OPINI
“Pelaku bukan hanya tidak amanah, tapi mengambil keuntungan dari bantuan untuk warga yang terdampak pandemi. Kenapa hakim malah peduli kepada pelaku, bukan publik yang telah dikhianati dan uangnya dicuri?”
Oleh : Yolanda Anjani
KASUS korupsi dana bantuan sosial pada masyarakat yang terdampak pandemi ini sudah menjadi masalah klasik di tengah-tengah masyarakat. Dimana uang yang seharusnya bukan hak segelintir penguasa diambil tanpa memedulikan bagaimana dampak terhadap masyarakat.
Sudah pasti bantuan yang sangat diharapkan oleh masyarakat hadir tidak sesuai dengan yang seharusnya ditetapkan oleh Pemerintah. Mirisnya vonis hukuman yang dijatuhkan terhadap Juliari Batubara sangat meresahkan masyarakat, dikarenakan hukumannya diringankan dengan alasan cercaan masyarakat serta hinaan netizen terhadap Juliari.
Sementara itu, seorang mantan terpidana korupsi menganggap pertimbangan hakim itu ganjil karena citra negatif selama ini memang melekat pada pelaku
kejahatan korupsi.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dianggap lebih bersimpati kepada eks Menteri Sosial Juliari Batubara ketimbang penerima bansos yang terdampak pandemi Covid-19.
Feri menilai pertimbangan majelis hakim meringankan vonis terhadap Juliari ganjal. Menurutnya hakim justru lebih mempedulikan nasib politikus PDI Perjuangan itu ketimbang desakan untuk menjatuhkan vonis berat.
“Pelaku bukan hanya tidak amanah, tapi mengambil keuntungan dari bantuan untuk warga yang terdampak pandemi. Kenapa hakim malah peduli kepada pelaku, bukan publik yang telah dikhianati dan uangnya dicuri? (bbc.com, 24/08/2021).
Pada sidang pembacaan putusan Senin (23/08), majelis hakim menghukum Juliari dengan penjara selama 12 tahun. Vonis ini lebih tinggi satu tahun dari tuntutan jaksa KPK, tapi tidak sesuai dengan harapan pegiat antikorupsi yang menganggap Juliari patut dihukum lebih berat.
Juliari juga dihukum membayar denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebanyak Rp14,5 miliar. Dia juga divonis tidak boleh menggunakan hak politik selama empat tahun (bbc.com,24/08/2021).
Namun dalam salah satu pertimbangannya, majelis hakim menganggap cacian publik terhadapnya patut meringankan hukuman Juliari.
“Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat,” kata anggota majelis hakim, Yusuf Pranowo saat membacakan berkas putusan. Karena tanggapan dari anggota majelis hakim tersebut, Feri Amsari mengatakan, “Kalau pertimbangan itu benar, setiap pelaku kejahatan akan mendapat keringanan,” (bbc.com, Selasa 24/08) Cercaan maupun hinaan masyarakat terhadap terdakwa tidak dapat menjadi sebuah alasan untuk meringankan hukuman seorang koruptor yang telah memakan uang rakyat.
Apalagi dalam kondisi sedang terjadinya wabah. Masyarakat sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah tetapi pihak memberikan bantuan tidak menyalurkannya sesuai dengan yang seharusnya. Tidak menjalankan amanah dan tidak ada kejujuran dalam perbuatan.
Islam memberikan tanggung jawab kepada penguasa, pelaksana syariat Islam untuk memberikan jaminan kebutuhan dasar kepada rakyat melalui mekanisme yang jelas.
Saat masa pemerintah Khalifah Umar, disekitar Madinah ditimpah bencana kelaparan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan wabah penyakit dan juga kematian. Pemimpin yang dipercaya, yakni Khalifah Umar bin Khattab, rela untuk tidak makan dan merasakan penderitaan yang sama dengan rakyatnya saat masa sulit.
Bahkan saat sang Khalifah mendengar rakyatnya kelaparan hingga memasak batu, beliau langsung mengambil bahan makanan ke Baitul Mal lalu membawa bahan tersebut dengan memberikannya sendiri kepada keluarga yang kelaparan.
Semua beliau lakukan karena merasa bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin kepada rakyatnya. Tidak ada memakan uang rakyat, sang Khalifah jauh dari fasilitas kehidupan yang mewah dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya.
Rasulullah bersabda, ”Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) tentang kepemimpinannya.” Maka betapa tidak terpujinya pemimpin yang hanya berorientasi melanggengkan kekuasaan dan melupakan penderitaan rakyatnya.
Sangat tampak perbedaan bagaimana pemimpin dimasa Islam. Peraturan yang diterapkan bukan dengan berdasarkan pandangan manusia, tetapi melalui peraturan Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka jika peraturan sesuai dengan islam, tidak akan ada alasan-alasan dalam menghadapi masalah hanya karena, “cercaan atau hinaan” masyarakat terhadap yang terdakwa. Semua aturan adil tanpa pandang kekuasaan yang dimiliki atau peraturan yang dilandaskan perasaan. Islam is the right way of life. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswi