“Makna radikal semakin meluas dan menghantarkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat. Dampak dari hal tersebut, masyarakat menjadi takut memasukkan anak-anak mereka kepesantren,”
Oleh : Siti Maisaroh
Jakarta | Lapan6Online : Baru-baru ini jagad maya kembali diramaikan dengan opini radikalisme, suatu kata yang tidak asing lagi ditelinga kita. Kata yang sering didengungkan dan tersebar luas dimasyarakat melalui jagad maya dan siaran TV kian membuming seiring berjalannya waktu.
Namun, kata ini menyebar ditengah-tengah masyarakat dengan konotasi negatif. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disana akan kita temukan makna-makna radikal, yaitu (1) Secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip), (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), (3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dengan demikian, makna tersebut bisa mengacu pada konotasi negatif atau positif tergantung kepada sudut pandang yang digunakan.
Sebut saja pandangan Bung Karno. Dalam buku bertajuk “Mentjapai Indonesia Merdeka” (Maret 1933), beliau menulis bahwa untuk menuju Indonesia merdeka harus dipimpin oleh sebuah partai pelopor. Apa unsur-unsur penopangnya?
“Diantara obor-obornja pelbagai partai jang masing-masing mengaku mau menjuluhi perdjalanan rakjat, massa lantas melihat hanja satu obor jang terbesar njalanja dan terterang sinarnja, satu obor jang terkemuka djalanja , ja’ni obornja kita punja partai, obornja kita punya radikalisme!”
Jelas makna radikal disini memilki konotasi yang bagus dan positif. Perubahan yang sifatnya mendasar menuju kearah kebaikan. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan beliau bahwa konstruktivisme yang beliau maksud bukanlah konstruktivisme kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian, tetapi konstruktivismenya radikalisme, yang bersifat radical dynamish membongkar tiap batu-alas gedung stelsel imperialisme-kapitalisme, tentulah bermakna positif.
Pada tahun 1918 didirikan Radicale Conceratie, artinya gabungan perkumpulan yang sifatnya radikal. Anggotanya terdiri atas Boedi Oetomo, Serekat Islam, Insulinde dan Indische Social Demoktratische Vereeniging (ISDV). Kemudian diajukkan tuntutan-tuntutan kepada Pemerintah Belanda. Masyarakat kala itu memandang perkumpulan radikal tersebut baik. Mereka memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Namun pada saat ini terdapat gerakan-gerakan Islam atau individu-individu yang melawan kepemimpinan neoimperialisme dan liberalisme-kapitalisme atau hanya sekedar menyuarakan aspirasi mereka atas pemerintahan dan penerapan hukumnya yang semakin menyulitkan masyarakat umum. Mereka juga menyerukan untuk memerdekakan negeri ini dari penjajahan gaya baru dengan solusi menerapkan syariah Islam sehingga mereka dicap radikal dalam makna yang negatif.
Stigma ini bukanlah hal baru. The New York Times, edisi 20 November 1945 memiliki headline ‘Moslem Fantics Fight in Surabaya’. Para pejuang yang mengusir penjajah pimpinan Bung Tomo itu dicap sebagai ‘Moslem Fanatics’. Padahal perjuangan mereka dasarnya jihad fi sabilillah. Teriakannya pun bermuat kalimat takbir: Allahu Akbar! Pada saat rakyat menyanjungnya sebagai pejuang, justru kaum penjajah kala itu menamainya dengan cap negatif ‘Moslem Fanatics’.
Penamaan negatif terhadap istilah radikal ini semakin meluas keranah masyarakat, sebut saja pada tahun 2016, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saut Usman Nasution menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme.
Saut menjelaskan, dari hasil proses profiling timnya di lapangan, 19 pondok pesantren itu terlihat mendukung dan menyemaikan ajaran radikalisme di Indonesia. “Apakah (indikasi itu) sudah valid betul, apakah masih ada penambahan atau pengurangan? Karena di Indonesia ini umat beragama menjalankan ibadah bermacam-macam. Ada yang punya pemahaman itu (radikal) masih wajar-wajar, ada yang punya pemahaman ini sangat luar biasa,” ujar Saut di Jakarta.
Ia melanjutkan, “Tapi intinya, kami melihat 19 (pondok pesantren) ini sudah ada keterlibatan (dengan gerakan radikal), apakah dosennya, pengajarnya, atau termasuk santrinya yang ada dalam kelompok radikalisme yang selama ini diproses hukumnya di Indonesia. Itu kriteria kami.” (Kamis, 04/02/2016, CNNIndonesia)
Tidak berhenti sampai disitu, pemberian stigma radikalisme ini juga menyerang beberapa universitas yang ada. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamli mengatakan hampir semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme. “PTN itu menurut saya sudah hampir kena semua paham radikalisme. Dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi”, kata Hamli dalam sebuah diskusi dibilangan Menteng, Jakarta Pusat (25/5) lalu.
