OPINI | POLITIK
“Generasi muda seolah dihipnotis dengan keberadaan kurikulum merdeka yang mampu mengakomodir jiwa kebebasan mereka. Selama ada jaminan kebebasan berekspresi maka disitulah esensi pembelajaran,”
Oleh : Zhuhriana Putri, S.Farm
MERDEKA Belajar atau Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM,red) atau Freedom to Learn, Independent Campus, istilah yang begitu populer saat ini khususnya di kalangan akademisi. Ia hadir di tengah makin tersingkapnya aib kegagalan peradaban kapitalisme, yakni sistem pendidikan sekuler.
Kampus Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan.
Dikutip dari laman USU (10/08/2023), Universitas Sumatera Utara sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri turut ikut serta mensukseskan program kerja Kemdikbud Ristek dengan membuka program yang sama dengan cakupan lokal untuk membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi Mahasiswa dan Mitra untuk membangun dan merealisasikan program yang terbaik.
Terdapat 8 program MBKM yang diselenggarakan di kampus USU yaitu Program Riset Merdeka, Program Proyek Kemanusiaan, Program Wirausaha, Program KKN Tematik, Program Magang Bersertifikat, Program Proyek Independen, Program Kampus Mengajar, dan Program Transfer Kredit.
Program Kampus Mengajar ini dilakukan secara mandiri oleh USU dengan beberapa yayasan, pesantren atau sekolah yang telah melakukan kerjasama. Sebagai bentuk otonomi kampus yang sudah berbadan hukum.
Namun, kemana sebenarnya orientasi dari program MBKM ini ? Pengamat Kebijakan Publik, Ir. Retno Sukmaningrum, M.T., menyatakan MBKM adalah produk sistem kapitalisme. Maka berbagai tata aturan dan kebijakan tidak lepas dari standar dalam kapitalisme, yakni sekularisasi yang menjadikan materi sebagai tujuan di setiap aktivitasnya atau “money oriented”. Semua hal dikomersialkan demi teraihnya keuntungan materi.
Begitu pun dalam dunia pendidikan. Jauh sebelumnya, perguruan tinggi (PT) telah ditetapkan sebagai badan hukum. Konsekuensinya, berkurangnya subsidi di bidang pendidikan sehingga kampus berkewajiban mendanai dirinya sendiri.
PT sibuk mencari pemasukan untuk operasional kampus, baik membuat unit usaha lebih kreatif, juga tarikan UKT yang bervariatif pada mahasiswa.
Kurikulum MBKM juga tidak lepas dari mengejar keuntungan materi semata.
Ini bisa terlihat dari penggalan latar belakang munculnya kurikulum MBKM, “Dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja, dan kemajuan teknologi yang pesat, kompetensi mahasiswa harus disiapkan untuk lebih gayut dengan kebutuhan zaman. Link and match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja, tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat.”
MBKM dinarasikan dalam rangka menyiapkan lulusan PT yang tangguh dalam menghadapi perubahan, pada kenyataannya sebatas menyiapkan lulusan PT untuk siap kerja semata. Dan ironinya negara tidak menyiapkan lapangan kerja untuk mereka. Justru sebaliknya, keran terbuka lebar bagi TKA masuk ke Indonesia. Ini terbukti pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Nadiem menyatakan bahwa merdeka belajar bermakna bahwa kampus, mahasiswa, dan dosen memiliki kebebasan untuk berinovasi serta belajar dengan mandiri dan kreatif.
Kebebasan dalam membangun minat tanpa batasan jelas ini sangat berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran dan budaya yang merusak generasi, serta menggerus pemahaman Islam. Sistem pendidikan sekuler terbukti efektif menancapkan tsaqafah Barat pada benak pemuda muslim negeri ini.
Generasi muda seolah dihipnotis dengan keberadaan kurikulum merdeka yang mampu mengakomodir jiwa kebebasan mereka. Selama ada jaminan kebebasan berekspresi maka disitulah esensi pembelajaran. Jelas ini sangat menyesatkan.
Bagaimana pun sebuah negara maju tidak hanya membutuhkan generasi yang cerdas secara teknologi namun juga yang peka terhadap perubahan sehingga bisa berkontribusi demi kemaslahan umat.
Selesai kah persoalan pendidikan dengan hadirnya kurikulum merdeka belajar ini? tentu saja tidak, sebab hanya menyentuh permukaan persoalan. Terus bergantinya kurikulum menunjukkan betapa lemahnya negara ini. Urusan kurikulum yang seharusnya merupakan dasar dari pendidikan nyatanya tak punya konsep baku, sehingga harus sering berganti.
Yang dibutuhkan rakyat bukanlah sekedar pembelajaran yang memberikan kebebasan berekspresi. Namun lahirnya sumber daya manusia unggul yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan agar mampu mengelola negeri ini dengan aturan Allah.
Inilah yang akan mengantarkan negeri ini maju. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan dalam kurikulum yang berasas atau berakidah Islam bukan sekulerisme kapitalisme.
Islam sebagai agama ideologis, yang mengandung akidah dan peraturan telah menjadikan pendidikan sebagai dasar pembentukan kepribadian seseorang. Maka negara yang mutlak membiayai, membangun sarana dan prasarana.
Menyediakan kurikulum berbasis akidah, tak ada otonomi, sebab sejatinya otonomi hanyalah bentuk pengabaian negara dari tanggung jawabnya.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa kunci keberhasilan di dunia pendidikan adalah menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam membangun manusia dan bertujuan membentuk sosok yang berkepribadian Islam. Segala keahlian ilmunya ditujukan untuk menjadi sebaik-baik hamba Allah Ta’ala. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Mahasiswa USU