“Karena itu, maka merekalah pihak-pihak yang paling pantas digugat untuk bertanggungjawab. Apalagi jika manajemen internal tersebut bekerja sama dengan mafia migas yang membuat pengelolaan Pertamina menjadi semakin kacau. Rakyat pantas menggugat dan menuntut ganti rugi kepada Pertamina atas berbagai kerugian tersebut!”
Lapan6online.com : Marwan Batubara, Peneliti IRESS kembali bersuara keras terhadap kondisi yang menerpa PT. Pertamina. Pernyataan kerasnya dinyatakan pada acara Diskusi Publik “Pertamina Sumber Kekacauan?!” di Jakarta, Kamis kemarin (19/12/2019).
Menurut Marwan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) telah membuat pernyataan serius bahwa Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak di negeri ini (10/12/2019). Sebelumnya, Presiden Jokowi mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina (25/11/2019). LBP mengatakan Ahok merupakan sosok yang tepat mengawasi Pertamina. Terlebih, saat ini dirasa Pertamina bukan BUMN yang sehat.
Marwan memaparkan, antara lain LBP mengatakan: “Ahok itu akan sangat bagus mengawasi Pertamina. Kenapa? Karena sumber kekacauan paling banyak di sana. Kemarin saya ajak dia rapat, saya bilang ke Pak Ahok tuh liatin barang itu (Pertamina), dia kan senang yang gitu-gituan. Orang yang nggak suka ngeliat dia (Ahok) tuh orang yang nggak suka diperiksa, yang nggak suka jujur.” (Jakarta, 10/12/2019).
Berikut pemaparan Marwan Batubara yang dikutip redaksi dari pesan Whatsapp. Sebagai berikut:
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) telah membuat pernyataan serius bahwa Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak di negeri ini (10/12/2019). Sebelumnya, Presiden Jokowi mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina (25/11/2019). LBP mengatakan Ahok merupakan sosok yang tepat mengawasi Pertamina. Terlebih, saat ini dirasa Pertamina bukan BUMN yang sehat.
Marwan memaparkan, antara lain LBP mengatakan: “Ahok itu akan sangat bagus mengawasi Pertamina. Kenapa? Karena sumber kekacauan paling banyak di sana. Kemarin saya ajak dia rapat, saya bilang ke Pak Ahok tuh liatin barang itu (Pertamina), dia kan senang yang gitu-gituan. Orang yang nggak suka ngeliat dia (Ahok) tuh orang yang nggak suka diperiksa, yang nggak suka jujur.” (Jakarta, 10/12/2019).
Pernyataan LBP yang sangat dipercaya oleh Presiden Jokowi ini patut dimintai klarifikasi dan dipersoalkan, mengingat Pertamina merupakan salah satu BUMN utama yang mengelola dan menyediakan energi bagi rakyat. Keberadaan dan fungsi Pertamina menguasai cabang produksi menyangkut hidup orang banyak dijamin konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, rakyat berhak meminta pemerintah dan manajemen Pertamina untuk bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas konstitusional yang disebut kacau tersebut!
Jika LBP mengatakan Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak, maka hal ini tidak bisa diartikan lain bahwa selama ini pengelolaan Pertamina bermasalah dan merugikan rakyat. Kerugian dapat berupa pelayanan tidak optimal, harga-harga produk lebih mahal, dividen kepada negara rendah, produksi dan cadangan migas turun, kilang BBM & petrokimia tidak terbangun, ketahanan energi nasional turun, mafia migas bergentayangan, hingga defisit perdagangan dan neraca berjalan yang terus bertambah besar (double deficit).
Jika mencermati pernyataan LBP, maka penyebab utama kekacauan berasal dari internal Pertamina, terutama direksi pada lapis pertama dan jajaran manajemen pendukung pada lapis kedua dan ketiga. Karena itu, maka merekalah pihak-pihak yang paling pantas digugat untuk bertanggungjawab. Apalagi jika manajemen internal tersebut bekerja sama dengan mafia migas yang membuat pengelolaan Pertamina menjadi semakin kacau. Rakyat pantas menggugat dan menuntut ganti rugi kepada Pertamina atas berbagai kerugian tersebut!
