Penulis : Sri Bintang Pamungkas, (*)
Lapan6online.com : Ingat beberapa hari lalu?! Ketika seorang Pengendara motor sedang parkir, tiba-tiba datang motor lain dengan dua orang berboncengan dari arah belakangnya. Lalu yang dibonceng mengeluarkan revolver, ditujukan ke belakang kepala pengendara motor yang sedang parkir. Lalu dalam jarak yang sangat dekat dari sasaran terdengar “DOR!”. Menggeletaklah orang yang “didor” tanpa sadar apa yang sedang terjadi. Si Penembak dengan sigap mengambil motor si Tertembak yang jatuh bersimbah darah, sambil merogoh sesuatu dari saku korban terus kabur meninggalkan korbannya yang sudah dipastikan tewas seketika…! Itu terjadi di Semplak, Bogor siang hari bolong!
Macam itu pulalah yang dilakukan para Penegak Hukum kita: Main “DOR!”. Tidak peduli Polisi Penyidik, Jaksa Penuntut Umum atau Majelis Hakim Pengadilan. Itulah Negara Hukum Republik Indonesia.
Entah itu akibat Wabah Virus Corona atau yang lain, tapi itu terjadi sekarang-sekarang ini di bawah Rezim yang sekarang ini pula.
Bukankah para Bandit dibebaskan dari tahanan karena alasan Corona?! Bukankah Rezim juga tidak menjamin kehidupan mereka yang dilarang bekerja, buka warung dan mencari rizki dengan alasan Corona.
Masih bagus mereka yang punya gaji tetap. Bagaimana mereka yang hidupnya jadi tukang Ojek, Tukang sate ngider, Ktoprak dorong, warung Tegal, tenda Kaget dan jadi orang Asongan. Siapa yang menjamin hidup mereka saat Lockdown?! Jokowi, Anies, Risma, Ridwan atau Sri Sultan. Mereka bisa membantu banyak orang, tapi tidak mungkin orang macam Sri Mulyani bisa menjamin hidupnya semua penduduk yang menderita akibat Corona itu.
Demikian juga para Hakim kita di PN Jakarta Timur. Mudah-mudahan tidak semua. SBP mengamati sidang-sidang mereka sejak Januari lalu. Sungguh mengerikan! Mereka main ketok “Palu!”.
Main “Dor!”. Terlebih-lebih ketika memainkan HP yang disebutnya sebagai Sidang Online!
Perhatikan ini. Ada tiga Jaksa di bangku Penuntut Umum. Bangku Pengacara terlihat kosong. Dengarlah Hakim Ketua ini:
“Jadi, Saudara Anu Kedengaran tidak dari Cipinang…?! Dengar, ya?! Jadi acara kita adalah Putusan, ya?! Saya bacakan Putusan, ya?!”
Setelah dibacakan Putusan, tidak lebih dari 5 menit., bahkan kurang, lalu dilanjutkan.
Sudah dengar, ya?! Jadi saudara sudah diputus delapan tahun, ya…?! Terima, tidak?! Terima saja, ya?! Kan kemarin dituntut duabelas tahun. Sekarang diputus delapan tahun. Jadi sudah diperingan empat tahun. Terima saja, ya?! Gak usah banding, ya?! Jadi, ibegitu ya, Anu?! “Tok! Tok! Tok!”
SBP mendengarnya sebagai “DOR! DOR! DOR!” Luar biasa!
Dengarkan lagi yang ini:
“Saudara Badu di Cipinang, ya?! Silahkan dengar, ya?!”
“Saudara Jaksa silahkan dibacakan Surat Dakwaannya!”
Lalu Jaksa membacakan Surat Dakwaan. Bangku Pengacara juga kosong. Cepat sekali si Jaksa membaca, sampai tidak terdengar apa yang disampaikannya. Lima menit selesai! Lalu si Hakim Ketua bicara lagi:
“Sudah dengar ya, Saudara Badu?! Sudah jelas, ya?! Tidak ada pertanyaan, ya?! Untuk Saudara kami sediakan Pengacara, ya?
Lalu dua orang Pengacara muncul dari pintu sebelah, lalu duduk di Bangku Pengacara. Kenudian Hakim Ketua meminta agar Surat Dakwaan diserahkan kepada Pengacara yang menerimanya tanpa kata-kata. Tidak pula ada Berkas Perkara.
Lalu terdengar lagi:
“Jadi tak perlu ada eksepsi dari Pengacara, ya…?! Silahkan Saudara Jaksa menghadirkan Saksinya…!”
Busyet! Kata saya dalam hati. Lalu masuklah tiga orang yang mengaku polisi yang menangkap Badu. Hakim tidak memeriksa identitas mereka, selain menanyakan nama dan agamanya. Untuk disumpah secara Islam. Kemudian si Hakim Ketua melafalkan sumpahnya yg diikuti oleh para Polisi yang dijadikan Saksi. Ada Panitera yang membawakan Al Quran di atas kepala mereka.
Lalu Hakim Ketua menanyai Saksi-saksi itu, diawali dengan:
“Tolong senjatanya dilepas, ya?!
Proses itu tidak lama. SBP sudah hafal dengan jawaban-jawaban polisi itu. Tidak di Timur, tidak di Selatan, tidak di Pusat sama saja. Mereka belum tentu penangkap yang sebenarnya. Kecuali kalau mereka di-BAP, namanya ada serta identitasnya pun diperika Majelis Hakim.
“Ada pertanyaan dari Pengacara?!”
Hanya ada dua pertanyaan pendek. Itupun tidak jelas apa.
“Masih ada Saksi lain?!
Kelihatannya JPU cukup dengan menggelengkan kepalanya saja.
“Jadi sidang ditunda seminggu, ya?! Saudara Badu, minggu depan siap-siap sidang lagi, ya?!”
Sidang ditutup: “DOR! DOR! DOR!”
Hari itu dua Pengacara dari Pusat Bantuan Hukum tadi mendapat dua perkara hari itu. Konon mereka mendapat 6 juta untuk setiap perkara. Tapi yang mereka terima bukannya 12 juta, melainkan sudah disunat sana-sini. Di antara orang-orang Jakarta Timur itu!
SBP juga mendengar, para Terdakwa di Cipinang itu tidak mendengar jelas suara para pihak di dalam Sidang. Putus-putus…! gak jelas!
Tapi itulah Indonesia. Negara Hukum Republik Indonesia! Bagaimana Perkara begini bisa dibawa ke Sidang…?!
Jakarta 20 April 2020
@SBP, (*)
*Penulis Ir. Sri Bintang Pamungkas, S.E., M.Si., Ph.D. adalah seorang politisi senior, tokoh pergerakan, reformis, aktivis dan juga orator hebat.
*Judul Asli: “MAFIA PERADILAN DI JAKARTA TIMUR (2): Ada Dor-Doran di Ruang Sidang”
*Sumber Publish: Suaraberkarya.com