OPINI | HUKUM | POLITIK
“Konflik antara pembangunan dan lahan seakan tidak pernah mati. Konflik tersebut makin diperparah dengan adanya kriminalisasi masyarakat atau aktivis yang memperjuangkan lahan dan lingkungannya dari dampak buruk pembangunan,”
Oleh : Selvi Safitri
PEMANDANGAN memilukan terjadi di Jalan Pantai Timur, Kelurahan Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia. Ratusan warga terpaksa turun ke jalan, membakar ban dan membentangkan spanduk sebagai bentuk protes terhadap rencana eksekusi lahan yang telah mereka diami selama puluhan tahun. ( Tribunnews 23-1-2025 ).
Hal ini disebabkan adanya klaim dari Komplek Taman Hako Indah bahwa tanah tersebut adalah milik perumahan mereka. Massa melakukan blokade jalan dengan membawa spanduk bertuliskan dugaan Camat dan Kepala Lingkungan setempat ikut dalam mafia tanah tersebut.
Warga melakukan perlawanan dengan didampingi kuasa hukum karena merasa tanah yang mereka diami sudah ada bangunannya sejak tahun 1942. Sementara sertifikat atas Nama Handoko Gunawi terbit tahun 1994 yang saat itu juga di tahun 2007 warga sudah mengajukan gugatan.
Dan saat itu dimenangkan serta dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tahun 2010. Situasi semakin memanas seiring dengan kehadiran aparat keamanan yang mulai bersiaga. Hingga kini, warga tetap bertahan dilokasi, menuntut kejelasan atas nasib mereka yang tak menentu.
Sengketa dan konflik lahan antara warga dan pemerintah berulang kali terjadi. Aksi gusur menggusur seakan sudah menjadi kebiasaan pemerintah tatkala proyek kerja sama bersama swasta harus terlaksana. Rakyat menjadi korban, pengusaha dapat angina segar. Atas nama HGB dan HGU, tanah rakyat dipaksa berpindah tangan menjadi proyek swasta.
Para oligarki yang menjelma menjadi pejabat negara bagaikan eksekutor yang merampas ruang hidup rakyat. Inilah demokrasi. Kekuasaan hanya diberi untuk memuaskan kepentingan korporasi. Inilah demokrasi. Wadah bagi para oligarki untuk memuluskan jalan para pemilik modal.
Konflik antara pembangunan dan lahan seakan tidak pernah mati. Konflik tersebut makin diperparah dengan adanya kriminalisasi masyarakat atau aktivis yang memperjuangkan lahan dan lingkungannya dari dampak buruk pembangunan.
Bahkan, aparat yang mesti bertugas membela kepentingan rakyat, malah berdiri membela kepentingan korporasi. Kebijakan negara yang berdiri bersama oligarki telah menyengsarakan rakyat. Inikah model kepemimpinan hakiki ?.
Kasus mafia tanah ini sangat merugikan rakyat. bermula dari pejabat negara yang kurang amanah dan serakah. Meski sudah ada regulasi dan lembaga yang mengatur pertanahan, faktanya masalah pertanahan masih mejamur.
Apalagi jika regulasi pertanahan terkerangka dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial. Dalam UU 11/2020 tentang cipta kerja , klaster “ Lahan dan Hak Atas Tanah” diimplementasikan dalam lima peraturan pemerintah ( PP ) yang baru.
Siapa yang tidak kenal dengan beleid sapu jagat tersebut ? penyusunan hingga pengesahannya memunculkan kontroversu berkepanjangan. Oleh karenanya, kasus mafia tanah tidak akan terselesaikan tanpa hukum baku mengenai kepemilikan tanah dan penggunaannya.
Selama paradigma pelayanan kepentingan rakyat berkiblat pada kapitalisme yang penuh manipulasi, mafia-mafia tanah itu akan terus berulang. Konflik tanah juga akan terus berlanjut.
Juga dengan modal penegakan hukum yang tidak berkeadilan, siapa yang bisa menjamin pemberantasan mafia tanah akan tebongkar hingga pucuk pimpinan ? sejauh ini, kasus-kasus yang melibatkan mafia hanya berhenti dibagian hilir saja, sedangkan hulunya, yaitu dalang utama, masih gelap dan tidak tersentuh.
Tugas pemimpin sesungguhnya adalah melindungi dan menjamin penghidupan rakyat. Jika tugas pokok ini tidak terlaksana, maka bisa kita katakan pemimpin tersebut telah berkhianat kepada rakyat. Rasulullah SAW bersabda “ Imam ( kepala negara ) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggung jawaban tentang rakyatnya “ ( HR Bukhari ).
Penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemashlahatan siapa saja yang berada dibawah kepemimpinannya. Kemashlahatan akan terwujud ketika pemimpin menjalankan amanah sebaik-baiknya. Amanah kepemimpinan tidak akan sempurna terlaksana tanpa pelaksanaan sistem islam secara kaffah.
Kapitalisme dengan perangkat demokrasinya sudah jelas tidak akan mewujudkan pemimpin yang amanah. Yang terjadi, sistem ini justru melahirkan pemimpin khianat dan kebijakan zalim.
Merampas tanah rakyat adalah kezaliman. Menghilangkan ruang hidup mereka juga bagian dari kemungkaran. Tentu hal ini harus dihentikan, yakni dengan menerapkan sistem kepemimpinan islam yang amanah, berkeadilan, dan menyejahterakan melalui tegaknya khilafah sebagai perisai hakiki umat. Wallahu a’lam. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswa Sastra Jepang