Hamli menjelaskan pola penyebaran paham radikalisme yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan saat ini sudah berubah. Awalnya penyebaran paham tersebut dilakukan di lingkungan pesantren. Namun saat ini, kampus negeri maupun swasta menjadi sasaran baru dan empuk bagi penyebar radikalisme. (Rabu, 30/05/2018, CNNIndonesia).
Tidak hanya sampai disitu, mesjid juga telah terpapar paham radikal. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius menyebut persoalan 40 masjid di Kota Jakarta yang terpapar paham radikal sudah ada sejak 2012.
“Saya dapat informasi penelitian 2012 juga sudah ada itu,” ujar Suhardi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2018).
BNPT, lanjut Suhardi, akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengungkap lebih jauh persoalan ini.
“Nanti kan Kementerian Agama kita minta atensi. Itu kan di bawah Kemenag. Nanti kita minta kembali itu. Kita minta perannya melihat kembali siapa di situ dan sebagainya,” tutur Suhardi. Menurut Suhardi, koordinasi dengan Kemenag diperlukan salah satunya guna melakukan program deradikalisasi. (Kamis 07 Juni 2018, OKEZONE.com)
Berbagai permasalahan diatas semakin memperluas makna radikalisme ditengah-tengah masyarakat. Bukan sekedar ditujukan kepada aliran jihadis dan tafkiri (sikap mengkafirkan pemerintah dan orang lain). Radikalisme juga mulai diarahkan kepada kelompok Islam yang dipandang memiliki sikap intoleran, seperti menolak pemimpin kafir, mengkritisi setiap kebijakan penguasa, dan ditambahkan lagi dengan aktivitas memperjuangkan syariat Islam dan khilafah.
Dikabarkan baru-baru ini kelompok Islam intoleran ini masuk ketengah-tengah masyarakat dan mengubah pemikiran, serta pandangan hidup masyarakat yang mereka sentuh melalui orang-orang yang good looking, seorang hafidz dan memiliki penguasaan bahasa arab yang baik.
Menteri Agama Fachrul Razi membeberkan cara masuknya kelompok maupun paham-paham radikalisme ke masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan, BUMN, dan di tengah masyarakat. Salah satunya dengan menempatkan orang yang memiliki paham radikal dengan kemampuan keagamaan dan penampilan yang tampak mumpuni.
“Caranya masuk mereka gampang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk,” kata Fachrul dalam webinar bertajuk ‘Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara’, di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9).
Fachrul menyatakan orang itupun perlahan-lahan bisa mendapatkan simpati dari para pengurus dan para jemaah masjid. Salah satu indikatornya, orang tersebut dipercaya menjadi imam hingga diangkat menjadi salah satu pengurus masjid.
Setelah mendapatkan posisi strategis tersebut, lanjut Fachrul, orang itu mulai merekrut sesama rekan-rekannya yang memiliki pemahaman radikal lainnya masuk menjadi pengurus masjid.
“Lalu masuk teman-temannya. Dan masuk ide-idenya yang kita takutkan,” kata dia. (Kamis, 03/09/2020, CNNIndonesia.com)
Semakin hari, makna radikal semakin meluas dan menghantarkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat. Dampak dari hal tersebut, masyarakat menjadi takut memasukkan anak-anak mereka kepesantren, begitu pula dengan kampus-kampus negeri maupun swasta. Tidak hanya itu, para orang tua juga melarang anak-anak mereka berlama-lama ataupun ikut kajian yang diadakan dimasjid-masjid, sebab takut terpapar paham radikal yang tidak diketahui indikasi pastinya.
Perang terhadap radikalisme bukan hanya ditujukan kepada person atau kelompok tertentu. Perang ini juga ditujukan terhadap sejumlah ajaran Islam. Taktik yang digunakan adalah menciptakan kriminalisasi dan monsterisasi terhadap syariah Islam, jihad dan khilafah. Sebagaimana keputusan Menag yang menghapus beberapa mata pelajaran agama Islam yang diduga memuat konten radikal dan dapat memecah belah bangsa.
Konten radikal yang termuat di 155 buku pelajaran agama islam telah dihapus oleh Menteri Agama Islam (Menag) Fahrul Razi. Namun, untuk materi khilafah tetap ada di buku-buku tersebut.
“Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme,” ujar Menag lewat keterangan tertulisnya, (Kamis , 2 juli 2020, Terkini.id)
Kendati demikian Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tidak lagi relevan di Indonesia. Menag juga mengungkapkan, penghapusan konten radikal tersebut merupakan program penguatan modernisasi beragama yang dilakuan Kemenag.
“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan ekslusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah” ujarnya.