Namun, Pertamina bukanlah lembaga otonom bebas berbuat sesuka hati tanpa kontrol. Di atas manajemen Pertamina ada pejabat-pejabat eksternal yang menjadi komisaris, sebagai pengawas dan pengendali perusahaan. Pertamina pun berada di bawah kendali Menteri BUMN, Menteri ESDM hingga Presiden Republik Indonesia. Karena itu, rakyat pun layak menggugat pejabat-pejabat negara tersebut hingga ke tingkat Presiden. Para petinggi negara ini layak pula dituntut bertanggungjawab atas kekacauan pengelolaan Pertamina.
Kekacauan berupa produksi migas turun, kilang BBM tidak terbangun, defisit neraca perdagangan dan defisit neraca berjalan telah berlangsung lama, minimal sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014. Sementara itu, posisi para Menteri dan Presiden Jokowi jauh di atas posisi manajemen Pertamina. Karena itu, jika manajemen Pertamina telah menimbulkan kekacauan, minimal sejak 2-3 tahun lalu, lantas mengapa pemerintah tidak melakukan perbaikan?
Bukankah para Menteri terkait dan Presiden bisa mengganti manajemen Pertamina, setiap saat?
Mengapa pemerintah membiarkan para subordinates “pengacau” tetap bercokol di Pertamina?
Di sisi lain, dengan kondisi seperti di atas, maka sebenarnya yang jauh lebih layak digugat rakyat untuk bertanggungjawab adalah sang pemimpin tertinggi, Presiden Jokowi. Beliau membiarkan Pertamina dikelola oleh orang-orang bermasalah yang telah membuat pengelolaan energi nasional terpuruk, sampai-sampai menimbulkan terjadinya double deficit keuangan negara. Apalagi jika dicermati, ternyata penyebab kekacauan terkait kilang dan double deficit berada di luar kontrol manajeman Pertamina. Maka semakin jelaslah sebetulnya siapa yang bermasalah dan kacau; serta siapa yang harus bertanggungjawab.
Sebenarnya beberapa penyebab terjadinya double deficit adalah terus turunnya produksi migas dan minimnya produksi energi substitusi seperti bahan bakar nabati (BBN). Produksi migas turun karena cadangan terbukti terus turun, terutama karena ketidakpastian hukum dan minimnya investasi eksplorasi. Ketidakpastian hukum antara lain disebabkan kesengajaan pemerintah dan DPR untuk tidak segera menuntaskan RUU revisi UU Migas No.22/2001, yang telah menjadi RUU Perioritas dalam Prolegnas selama 10 tahun berturut-turut!
Turunnya cadangan terbukti migas, seperti diklaim beberapa analis disebabkan karena minimnya eksplorasi Pertamina, pun perlu diklarifikasi. Dalam upaya menjaga citra politik menjelang Pemilu 2019, maka harga BBM ditahan untuk tidak naik. Untuk itu pemerintah memaksa Pertamina menanggung subsidi BBM puluhan triliun rupiah. Saat harga minyak dunia pada 2016-2018 terus naik, maka selisih harga jual BBM dengan harga keekonomian harus ditanggung oleh Pertamina dan berdampak pada kinerja keuangan. Jika keuangan bermasalah, bagaimana bisa melakukan investasi eksplorasi yang berisiko tinggi?
Selain beban akibat politik pencitraan di atas, Pertamina pun dipaksa membayar signature bonus hingga Rp 11 triliun guna dapat mengelola Blok Rokan sejak 2021. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan global bond US$ 784 juta pada akhir 2018 di pasar keuangan. Padahal pada 2016 utang Pertamina US$ 25,16 miliar, naik 9% menjadi US$ 27 miliar pada 2017 dan membengkak menjadi US$ 37 miliar pada 2017. Khusus obligasi, nilainya adalah US$ 8,75 miliar pada Oktober 2018 dan naik menjadi US$ 9,5 miliar pada Desember 2018.
