Oleh : Eva Ummu Naira,
KORUPSI lagi dan lagi terjadi, seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini. Seperti diberitakan cnnindonesia.com, Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan Destiawan sebagai tersangka korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumeda, untuk mempercepat proses penyidikan, Destiawan ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari terhitung sejak 28 April 2023 sampai dengan 17 Mei 2023.
Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menetapkan empat orang tersangka, yakni Direktur Operasional II PT Waskita Karya periode 2018 sampai dengan sekarang Bambang Rianto (BR), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya periode Juli 2020 sampai Juli 2022, Taufik Hendra Kusuma (THK).
Kemudian, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya periode Mei 2018-Juni 2020 Haris Gunawan (HG) dan Nizam Mustafa (NM), selaku Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya. Keempat tersangka berkasnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, dan telah disidangkan.
Jika dilihat, PT Waskita Karya Persero (Tbk) adalah BUMN di bidang konstruksi yang memiliki banyak kantor cabang tersebar di seluruh Indonesia. PT tersebut adalah ‘lahan basah’ yang memberikan peluang terjadinya korupsi dalam sistem demokrasi ini. Dan menjadi hal yang sulit terselesaikan meski ada badan khusus yang menangani korupsi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bersuara soal langkah Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) ini menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan. Ia menghormati proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung tersebut. Menurutnya itu menjadi peringatan kepada BUMN lain untuk benar-benar bekerja secara profesional dan transparan sesuai dengan peta jalan yang telah ditetapkan.
Memang, korupsi sudah menjadi kejahatan yang biasa terjadi bahkan dilakukan secara bersama sama. Bahkan tampak sudah menjadi tradisi di alam demokrasi ini. Tak cukup hanya dengan profesionalisme kerja seorang pegawai tersebut tak melakukan korupsi, banyak celah dan peluang yang bisa menyebabkan terjadinya korupsi. Salah satunya seperti lemahnya ketakwaan individu, kurangnya kontrol masyarakat atau sesama pegawai dan juga sanksi yang tidak memberi efek jera bagi pelaku. Sehingga peluang untuk melakukan korupsi pun terus menerus akan terlihat.
Namun, berbeda dengan sistem Islam, yang sangat jelas mengatur sistem peradilan dan persanksian. Dalam sistem Islam ada sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Untuk kasus korupsi hukuman bagi seorang koruptor yakni ta’zir (hukuman yang ditetapkan oleh penguasa atau pemimpin, tentu saja hukuman yang setimpal dengan perbuatannya bahkan bisa berupa hukuman mati).
Selain itu sistem Islam akan melahirkan individu-individu yang bertakwa yang akan meminimalisir kejahatan-kejahatan seperti korupsi ini. Individu yang bertakwa akan menyadari perbuatan dosanya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, sehingga ia akan takut jika melakukan dosa. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok