OPINI
“Kemiskinan yang melanda adalah efek domino dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Mulai dari regulasi yang pro kapitalis dan sangat liberal, bertumpu pada mata uang kertas yang rentan inflasi, menghalalkan transaksi berbasis ribawi, membuka keran investasi kepada asing, menetapkan pajak tinggi kepada rakyat,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2019 jumlah penduduk miskin di kota Medan sebanyak 183,79 ribu jiwa atau sekitar 8,08 persen dari total jumlah penduduk (sumut.idntimes.com, 11/2020). Sebagai kota Industri, Medan memiliki beberapa sektor ekonomi unggulan.
Sektor paling tinggi memberikan kontribusi ekonomi adalah perdagangan, hotel dan restoran. Di tempat kedua, diisi oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, serta diikuti sektor-sektor lain seperti sektor keuangan, persewaan, jasa perusahaan, industri pengolahan, bangunan, dan sebagainya (Balitbang Kota Medan, 2013).
Sektor-sektor tersebut menggambarkan pasar ekonomi kota Medan yang sangat konsumtif dan bergantung kepada pariwisata. Pola ekonomi seperti ini akan berdampak bagi warga yang tidak memiliki keahlian untuk masuk di bidang-bidang tersebut sehingga cenderung hidup di bawah garis kemiskinan.
Anggota DPRD Medan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Syaiful Ramadhan mengatakan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2015, tentang Penanggulangan Kemiskinan harus menjadi pengikat Pemerintah Kota agar benar-benar menjalankan fungsi nya memperbaiki kehidupan masyarakat.
Harapan ini disampaikan, Syaiful Ramadhan saat menggelar sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2015, tentang Penanggulangan Kemiskinan yang dilaksanakan di Jalan Brigjend Katamso, Gg Subur Lama, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, pada Ahad 28/2/2021.
Penanggulangan kemiskinan khususnya di kota Medan tidak dapat diselesaikan jika hanya menerapkan cara-cara instans seperti bantuan langsung tunai (BLT), pekan sembako murah, dan sebagainya karena tidak menyentuh akar permasalahan.
Pemulihan ekonomi di kota Medan terbilang cukup menjadi tantangan bagi pemimpinnya, sebab sebagai kota industri, Medan tidak bisa mengharapkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dari kota tersebut. Adapun sektor perindustriannya tentu bergantung pada pasokan bahan baku yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya. Sektor-sektor unggulan di kota Medan pun dikuasai oleh swasta dan pemerintah mendukungnya dengan gerakan Medan Great Sale yang diadakan setiap tahun.
Mengundang para wisatawan untuk membelanjakan uangnya di kota Medan, sehingga dari sinilah perputaran uang di Kota Medan sangat tinggi. Usaha pemerintah terkesan sudah buntu dengan menyerahkan medan pada investasi-investasi belaka, sementara tidak berkorelasi pada menurunnya tingkat kemiskinan secara signifikan di kota Medan.
Harapan seperti ini akan tinggal harapan jika negara masih menerapkan sitem ekonomi kapitalisme-liberal. Kemiskinan yang melanda adalah efek domino dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Mulai dari regulasi yang pro kapitalis dan sangat liberal, bertumpu pada mata uang kertas yang rentan inflasi, menghalalkan transaksi berbasis ribawi, membuka keran investasi kepada asing, menetapkan pajak tinggi kepada rakyat, dan lain-lain. Mustahil kemiskinan bisa dihapuskan dengan sistem seperti ini.
Berbeda hal nya pengaturan di dalam sistem ekonomi Islam yang berbasis syari’at. Standarnya adalah halal dan haram tanpa terkecuali. Di dalam sistem ekonomi syari’ah antara pemasukan yang haram dan yang halal tidak akan bercampur karena UU Syari’ah akan menghalangi terjadinya transaksi ekonomi yang mengandung keharaman seperti praktik-praktik ribawi, tempat-tempat kemaksiatan, dan akad-akad bathil dalam muamalah. Sehingga poin pertama dalam sistem ini sudah terpenuhi yaitu adanya keberkahan dari Allah ta’ala.
Syari’ah mengatur secara rinci mekanisme pemasukan harta maupun pendistribusiannya yang bersifat adil dan mensejahterakan. Dalam hal ini, negara menerapkan pembagian harta kepemilikan sesuai yang dinashkan oleh syari’ah Islam, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Ketiganya sudah diberi hak dan batasan masing-masing sehingga haram hukumnya menerobos wilayah syar’inya.
Sebagai contoh negara tidak boleh menggusur tanah milik umum dengan kekuasaan perundang-undangan. Negara juga tidak boleh menjual potensi alam milik umum kepada asing sesuka hati tanpa memperhatikan efek buruk domino yang akan diterima rakyat. Negara juga tidak boleh menjadikan pajak sebagai tulang pemasukan. Sebab hal ini sudah dilarang oleh Allah dan RasulNya.
Di dalam negara Khilafah juga tidak dikenal otonomi daerah yang memberikan hak sepenuhnya kepada daerah-daerah untuk mengurus wilayah mereka secara mandiri. Sebab, negara khilafah memandang bahwa pembangunan negara maupun ekonominya harus ditopang secara berjama’ah serta tidak memunculkan adanya daerah yang lebih maju dari daerah lainnya seperti halnya antara kota dan desa yang sangat mencolok perbedaan dalam hal pembangunannya misalnya infrastruktur.
Negara khilafah juga tidak akan terkena jeratan hutang luar negeri yang bersifat ribawi, sebab keuangan khilafah bersifat mandiri dengan mekanisme dinar-dirham yang tidak bertumpu pada mata uang lain. Basis ekonominya adalah sektor real semata, yang tentu saja melarang adanya pergerakan sektor non-real sebagaimana di dalam sistem kapitalisme yang memperdagangkan mata uang sehingga sangat rentan inflasi.
Inilah gambaran singkat bagaimana Islam mampu mengentaskan kemiskinan dengan sistem syari’ahnya. Sudah saatnyalah umat Islam sadar akan kemuliaan mereka jika kembali kepada ukuran Allah dan RasulNya. Wallahu’alam bish showab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis dakwah muslimah Medan dan Pendidik