Selain itu, pada tanggal 07 Desember 2019 lalu, Direktur Kurikulum, Saran, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementrian Agama (Kemenag), Umar menjelaskan yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau ke kanan-kananan atau ke kiri-kirian dihilangkan. Dia juga mengatakan setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian , keutuhan dan toleransi juga dihilangkan “Karena kita mengedepankan pada Islam washatiyah,” kata Umar (Sabtu, 07 Desember 2019, Republika.co.id)
Ditengah derasnya opini yang mendiskreditkan beberapa ajaran-ajaran Islam seperti khilafah dan jihad, tentulah umat membutuhkan penjelasan yang jernih tentang syariah Islam agar tidak terdapat kekaburan didalamnya serta mengetahui apakah yang dimaksud dengan radikal yang sesungguhnya, agar tidak terjadi monsterisasi ajaran Islam yang berujung menjadi ketakutan terhadap hukum-hukum Allah SWT.
Abdullah Daraz dari Maarif Institute menyatakan bahwa jihad bukan satu-satunya terminology yang suka disalah tafsirkan oleh kaum radikal, tetapi juga kata khilafah yang menimbulkan fanatisme buta (Kamis,17 Mei 2018, BBC.com).
Pemantik ini diawali adanya perang melawan terorisme secara global War On Terorism (WOT) adalah arahan dari AS pasca serangan menara kembar WTC 11 September 2001. Publik tidak akan lupa bagaimana pidato Presiden AS George Bush senior ysng terkenal frase you’re either with us or against us (bersama kami atau melawan kami).
Hal ini menunjukkan bahwa AS yang menjadi komando perang melawan terorisme. Isu terorisme yang berujung pada pendiskreditan ajaran-ajaran islam dan orang-orang yang ingin menerapkan Islam secara sempurna dalam naungan Khilafah semakin mencapai puncaknya dan terus digaungkan hingga menimbulkan kecemasan ditengah-tengah masyarakat.
Sikap membenci Islam (Islamophobia) banyak muncul dari kaum kafir. Kebencian dan permusuhan yang tersimpan didada mereka itu membuat mereka bersikap nyinyir terhadap berbagai ajaran Islam, seperti penerapan syariah secara kaffah dan khilafah. Mereka tidak suka dengan berbagai simbol dan syiar Islam.
Mereka gerah menyaksikan geliat semangat hijrah menuju Islam di berbagai kalangan, khususnya para pemuda. Islamophobia ini membuat mereka memusuhi apa saja yang mereka nilai menjadi bagian dari ekspresi keislaman atau manisfestasi Islam, mereka juga berusaha menanamkan Islamophobia kepada orang lain khususnya kepada kaum Muslimin. Tentulah tidak pantas bagi seorang muslim untuk memusuhi ajaran agamanya sendiri.
Berdasarkan kacamata kapitalis liberal, berbagai keterikatan terhadap Islam dianggap berlawanan denag kapitalisme dan liberalisme yang harus diberantas dengan berbagai dalih. Dibuatlah berbagai istilah negatif untuk memojokkannya. Berdasarkan kacamata secular, orang-orang Islam yang taat pada agamanya dituding radikal.
Sejatinya syariah Islam adalah rahmat bagi semesta alam, baik itu jihad maupun kewajiban penegakan kilafah. Kekhilafahan Islam yang pernah eksis memimpin ummat selama 12 Abad telah memayungi dunia dengan hukum yang adil dan mensejahterakan manusia. Spanyol saat berada dalam kekuasaan kaum Muslim dikenal sebagai Negara damai bagi tiga agama: Islam, Yahudi an Nashrani. Kekhilafahan Islam juga memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya dengan pengaturan yang rinci hingga terpenuhi segala kebutuhannya.
Penyesatan opini yang semakin mendiskreditkan ajaran Islam ini harus dihadapi oleh umat Islam melalui aktivitas dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan begitu nantinya masyarakat paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk didalamnya jihad dan penegakan khilafah merupakan rahmat dari Allah SWT dan bukan suatu keburukan.
Dakwah Islam bersifat fikhriyah (pemikiran) dan ‘unfiyah (tanpa kekerasan), sehingga tidak mungkin bagi mereka yang mengamalkan ajaran Islam dengan baik, bahkan menginginkan penerapan Islam dalam kehidupan dapat melahirkan terorisme atau radikalisme sebagaimana yang dituduhkan kepada ajaran Islam dan orang-orang yang mendakwahkannya.
Sejatinya Islam menjadi seseorang menjadi insan yang lemah lembut dan penyayang kepada sesama, serta menjadi masyarakat yang akan mencintai negerinya dengan sebenar-benar cinta atas dasar ketaatannya kepada sang pencipta alam ini. Wallahu a’lam bisshowab. (****)