Sebenarnya, sesuai Pasal 33 UUD 1945, Pertamina berkesempatan meningkatkan nilai aset dan leverage melalui pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya berakhir pada 2019-2023. Namun kesempatan ini tidak diberikan pemerintah. Untuk blok Corridor misalnya, Kementerian ESDM malah memperpanjang kontrak kepada ConocoPhillips dengan membayar signature bonus sangat rendah. Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi! Kasus ini telah dilaporkan kepada KPK karena berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Pemaksaan pemerintah kepada Pertamina menanggung beban subsidi BBM yang merupakan kewajiban pemerintah (PSO) melanggar Pasal 66 UU BUMN No.19/2003. Pemaksaan Pertamina menanggung beban signature bonus Blok Rokan melanggar Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan MK No.36/2012. Sejumlah blok migas yang kontraknya berakhir pun masih diberikan kepada kontraktor eksisting. Artinya, jika kegiatan eksplorasi mandeg akibat kondisi keuangan perusahaan yang bermasalah, maka yang paling pantas dituntut bertanggungjawab adalah pemerintah, bukan Pertamina!
Selain kebijakan yang “kacau” di atas, guna mengurangi double deficit, pemerintah pun gagal mengembangkan BBN sebagai substitusi BBM berupa pencampuran biodiesel/CPO dengan solar (B20, B30, dst). Program B10 atau B20 tidak berjalan sesuai rencana, berdasarkan Permen ESDM No.25/2013 dan Permen ESDM No. 12/2015 adalah karena rendahnya komitmen pemerintah dan kuatnya pengaruh produsen sawit saat harga CPO global naik.
Begitu pula dengan produksi massal bioetanol yang gagal total akibat rendahnya komitmen dan tidak adanya alokasi anggaran APBN. Program ini merupakan janji kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 yang tak berbekas! Padahal dengan turunnya harga minyak dunia sejak 2015, maka terbuka kesempatan untuk mengalihkan sebagian subsidi BBM di APBN yang tadinya rata-rata Rp 250-an triliun setiap tahun untuk mengembangkan produksi massal bioetanol. Ternyata “tersedianya” anggaran subsidi besar tersebut lebih difokuskan mengembangkan infrastruktur, tanpa sedikitpun dialokasikan untuk pengembangan BBN.
Pernyataan LBP dapat pula diasumsikan bahwa kekacauan di Pertamina karena masih adanya mafia migas. Karena itu sebagai pendobrak, Ahok dibutuhkan untuk memberantas. Dalam hal ini, IRESS sangat skeptis karena sebelumnya terbuka kesempatan kepada pejabat yang pangkatnya jauh lebih tinggi dari Ahok, namun hal itu tidak dilakukan. Menurut mantan Menteri ESDM Sudirman Said, pada 2015 KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. Tetapi justru Presiden Jokowi mengurungkan pelaporan tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu.
Selain itu, jika menelusuri keterlibatan seseorang yang menurut Republika.co.id, Tempo.com dan berbagai media lain, maka yang menjadi mafioso migas utama adalah Tuan MR. Ternyata LBP pun mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Tuan MR seperti tergambarkan dalam rekaman kasus Papa Minta Saham yang diperdengarkan dalam Sidang MKD DPR pada 2 Desember 2015 . Terlepas dari adanya hubungan dekat tersebut, kita sama-sama berdoa, semoga saja Ahok dengan dukungan LBP akhimya dapat membekuk para mafioso, yang sebelumnya gagal dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Namun, jika assesmen kita tujukan khusus kepada Ahok, maka Komut Pertamina ini sebenarnya sangat tidak layak menduduki jabatan BUMN yang keberadaannya dijamin konstitusi tersebut. Ahok terlibat dalam pengelolaan dana off-budget berupa dana-dana CSR, denda KLB, rumah susun, dan lain-lain, yang minimal melanggar UU Keuangan Negara No. 17/2003 dan UU Perbendaharaan Negara No.1/2004. Kedua UU tersebut disusun dan ditetapkan sesuai Amanat Reformasi 1997-1998. Dengan lolos atau malah diapresiasinya Ahok menjalankan menjadi Komut Pertamina, maka sebenarnya Ahok dan yang mengangkat Ahok telah mengkhianati Amanat Reformasi 1997-1998.
