Krisis Minyak Goreng di Negeri Penghasil Minyak Sawit Terbesar

0
18
Kartiara Rizkina M S. Sosio,/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK | EKONOMI

“Peraturan yang tidak jelas selama ini membuat perusahaan swasta melenggang tenang. Bahkan pemerintah terkesan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap para pengusaha. Demi pundi-pundi rupiah, mereka rela mengambil hak rakyat yakni kebutuhan pokoknya,”

Oleh : Kartiara Rizkina M S. Sosio,

MINYAK sawit mentah atau CPO tengah jadi perhatian publik di Tanah Air setelah harga minyak goreng melonjak drastis sejak tiga bulan terakhir. Para produsen minyak goreng berdalih, kenaikan harga minyak nabati itu terjadi karena adanya penyesuaian harga CPO global, di mana permintaannya naik namun suplainya tidak mencukupi.

Seperti diketahui, Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006, menyalip posisi yang selama bertahun-tahun ditempati Malaysia.

Meroketnya harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah.

Komisioner KPPU Ukay Karyadi alasan mengikuti harga global menurutnya kurang masuk akal. Ini lantaran perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui HGU.

Ia mencurigai adanya persekongkolan para kartel yang terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng.

“Ini dinaikan juga relatif kompak, baik di pasar tradisional, di ritel modern, di pabrik perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri,” terang Ukay seperti kompas.com, pada Senin (24/1/2022).

Sebab sebagai komoditas global, kenaikan harga CPO akan menyebabkan produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.

Maka produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran produsen akan lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Mengingat produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Hal ini membuat CPO jadi penyumbang devisa ekspor terbesar bagi Indonesia.

Wajar saja para produsen lebih mengutamakan ekspor dari pada terpenuhinya kebutuhan dalam negeri.

Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. Sebut saja gerai gerai belanja besar di Indonesia seperti indomaret dan alfamart.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga mengkritisi terkait program satu harga yang dimana semua minyak goreng dibanderol Rp 14.000 per liter. Dalam program ini, pemerintah menyiapkan 1,2 juta miliar liter minyak goreng untuk didistribusikan dengan harga yang sama.

Menurutnya program ini justru salah kaprah karena tidak mengetahui dan memahami psikologi konsumen. Bukan hanya itu, Tulus juga mengatakan, pemerintah gagal dalam mendalami dan memahami supply chain terhadap minyak goreng sebagaimana dilansir kompas.com (30/1/2022).

Hal yang tak masuk akalnya beberapa HGU perkebunan sawit besar, berada di atas bekas lahan pelepasan hutan. Kendati begitu, pemerintah tak bisa memaksa produsen menurunkan harga minyak goreng yang masuk dalam kebutuhan pokok masyarakat.

Dari sini terlihat bahwa pemerintah hanya sebagai pihak mediator, bukan sebagai pihak pengatur. Sehingga baik produksi maupun pemasarannya bukan dijalankan pemerintah melainkan para pengusaha.

Peraturan yang tidak jelas selama ini membuat perusahaan swasta melenggang tenang. Bahkan pemerintah terkesan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap para pengusaha. Demi pundi-pundi rupiah, mereka rela mengambil hak rakyat yakni kebutuhan pokoknya (sandang).

Begitulah gambaran sistem ekonomi kapitalis, negara tidak memiliki kedaulatan penuh atas rakyatnya, melainkan para pengusaha (pemilik modal).

Pengusaha dalam sistem kapitalis ini berazaskan manfaat belaka, semua hanya demi meraup keuntungan.

Berbeda dengan Islam, negara memiliki tugas besar. Ia wajib mengurusi kebutuhan rakyatnya, baik sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan maupun kesehatan. Pemenuhan ini bukan sebatas pada program penggelontoran bantuan, tetapi sampai memastikan seluruh rakyat terpenuhi kebutuhannya, termasuk perkara minyak goreng.

Disampaikan oleh Busyur, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum muslimin, maka di hari kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. Jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahanam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun.” (At-Targib jilid III, halaman 441)

Begitu pula produksi dan distribusinya, jika negara memiliki hasil minyak sawit yang besar maka tugas negara dalam mengelolanya. Negara juga harus memastikan bahwa minyak goreng yang diproduksi sampai kepada rakyat dengan harga yang terjangkau. Tidak ada istilah negara mengambil keuntungan, sebab negara adalah pelayan bagi rakyatnya.

Islam juga tidak membiarkan raksasa perusahaan swasta berdiri dan menguasai seluruh aset negara. Dalam hal ini, sawit merupakan kekayaan milik umum yang harus dikembalikan kepada rakyat, bukan dikuasai konglomerat.

Sebagaimana hadis Nabi saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Begitulah salah satu cara Islam menanggapi meroketnya harga minyak goreng. Islam tidak membiarkan keuntungan hanya dipegang oleh salah satu pihak sementara rakyat menjadi korban keserakahan pengusaha. Sebaliknya, Islam mengutamakan pemenuhan seluruh kebutuhan rakyatnya. Wallahualam. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah Aceh dan Pengamatan Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini