Penulis: Ray Adi Basri, Pengamat Politik, (*)
Lapan6online.com : Sebelum menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Indonesia, Jokowi adalah pengusaha mebel. Pasti ia punya pemahaman mendalam tentang dunia pertukangan kayu. Betapapun itulah dunia bisnisnya mencari nafkah dan rejeki.
Tukang kayu, selain ketrampilan, pastilah memiliki aneka peralatan. Gergaji, palu, pahat dan aneka uborampe-nya. Tukang yang profesional harus didukung aneka alat dan ketrampilan. Jokowi pasti memilih tukang yang memiliki kualifikasi itu.
Sayang, ketika ia menjadi direktur republik, perusahaan raksasa yang mengurusi segala macam bisnis bangsa Indonesia, Jokowi seperti lupa ilmu dasar itu. Bahwa ia musti memilih tukang dan pembantu yang menguasai aneka alat dan ketrampilan.
Dari sekian banyak peralatan kayu yang dimiliki, agaknya Jokowi paling suka dengan palu. Cetok, cetok, cetok! Suaranya paling keras. Pukul, pukul, pukul. Gebuk, gebuk, gebuk. Ramainya palu memukul dan menggebuk kayu dan paku menjadi pengumuman kepada khalayak, betapa bengkel mebel Jokowi sedang bekerja keras. Kerja, kerja, kerja!
Dari sekian banyak tukangnya, Jokowi seperti mengandalkan tukang kayu yang pandai memainkan palu. Tengoklah misalnya, Menteri Agama Fachrul Razi. Salah satu tukang di bengkel Jokowi yang menuai ramai sejak diangkat.
Baru diangkat, Razi melempar wacana larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi PNS dan di lingkungan kantor pemerintah. Keduanya dianggap indikasi radikal dan ancaman keamanan, penusukan Wiranto oleh Abu Rara yang istrinya bercadar jadi alasan.
Satria Berpalu
Mengapa Jokowi memilih Razi? Alasan yang mengemuka di publik adalah untuk memerangi radikalisme. Maklum Razi tentara, diharapkan ia bisa memukul dengan keras anasir radikal. Ini tugas palu, menjelaskan mengapa Jokowi menambah lagi koleksi palunya.
Jokowi bisa beralasan, Razi bukan Menag pertama berlatar belakang militer. Memang, zaman Orde Baru ada juga beberapa Menag yang dari militer seperti Razi. Ada Jenderal Alamsyah, ada Jenderal Tarmizi. Tapi harus dilihat, dalam konteks apa mereka menjadi Menag. Dan lebih penting lagi, bagaimana gaya menag militer era Orde Baru itu. Baca juga: Fachrul Razi, Menag Pertama dari Kalangan Militer Pasca Orba
Alamsyah terlihat kebapakan, Tarmizi ganteng dan ramah. Mereka jarang membikin ulah dan pernyataan kontroversial. Mereka terlihat santun dan mengayomi. Biarpun jenderal, keduanya terlihat sejuk buat publik. No problem.
Adapun Razi, secara wajah netizen memiripkannya dengan Rhoma Irama. Rhoma tidak ganteng tetapi macho. Penuh percaya diri bermodal suara merdu dan lagu-lagi mendayu. Persoalannya, berbeda dengan Rhoma, lagu Razi seperti gebukan palu, mengejutkan, menggemparkan dan menyakiti telinga. Jika Rhoma satria bergitar, Razi adalah satria berpalu.
Mungkin ada lagi alasan lain, Razi orang Aceh. Suku yang dikenal paling kuat memegang ajaran Islam. Satu-satunya provinsi yang menerapkan syariat Islam dan memiliki polisi syariah. Maka, biarpun tentara, sebagai orang Aceh Razi bakal terlihat pantas memegang Kementerian Agama yang kental nuansa Islam.
Pilihan berdasarkan etnis ini mirip alasan Amerika Serikat memilih Hamid Karzai sebagai presiden Afghanistan setelah melakukan invasi dan mengusur pemerintahan Taliban. Hamid Karzai adalah seorang Pashtun, suku asal Taliban, suku paling keras dalam memerangi penjajah sejak berabad silam.
Diharapkan resistensi rakyat Afghan, yang mayoritas Muslim dan Pashtun, terhadap pendudukan Amerika akan melemah. Memang mereka dijajah dan negerinya diduduki, tapi bukankah yang jadi presiden Muslim dan Pashtun? Karzai diharapkan jadi predator alami bagi pengaruh Taliban. Baca juga: 16 Tahun Invasi AS di Afghanistan: Antara Trump, Karzai, dan Taliban
Pashtun di Afghan mirip Aceh di Indonesia. Bukankah orang Aceh yang paling gigih melawan Belanda? Berlanjut dengan melawan rejim nasionalis di Jakarta, dari era Soekarno hingga SBY?
Di Indonesia, kalau yang dikhawatirkan pembangkangan umat Islam, maka yang paling vital dipegang adalah kementerian agama. Karena kekuatan umat yang satu ini terletak apada iman dan agamanya.
Maka kementerian agama harus dipegang orang yang mau menjalankan agenda deradikalisasi secara radikal. Yang paling cocok ya tentara. Tapi supaya umat tak terlalu resisten, dipilihlah tentara asal Aceh.
Andai ada yang nyinyir soal kebijakan rejim terhadap Islam, maka fatwa Menag akan jadi bumper. Memangnya ada yang lebih paham agama daripada menteri agama?
Kicep, oposisi pun tak bisa lagi memakai dalil Islam untuk mengkritisi rejim, begitulah yang diinginkan. Maklum, tiga tahun terakhir, pemerintahan Jokowi dibuat repot dengan kritik, serangan, bahkan gerakan oposisi yang dimotori oleh umat dan aktifis Islam.
Lalu, andai ada yang nyinyir pada sosok menteri agama, maka Razi yang Aceh akan jadi bull bar-nya. Bull bar adalah tanduk penghalau binatang liar yang menempel di bumper mobil. Biar mobil tak penyok diseruduk bison atau rusa gunung.
Andai ada yang menyerang pribadi Razi, kurang lebih akan dijawab, memangnya ada yang lebih Islami dan militan daripada orang Aceh? Gubrak! Bison pun terpental. Begitulah harapannya.
Ujian bagi Salafi
Langkah Razi sebenarnya bisa jadi bumerang bagi pemerintahan Jokowi. Rekomendasi larangan celana cingkrang dan cadar paling merugikan bagi Salafi. Kelompok yang paling getol, dalam wacana ilmiah maupun pengamalan, dalam sunnah fisik simbolik itu. Padahal mereka adalah loyalis penguasa, siapapun penguasa mereka anggap ulil amri yang wajib ditaati.
Doktrin ulil amri salafi membuat mereka dekat dengan penguasa. Ustadz-ustadz salafi bahkan paling getol membela polisi dan Densus 88 dalam memerangi terorisme Muslim. Polisi pun dengan cerdik memanfaatkan mereka.
Dalam kasus cingkrang dan cadar ini nampak jelas bahwa Razi gagal mengeksploitasi wacana ulil amri salafi. Padahal salafi adalah paham yang paling ramah bagi penguasa, sekaligus paling efektif menjadi predator alami perlawanan Islam.
Salafi begitu garang pada sesama umat Islam yang melawan, atau bahkan sekedar kritis pada pemerintah. Yang berjihad, berdemo atau mengkritik kebijakan pemerintah, semua dilabeli khawarij. Masjid-masjid mereka ramai dengan spanduk “mendukung pemerintah melawan terorisme dan radikalisme.”
Spanduk yang berisi menolak hoaks, radikalisme dan kampanye di tempat ibadah. (sumber: Bekasi Media)
Dakwah salafi yang marak di kalangan PNS bahkan polisi, membawa pengaruh menguntungkan bagi pemerintah. Umat Islam yang menjadi bagian dari birokrasi kekuasaan seolah menemukan oase segar di tengah gurun pasir. Mereka bisa berkarier sambil mengamalkan sunnah.
Arus PNS nyunnah pun mengemuka. Mulailah muncul PNS berjenggot dan bercelana tak isbal di atas mata kaki. PNS perempuan yang berhijab syar’i bahkan bercadar. Kajian-kajian berlabel sunnah marak di perkantoran pemerintah.
Mereka bisa nyunnah tanpa berbenturan dengan penguasa. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun tak bisa melakukan dua hal sekaligus, mendakwahkan tauhid dan sunnah sambil menjadi loyalis penguasa Makkah. Tapi salafi bisa meramu dua hal yang kelihatannya bertolak belakang itu. Sampai Razi terpilih jadi menteri agama.
Kini, Razi menjadi ujian bagi salafi, akankah konsisten dengan doktrin taat pada ulil amri? Kalau iya, siap-siaplah memanjangkan celana dan membuka wajah. Keduanya sunnah, tapi bukankah taat pada pemerintah itu wajib? Jadi Khawarij lah mereka kalau sampai menentang larangan pemerintah itu.
Jika mereka menolak dan tidak taat, berarti ada masalah dalam doktrin mereka terkait ketaatan pada ulil amri. Entah taatnya yang harus dibatasi, atau ulil amrinya yang harus didefinisikan ulang. Biarlah itu jadi PR kalangan salafi.
Jerami Terakhir?
Bagi para loyalis pemerintah, terpilihnya Razi tak hanya ujian bagi salafi, tapi juga mengecewakan NU. Basis pendukung utama Jokowi dari kalangan Muslim. Tradisi puluhan tahun bahwa menteri agama dari NU diabaikan.
Tahun 1950-an, posisi Menag yang tak diserahkan pada NU bahkan membuat NU keluar dari Masyumi. NU pilih bikin partai sendiri, meninggalkan koalisi ormas Islam dalam Masyumi. Gara-garanya Masyumi mengangkat orang Muhammadiyah jadi Menag. Maka pilihan menag baru Jokowi bisa mememudarkan dukungan NU kepada dirinya. Kecuali ia memberikan konsesi setimpal buat NU.
Bahkan Yaqut Cholil, tokoh Banser NU yang paling getol membentengi pemerintahan Jokowi pun berkomentar sinis terkait isu cadar Razi. Menag dianggap tak memahami substansi radikalisme.
Di DPR, di depan para wakil rakyat, Razi berkilah bahwa ia tak melarang cadar dan celana cingkrang. Yang berhak melarang adalah Mendagri dan menteri teknis lainnya, Menag hanya merekomendasikan. Sebuah kilah yang luar biasa cerdasnya.
Ini ibarat mata-mata perampok yang bilang, “Saya tidak merampok, saya hanya menunjukkan rumah sasaran pada kawan saya yang merampok.” Setali tiga uang Bung. Sama jahatnya. Bahkan lebih jahat karena merasa tak bersalah dalam komplotan kejahatan.
Razi juga bilang ia tidak ingin cadar dan celana cingkrang menjadi standar ketakwaan. Cadar dan takwa tidak ada hubungannya. Lalu, apakah melarang ajaran agama sendiri dan mengancam saudara seagama adalah standar kenasionalisan dan kepancasilaan? Celakalah bangsa ini kalau standar ideologinya semacam itu.
Yang disoal Razi memang seolah remeh-temeh, tapi sebatang jerami pun bisa mematahkan punggung keledai. Aneka langkah pemerintah merepotkan dan mengganggu rakyatnya, terutama umat Islam yang mayoritas, ibarat beban yang ditumpukkan di punggung keledai. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Lama-lama punggung keledai akan patah. Baca juga: Jerami Terakhir di Punggung Keledai
Cadar dan celana cingkrang mungkin nampak sepele seperti sebatang jerami. Tapi, bukan tidak mungkin, isu itu menjadi jerami terakhir yang akan mematahkan punggung si keledai. Dalam konteks inilah muncul pertanyaan nakal. Razi kah jerami terakhir di punggung pemerintahan Jokowi? Wallahu a’lam bish shawab. (Kiblat)