OPINI | POLITIK
“Mereka merasa mereka pejabat tinggi, padahal dia itu adalah teknikus cuman tukang ngumpulin suara atau tukang bikin kotak suara.”
KRITIK tajam datang dari tokoh intelektual terkemuka Rocky Gerung terhadap gaya hidup mewah sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rocky Gerung menilai perilaku tersebut mencerminkan kebusukan institusi negara yang sudah merajalela.
Dalam pernyataannya, Rocky Gerung menggambarkan betapa kebusukan telah merasuki tubuh KPU.
Penggunaan pesawat pribadi, kegiatan dugem, hingga urusan dengan perempuan, menurut Rocky Gerung ini adalah indikasi nyata dari kemerosotan moral yang memalukan.
Rocky Gerung tidak ragu menyindir keras praktik politik uang yang dinilainya semakin merajalela.
Bahkan, ia menyoroti usulan seorang anggota DPR yang mengusulkan legalisasi politik uang dalam pemilu, dengan alasan realitas lapangan yang sulit dihindari.
Dikutip dari youtube pribadinya, Rocky Gerung menjelaskan “Itu soal yang jadi frustrasi kita sebetulnya dan PDIP memang mengucapkan itu saya kira sebagai frustrasi aja karena toh enggak hilang-hilang.”
“Apalagi yang kemarin bagian-bagian yang diuntungkan oleh manipolitis adalah yang dekat dengan kekuasaan,” tambahnya.
Kritik Rocky Gerung ini menggugah kekhawatiran akan integritas demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks gaya hidup mewah, Rocky Gerung dengan tegas menyinggung tentang penggunaan uang negara untuk memuaskan kepentingan pribadi para komisioner.
Mobil dinas mewah dan jam tangan mahal hanya sebagian kecil dari kemewahan yang dinikmati oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab menjaga keadilan dan integritas pemilu.
Rocky Gerung menekankan “KPU itu hidup bermewah-mewah sebetulnya kan itu juga money politik sebetulnya.”
Tidak hanya itu, Rocky Gerung juga menyoroti simbiosis mutualisme antara beberapa anggota DPR dengan komisioner KPU.
“Dia justru berleha-leha dengan uang yang dibayar oleh rakyat melui APBN,” ucapnya.
Usulan agar masalah-masalah tidak pantas, seperti dugem dan urusan pribadi, tidak dibahas dalam sidang terbuka, mengindikasikan adanya upaya untuk melindungi kepentingan yang kotor.
“Ini yang namanya gaya-gayaan,” jelasnya.
Rocky Gerung menekankan, mereka merasa mereka pejabat tinggi, padahal dia itu adalah teknikus cuman tukang ngumpulin suara atau tukang bikin kotak suara.”
Lebih lanjut, Rocky Gerung menggambarkan keadaan ini sebagai gejala dari krisis yang mendalam dalam sistem politik dan ekonomi.
Pembusukan total institusi negara telah merajalela, menguji keberlangsungan bangsa ini.
Dalam situasi di mana banyak mahasiswa kesulitan membayar uang kuliah, keberadaan komisioner KPU yang hidup dalam kemewahan menjadi kontras sosial yang mencolok.
Rocky Gerung mengatakan “Jadi lengkaplah kecurigaan kita bahwa tidak ada keseriusan KPU itu untuk mengurus Pemilu.”
Hal ini mencerminkan ketidakadilan yang terus memperdalam kesenjangan sosial di masyarakat.
Kritik Rocky Gerung mencuatkan kekhawatiran akan keberlangsungan demokrasi dan moralitas dalam institusi negara.
“Sebetulnya kita memboroskan anggaran untuk menghasilkan pemilu yang memang pada akhirnya tidak ada legitimasinya,” tutupnya.
Rocky Gerung berharap semoga kritik ini menjadi pemicu untuk introspeksi dan reformasi yang mendalam dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia. (hajinews/red)
*Sumber : HajiNews