil dan kompor listrik digelontorkan bukan untuk kemaslahatan rakyat. Jelas-jelas ada kepentingan oligarki dan asing bermain di sana. Kita sama tahu bahwa para pemilik pembangkit listrik sawasta (IPP) berada dalam lingkar oligarki. Kerugian PLN akibat oversupply adalah dalih untuk terus melanggengkan cengkeraman oligarki pada perusahaan pelat merah.
Jika pemerintah serius menyelamatkan PLN dari kerugian tak berujung, para pengembang listrik swasta seharusnya diusir dari bisnis listrik. Berhenti berwacana subsidi salah sasaran. Listrik sebagai komoditas milik umum harus dikelola sepenuhnya oleh negara demi kepentingan rakyat.
Bukan malah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Apalagi jika swasta memberlakukan skema take or pay kepada PLN. Ini menunjukkan pemerintah sama sekali tidak memiliki keberpihakan kepada PLN, melainkan lebih mengedepankan kepentingan swasta.
Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api,” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam sistem Islam, haram hukumnya menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan listrik kepada swasta. Permasalahan yang ada saat ini bukanlah semata-mata oversupply PLN yang menyebabkan kerugian melainkan kacaunya paradigma kepemilikan komoditas milik umum. Kekacauan cara pandang ini akhirnya berakibat pada kesalahan pengelolaan.
Proyek konversi dilakukan untuk menyerap suplai yang berlebih agar kerugian PLN dapat ditekan. Walau Dirut PLN menyebutkan bahwa konversi kompor listrik membuat rakyat berhemat Rp8.000 per kilogram elpiji, ini tidak banyak membantu.
Hal ini menjadi janggal ketika pada saat yang sama TDL terus naik. Stabilitas listrik di daerah pun tak membaik. Bahkan konversi bisa membuat produksi dan distribusi gas melon berkurang yang akhirnya menaikkan harga di pasaran. Itu sama saja negara membebankan kepada rakyat kerugian yang diderita PLN sambil terus menjamin keuntungan bagi swasta. Padahal jika dilihat dari hadits di atas justru rakyatlah pemilik komoditas listrik.
Tingginya utang luar negeri RI yang kini telah mencapai Rp7.000 miliar lebih ditambah syahwat membangun IKN menjebak pemerintah pada kubangan investasi asing. Para investor diberi karpet merah untuk mengucurkan dananya. Tesla, misalnya, walaupun sempat dikabarkan mandek, pembicaraan investasi masih terus dilakukan.
Dikabarkan Kompas (23/8/2022), Tesla sudah meneken kontrak pembelian nikel dari dua perusahaan Indonesia yang nilainya mencapai US$5 miliar atau setara Rp74,5 triliun (kurs Rp 14.900). Adapun LG dan CATL menggelontorkan investasinya sekitar US$13-15 miliar atau sekitar Rp186-215 triliun (CNBC, 31/03/2022).
Jika proyek konversi mobil listrik jadi dilaksanakan—dan sepertinya memang akan dilaksanakan—kita dapat menebak siapa yang lebih dulu diuntungkan.
Khatimah
Lingkaran setan carut-marut pengelolaan tambang di Indonesia takkan pernah selesai selama tata kelola negara berdasarkan paradigma kapitalistik. Negara bergerak bukan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat, sebaliknya malah berdagang dengan rakyat. Celakanya, barang milik rakyatlah yang diperdagangkan.
Allah SWT berfirman: “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan” (TQS Ali Imran: [109]).
Berdasarkan ayat ini, setip kekayaan alam yang ada merupakan milik Allah. Allah memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya dengan berbagai ketentuan. Kepemilikan tersebut diatur oleh Allah berdasarkan sifat yang melekat pada jenis komoditas.
Adapun untuk komoditas tambang, Allah mengizinkan manusia memilikinya secara bersama-sama (komunal) bukan secara individual. Konsepsi inilah yang tidak dikenal oleh penyelenggara negara kita. Kekayaan alam akhirnya diperas tanpa batas.
Pemerintah telah salah arah dalam menetapkan tujuan pembangunan negeri ini. Kekayaan alam milik rakyat dilelang kepada asing untuk membiayai utang luar negeri dan proyek-proyek mercusuar. Padahal proyek mercusuar yang dibuat tak terhubung sama sekali dengan kebutuhan rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir elite. Rakyat yang harusnya menjadi penikmat kekayaan alam akhirnya gigit jari.
Politik ekonomi kapitalis tidak pernah menempatkan masyarakat dan kesejahteraannya sebagai tujuan pembangunan ekonomi.
Hal ini bertolak belakang dengan politik ekonomi Islam. Perbedaan cara pandang inilah yang akhirnya membuat rakyat kian sengsara. Sudah waktunya rakyat menyadari bahwa hak mereka untuk hidup sejahtera hanya dapat diperoleh dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Wallahu a’alam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Konsultan Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik