“Keenam menteri baru Jokowi sebenarnya adalah orang lama dengan gaya yang berbeda. Sebut saja Sandiaga Uno yang dulu saat masa pencalonan berseberangan dengan Jokowi-Ma’ruf Amin, namun sekarang publik dikejutkan dengan merapatnya Prabowo dan Sandi pada kubu Jokowi,”
Oleh : Juliana Ummu Maryam
Jakarta | Lapan6Online : Presiden Joko Widodo melantik enam menteri baru kabinet Indonesia Maju pada Rabu (23/12/29) pukul 9 pagi yang diselenggarakan di istana negara. Keenam nama menteri dikukuhkan dalam keputusan presiden nomor 133/P tahun 2020 tentang pengisian dan pergantianbbeberapa menteri negara kabinet Indonesia maju periode 2019 -2024.
Keenam menteri baru tersebut yaitu, Tri Rismaharini (Menteri Sosial); Sandiaga Salahudin Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ); Yaqut Choli (Menteri Agama); Budi Gunawan Sadikin (Menteri Kesehatan); Sakti Wahyu Trenggono (Menteri Kelautan dan Perikanan ); dan Muhammad Luthfi (Menteri Perdagangan). (kompas.com, 23/12/2020)
Padahal kita tahu bahwa tidak hanya sekali ini saja Jokowi melakukan reshuffle terhadap menterinya, karena tiap yang dipilihnya selalu saja tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat, khususnya kaum muslim.
Masih melekat dalam ingatan masyarakat bahwa salah satu menteri sebelumnya, yaitu menteri agama, Fahru Razi, pernah mengatakan bahwa bibit radikal itu muncul dari para pengahapal Al-Qur’an, pendakwah dan lain sebagainya yang berbau dengan keislaman. Setiap kebijakan yang dikeluarkan olehnya selalu saja menaruh kebencian pada Islam kaffah.
Kini, keenam menteri baru Jokowi sebenarnya adalah orang lama dengan gaya yang berbeda. Sebut saja Sandiaga Uno yang dulu saat masa pencalonan berseberangan dengan Jokowi-Ma’ruf Amin, namun sekarang publik dikejutkan dengan merapatnya Prabowo dan Sandi pada kubu Jokowi.
Sungguh sangat ironi. Di saat masyarakat Indonesia membelanya mati-matian hingga menghilangkan banyak nyawa saat Pemilu 2019 lalu, namun justru saat ini mereka menghianati rakyat dengan amat kejam.
Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya. Dalam demokrasi, tidak ada lawan atau teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Ya, kepentingan yang hanya memenuhi hawa nafsu semata, yang hanya ingin memperkaya diri dan kelompok tanpa memandang apakah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan merugikan masyarakat Indonesia atau tidak. Benarlah apa yang dikatakan Rasulullah Saw, bahwa “jika suatu urusan tidak diserahkan kepada yang ahlinya maka, tunggulah kehancurannya”. (HR. Muslim)
Jika di alam demokrasi kekuasaan banyak diminati bahkan diminta-minta bak pengemis, namun di dalam sistem Islam kekuasaan adalah sesuatu yang menakutkan dan sesuatu yang setiap insan akan lari dari posisi tersebut, karena menganggap kepemimpinan dalam Islam adalah sebuah tanggung jawab besar, tidak hanya sekadar meriayah atau mengurusi rakyatnya, namun merasa berat jika kelak Rabb Sang Pencipta dan Pengatur meminta setiap pertanggungjawaban di akhirat nanti.
Dalam Islam, proses pemilihan Khalifah, wali, qhodi dan bagian kestrukturan lainnya akan dipilih dengan sangat teliti. Siapakah yang lebih pantas dan mumpuni untuk menjabat di struktur pemerintahan. Sebagaimana ketika Abu Dzar Al-Ghifari meminta agar ia diamanahkan untuk menjadi wali, maka Rasullullah Saw menolaknya dengan lembut dengan mengatakan bahwasanya dia adalah orang yang lemah.
Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)
Secara prinsip, hadist ini memang tidak melarang umat Islam menjadi seorang pemimpin selagi jabatannya didapat dengan cara yang benar dan dijalankan secara tepat (persis penggalan akhir hadis di atas). Sah-sah saja seseorang berikhtiar untuk mendapat posisi tersebut.
Bahkan, kalau merujuk doa yang memohon kepada Allah agar kita menjadi pemimpin bagi orang yang bertakwa (waj’alna lil muttaqiin iimaama), ini mengindikasikan jabatan sebagai pemimpin justru suatu kehormatan.
Sebagai pemimpin, seseorang bisa leluasa menjalankan amar makruf nahi mungkar sekaligus dapat kesempatan berbuat baik lebih banyak kepada publik. Persis hadis Nabi SAW yang mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” Sebab, ia punya kuasa membuat kebijakan dan menggunakan anggaran. Barangkali inilah alasan Nabi Yusuf meminta jabatan bendahara negara pada penguasa Mesir saat itu (QS. Yusuf: 55). Beliau memintanya bukan karena ambisi, tapi semata untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain yang lebih banyak.
Sebaliknya, jika seorang tidak memiliki kemampuan dalam memimpin atau hanya bermodal ambisi, jangan memaksa diri untuk mengejarnya. Selain melarang Abu Dzar sebagaimana hadis di atas, dalam hadis lain Nabi juga melarang Adurrahman bin Samurah yang meminta jabatan kepemimpinan. Beliau menyebut, “Jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada akhirnya, di akhirat nanti akan menjadi penyesalan karena beratnya amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Kata Nabi dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. (HR. Bukhari)
Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi. (HR. Tirmidzi)
Untuk orang seperti ini, tidak ada toleransi menjadi pemimpin. Nabi SAW menyebut, “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Barangkali kekhawatiran atas peringatan Nabi di atas menjadi sebab sosok Umar bin Abdul Aziz ketika didapuk menjadi khalifah pada masa dinasti Umayyah, beliau menangis sejadi-jadinya. Terbayang di pelupuk matanya alangkah beratnya amanah yang diemban, sanggupkah dirinya memikul tanggung jawab yang besar ini? Hal yang paling ia takutkan adalah pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Keyakinan jabatan sebagai amanah inilah yang membuat ia hati-hati dalam mengelola jabatannya. Tak heran bila kemudian ia berhasil membawa kesuksesan bagi negaranya. Bahkan, dalam tempo dua tahun kepemimpinannya ia berhasil membangun tanpa ada lagi fakir miskin di negaranya sehingga uang zakat pun harus diekspor ke negara tetangganya. Wallahu alam bisawab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah