Oleh : Azizha Nur Dahlia
“MUDIK menjadi sebuah obat penenang bagi banyak orang yang sudah terlalu mabuk pekerjaan. Menjadi semacam oase bagi kegersangan jiwa yang terjebak dalam kumparan sosial media yang panas dan lama sekali dinginnya.”
Ungkapan yang ditulis Agus Mulyadi— narablog—di blognya ini sangat mewakili perasaan para perantau.
Mudik rasanya sudah semacam tradisi yang dilakukan di Indonesia, digunakan untuk ajang silahturahmi dan menambah kehangatan antar keluarga. Hidup diperantauan, ditengah kota yang mengejar materi wajar bila “refreshing” ingin dilakukan. Mudiklah salah satu cara untuk kembali me-refresh diri.
Terlebih di perusahaan besar yang jarang membolehkan karyawannya untuk mengambil cuti maka mudik adalah jalannya. Waktu yang hanya satu tahun sekali ini pasti dimanfaatkan baik.
Namun sayang beribu sayang, untuk sesorang yang sudah merindukan kampung halamannya belum bisa mengambil kesempatan ini. Hal ini karena adanya kenaikan tiket transportasi yang bisa melonjak 2-3x lipat, belum lagi dengan kemacetan parah yang akan terjadi, dan tentu kecelakaan yang mungkin akan terjadi menjadi sebab seseorang untuk berpikir ulang mudik ke kampung halaman.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memperkirakan, jumlah pemudik pada Lebaran 2023 mencapai 123, 8 juta orang. Angka itu naik dari 85,5 juta orang pada mudik Lebaran 2022. Jumlah ini lebih besar dari jumlah pemudik pada tahun-tahun sebelumnya, setara dengan 46% jumlah penduduk Indonesia. Artinya, pada libur Lebaran 2023 nanti, hampir setengah penduduk Indonesia akan melakukan mobilitas antarkota.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memaparkan langkah-langkah yang akan kepolisian lakukan untuk memecah kemacetan selama arus mudik dan arus balik Lebaran Idulfitri 2023. Hal tersebut ia sampaikan usai menggelar rapat koordinasi terkait pengamanan mudik bersama Panglima TNI dan sejumlah menteri di Mabes Polri.
Tranportasi umum yang sangat dibutuhkan menjelang lebaran uni nyatanya tidak berbanding lurus dengan tersedianya armada atau kursi bagi pemudik.
Maka ini akan berpengaruh pada ongkos transportasi yang mahal. Pihak terkait mengatakan ini hanyalah penyesuaian harga. Akhirnya, banyak masyarakat yang memilih tidak jadi mudik karena sudah syok duluan dengan harga tiket transportasi. Namun, ada pula yang tetap meneruskan rencana mudiknya meski harus membayar mahal.
Tarif mahal yang diberlakukan merupakan hal yang wajar di tengah ekonomi kapitalisme ini. Ini tidak bisa dihindari karena penyedia transportasi umum memang dikendalikan oleh swasta idmana orientasinya adalah profit, pun BUMN yang dikelola dengan prinsip yang sama.
Padahal seharusnya peran negara bukan hanya menetapkan batas atas tarif atau memberi sanksi bagi pelanggarnya, melainkan menyediakan sarana kebutuhan publik secara berkualitas dan terjangkau.
Melalui ekonomi kapitalisme ini emerintah menyerahkan pengelolaan aset kepemilikan umum kepada swasta atau asing, apalagi negara mengklaim tidak memiliki SDM memadai untuk mengelolanya sendiri.
Selain itu, biaya pembangunan infrastruktur bertumpu pada utang luar negeri, termasuk urusan sarana dan prasarana transportasi. Investasi pun masif menjadi solusi. Pada akhirnya, ketika rakyat membutuhkan layanan transportasi, mereka harus membayar mahal.
Belum lagi masalah kemacetan yang terjadi, banyaknya perantau di perkotaan akan menjadikan penumpukan manusia. Maka, problem mudik tidak hanya fokus pada upaya untuk mengurai terjadinya penumpukan manusia.
Lebih dari itu, ada masalah mendasar yang juga wajib hadir agar mudik amanLebih dari itu, Ramadan yang notabene merupakan momentum untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya harusnya tidak hilang spiritnya meski saat mudik.
Mudik yang kerap terjadi pada 10 hari terakhir Ramadan seharusnya tidak menghalangi umat Islam untuk meraih keutamaannya. Artinya, masalah mudik ini bukan sekadar mengantisipasi terjadinya kemacetan. Memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dan menghadirkan spirit keimanan juga tidak kalah penting.
Jika seluruh masalah tersebut terpetakan, tentu yang masyarakat butuhkan bukan sekadar rekayasa lalu lintas. Infrastruktur pendukung mudik yang manusiawi dan nyaman untuk mendukung ibadah harus menjadi pertimbangan. Pemerintah wajib menghadirkan paradigma pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk dalam suasana mudik.
Problem Mendasar
Paradigma pelayanan (riayatusy-syu’unil ummah) adalah spirit utama negara dalam mengurus rakyatnya. Pembangunan sarana transportasi baik darat, laut, maupun udara, serta sarana pendukungnya, adalah tugas negara.
Negara tidak hanya menyelenggarakan pembangunan, tetapi juga memastikan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi saat menggunakan fasilitas tersebut.
Tanggung jawab ini tidak boleh negara alihkan kepada siapa pun. Islam memandang transportasi publik sebagai urat nadi kehidupan yang juga merupakan kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya harus dijamin oleh negara. Oleh karenanya, negara berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung untuk memenuhi hajat publik ini, khususnya dalam hal ini transportasi mudik Lebaran.
Berkaitan dengan ini ada 3 poin penting yang harus diperhatikan oleh negara.
Pertama, wajib menyediakan moda transportasi publik yang berkualitas, layak, dan memadai. Juga perlu menyiapkan secara optimal seluruh infrastruktur, termasuk jalan umum dan jembatan penghubung antarkota, serta memfasilitasi warga dengan bahan bakar yang terjangkau.
Kedua, memberi pelayanan menyeluruh dalam ruang lingkup pemenuhan kebutuhan dasar (asasi), tetapi tidak mencakup kebutuhan mewah (sekunder/tersier). Artinya, negara berkewajiban menyediakan sarana transportasi publik dalam jumlah memadai, armada yang terawat dan performa baik, jangkauan rute luas, serta tempat duduk dan pendinginan udara yang representatif.
Selain itu, negara akan memperhatikan jadwal keberangkatan yang tepat waktu, pengemudi yang kompeten dan mampu berkendara dengan selamat, serta tarif yang tidak memberatkan bagi semua kalangan. Itu pun hanya untuk transportasi komuter dalam kota karena aktivitas utama manusia sehari-hari biasanya berpusat di kota yang sama. Adapun kebutuhan untuk fasilitas mewah, sifatnya opsional.
Ketiga, wajib menetapkan tata kelola transportasi publik yang menghalangi peran swasta mengendalikan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Tata kelola ini bisa dalam bentuk BUMN yang bertujuan mendapat keuntungan.
Artinya, kalaupun negara mengambil keuntungan dari sektor yang dibisniskan kepada masyarakat, yakni sektor industri jasa dan konsumer, maka semua keuntungan itu akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk lain.
Itulah solusi Islam dalam menyelesaikan masalah krisis kronis transportasi publik, baik saat Lebaran maupun di luar Lebaran yang merupakan bagian integral sistem kehidupan Islam. Solusi Islam tersebut hanya dapat diterapkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. (*)