Ahok pun telah dilindungi dan diselamatkan KPK dalam kasus korupsi RS Sumber Waras dengan alasan sangat absurd: *mens rea*, tidak punya niat jahat. Padahal alat bukti sudah lebih dari cukup!
Dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta, fakta-fakta persidangan terhadap M. Sanusi dan Ariesman Wijaya pun telah menunjukkan peran dan keterlibatan Ahok dan Aguan. Namun, sekali lagi KPK telah menjadi dewa penyelamat bagi Ahok “Si Pendobrak (?)” dan juga Aguan.
Fakta lain: Jika proyek reklamasi tidak bermasalah secara hukum dan merugikan negara, tak mungkin pembangunan 17 pulau dihentikan hakim-hakim pengadilan. Ternyata proyek reklamasi telah dihentikan pengadilan karena adanya pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara! Artinya, Ahok pantas diadili dalam kasus proyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Dengan berbagai kasus di atas, maka sangat tidak layak bagi LBP mengkampanyekan Ahok. Apalagi kampanye dilakukan sambil menuduh dan mengorbankan lembaga/BUMN dan para pejabat di dalamnya sebagai sumber kekacauan. Padahal kekacauan tersebut, termasuk gagalnya pembangunan kilang dan terjadinya double deficit keuangan negara, justru terjadi akibat kebijakan dan peran para pejabat eksternal Pertamina. Para pejabat tersebut faktanya telah menjadikan Pertamina sebagai objek kebijakan yang melanggar konstitusi dan peraturan!
Terlepas dari tuntutan terhadap para pejabat pemerintah di atas, kita juga harus menggugat manajemen Pertamina, terutama yang berafiliasi atau menjadi antek-antek mafia atau bagian dari oligarki yang merugikan negara. Jika manajemen tersebut terlibat dalam transaksi crude dan BBM yang melibatkan mafia, sengaja memperlambat pembangunan kilang agar impor BBM tetap besar, atau terlibat KKN dalam proyek-proyek, dan lain-lain, maka kita meminta agar hal-hal tersebut segera diusut, diawali dengan audit BPK. Sebaliknya, bagi yang tidak terlibat, karena telah dituduh sebagai pengacau, maka demi menjaga kehormatan, mereka sebenarnya pantas untuk mempermasalahkan pernyataan Menko LBP.
Kalau target LBP hanya untuk mengorbitkan dan menjustifikasi Ahok menjadi Komut Pertamina, maka menjadikan Pertamina dan manajemen Pertamina sebagai kambing hitam menjadi sangat tidak relevan atau bahkan berbau fitnah yang tidak pantas, terutama terhadap manajemen yang telah bekerja profesional dan menjunjung prinsip GCG.
LBP pun harus sadar bahwa dengan pernyataan tersebut, tingkat kepercayaan investor terhadap Pertamina dan BUMN pada umumnya, akan turun atau harus membayar bunga obligasi yang lebih tinggi.
Akhirnya, kita patut bertanya, apa sebenarnya yang menjadi “kehebatan” Ahok, sehingga bisa membuat lembaga-lembaga penegak hukum lumpuh? Bahkan manajemen Pertamina dan sebagian besar karyawan Pertamina pun harus dilabel sebagai pengacau, serta rest of the Indonesian people harus takluk menjadi korban kampanye, demi mempromosikan Ahok! Hal ini tentu tak bisa dibiarkan: *PEOPLE MUST SPEAK OUT!* (*)
(*Disampaikan pada acara Diskusi Publik “Pertamina Sumber Kekacauan?!” di Jakarta, Kamis 19/12/2019).
(*Jakarta, 19 Desember 2019)