OPINI
“Namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan system,”
Oleh : Miranthi Faizaqil Karima
HASIL Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan mayoritas pegawai negeri sipil (PNS) beranggapan korupsi di Indonesia memburuk. Sejumlah 34,6 persen responden PNS menilai tingkat korupsi meningkat dan 33,9 persen menilai korupsi tidak ada perubahan, sedangkan 25,4 persen menilai menurun.
Survei LSI juga mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah. Sedangkan 34,8 persen responden menilai kalau keberadaan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi.
Sedangkan sebesar 24,2 persen responden berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin. Dan 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi, sehingga korupsi dipandang sebagai sesuatu yang lumrah terjadi.
Menteri Pandayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menyayangkan masih mendapati banyak PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat PNS korup.
“Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat,” kata Tjahjo Kumolo dalam acara rilis survei LSI virtual, Minggu (18/4).
Angka yang mencengangkan mengingat PNS merupakan pegawai yang dipekerjakan untuk mengurus urusan rakyat dengan uang rakyat. Namun pada kenyataannya, banyak dari mereka yang malah menggelapkan uang rakyat.
Permasalahan korupsi tampaknya larut dalam sistem pemerintahan sekuler demokrasi, karena manusia diberikan wewenang untuk mengatur dan menerapkan kebijakan sesuai nafsu dan akalnya.
Tentunya masing-masing darinya memiliki kepentingannya atau kepentingan partainya sendiri. Sehingga tidak jarang sering terjadi jual beli hukum dengan para pemilik modal, atau yang lebih sering dikenal dengan pasal pesanan.
Jika memang seperti pembelaan kebanyakan orang, para koruptor hanya merupakan segelintir buah busuk yang wajar terjadi dalam sebuah sistem.
Namun, mengapa terus bertambah buruk kasus-kasus korupsi di Indonesia?
Mengapa para pejabat negara malah memandang korupsi sebagai budaya suatu kepemerintahan? Bukan kah itu cukup membuktikan bahwa ini merupakan sebuah problem sistemis?
Dalam sistem sekuler ini, korupsi adalah problem sistemis. Namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem.
Hukum yang dijatuhkan terhadap para koruptor pun sangat longgar dan ringan, dibandingkan dengan kerusakan dan kerugian yang mereka berikan pada negara.
Tidak jarang para koruptor ditemukan membayar para sipir untuk mendapatkan fasilitas mewah dalam penjara ataupun sekadar pergi keluar lapas untuk makan. Inilah yang terjadi saat hukum buatan manusia diletakkan diatas hukum buatan Sang Pencipta.
Tidak akan selesainya permasalahan kehidupan di antara manusia saat manusia itu sendiri yang memutuskan hukum berdasarkan ego, nafsu dan akalnya. Karena hanya Penciptanyalah yang mengetahui lebih baik fitrah manusia, sehingga hanya dengan hukum-Nya manusia dapat menjalankan hidup sesuai dengan fitrahnya.
Dengan mengeliminasi berbagai sistem yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, hanya sistem Islamlah yang tersisa. Islam bukan agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi sempurna yang berisikan hukum-hukum bernegara, bermasyarakat dan beribadah, karena semua hukum dan ajarannya terintegrasi dengan kehidupan dan tidak dapat dipisahkan. Hanya dengan penerapan hukum dan sistem Islamlah, masalah kronis seperti korupsi yang berakar dari rusaknya sistem sekuler dapat dimusnahkan. [*]
*Penulis Adalah Alumni Universitas Padjadjaran