OPINI | POLITIK
“Menutup celah masuknya virus dengan mengurangi mobilitas (pergerakan manusia) karena pergerakan manusia berarti pergerakan virus. Upaya ini tentu membutuhkan peran besar pemerintah dalam membatasi mobilitas masyarakat,”
Oleh : Dina Aprilya
MENGULANG Kebijakan yang Sama
Kasus Omicron makin meluas, tidak terkecuali di negeri +62. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, per 14/1/2022 kemarin, pasien Corona varian baru mencapai 572 kasus. Dalam satu hari, penambahan kasus ini ada 66,33 kasus berasal dari perjalanan luar negeri dan sisanya transmisi lokal (Detik Health, 14/1/2022).
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi mengimbau masyarakat agar waspada dengan varian Omicron yang penyebarannya lebih cepat daripada varian Delta. Dalam waktu singkat, kasus Omicron sudah mencapai 572 kasus dan di antaranya menginfeksi anak-anak (idxchanel, 14/1/2022).
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan RI, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menerbitkan surat edaran kepada dinas kesehatan provinsi, kabupaten, dan direktur rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan vaksinasi booster. Surat Edaran tersebut bernomor HK.02.02/II/252/2022 tentang Vaksinasi Covid-19 Dosis Lanjutan (Booster).
Pada kesempatan lain, pemerintah akhirnya memutuskan memberikan vaksin booster pada beberapa golongan, utamanya pada lansia dan anak di atas 18 tahun. Vaksin ini akan diberikan setelah masyarakat mendapatkan vaksin kedua.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, hasil studi menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan antibodi pada enam bulan setelah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis primer lengkap sehingga butuh pemberian dosis lanjutan atau booster untuk meningkatkan proteksi individu, terutama pada kelompok masyarakat rentan.
Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) pun menganjurkan pemberian vaksinasi booster untuk memperbaiki efektivitas vaksin yang telah menurun. Vaksinasi booster diselenggarakan oleh Pemerintah dengan sasaran masyarakat usia 18 tahun ke atas dengan prioritas kelompok lansia dan penderita imunokompromais. (kemkes.go.id). Namun, dengan usaha ini, akankah dapat menekan penyebaran Omicron di Indonesia?
Memutus Rantai Penularan Wabah
Secara umum, mekanisme awal untuk memutus mata rantai penularan adalah dari kedisiplinan individu dalam menjalankan protokol kesehatan. Jadi, meskipun vaksinasi telah terlaksana, kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan tetap hal utama. Pemerintah harus mengerahkan upaya untuk melakukan edukasi secara berkelanjutan mengenai protokol kesehatan dan mengontrol pelaksanaannya.
Pengontrolan penerapan 5M tidak boleh lepas dari pengawasan, yakni menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, serta mengurangi mobilitas. Disiplin protokol kesehatan adalah perkara mendasar dalam memutus rantai penularan virus. Vaksinasi sendiri merupakan upaya lanjutan yang berfungsi sebagai proteksi khusus melalui pembentukan kekebalan terhadap virus.
Di Indonesia, penerapan protokol kesehatan hingga saat ini masih menjadi tantangan. Terlebih adanya persepsi yang terbentuk di masyarakat bahwa vaksinasi yang mereka jalani otomatis membuat mereka jauh dari penularan virus. Demikian juga pelaksanaan testing, tracing, dan treatment tidak boleh kendur. Kedisiplinan menjalankan prokes, pelaksanaan 3T, serta vaksinasi adalah rangkaian upaya untuk menekan laju penularan virus.
Vaksin Booster Tidak Cukup
Melihat pesatnya penyebaran Omicron, seyogianya kita tidak boleh sekadar memaksimalkan vaksinasi ketiga, apalagi yang mendapatkan vaksin ini pihak-pihak tertentu saja, tidak semua warga.
Usaha yang paling tepat menangani masalah ini adalah dengan menutup rapat pintu penyebaran secara total. Menutup celah masuknya virus dengan mengurangi mobilitas (pergerakan manusia) karena pergerakan manusia berarti pergerakan virus. Upaya ini tentu membutuhkan peran besar pemerintah dalam membatasi mobilitas masyarakat. Pintu utama masuknya virus ini melalui pelaku perjalanan luar negeri, maka perlu upaya memberhentikan lalu-lalang dalam dan ke luar negeri. Hal ini sesuai saran Trubus Rahadiansyah selaku pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti.
Memang, kebijakan tegas ini akan berakibat buruk bagi ekonomi Indonesia. Belum lagi orientasi pemegang kebijakan masih sebatas kepentingan ekonomi.
Namun, jika negeri ini ingin selamat dari serangan Omicron, pilihan keputusan itu sangat penting.
Paradigma Sekuler
Jika kita telaah lebih dalam akar permasalahan wabah yang tak kunjung selesai serta kebijakan yang saling kontradiktif ini, hal demikian ini bisa terjadi sebagai dampak penerapan sistem pemerintahan sekuler yang mengotak-kotakkan permasalahan. Sistem sekuler menyekat setiap bidang, mulai dari pembagian wilayah agama dengan kehidupan.
Wajar akhirnya terjadi tarik-menarik antarkepentingan. Seperti kebijakan PTM adalah solusi pendidikan, kebijakan membuka tempat wisata adalah solusi bagi ekonomi. Sehingga tidak akan menemukan solusi tuntas dalam setiap permasalahan karena setiap pemangku kebijakan membuat aturan dari sudut bidangnya masing-masing. Ditambah buruknya koordinasi antarkementerian, membuat kebijakan seperti berjalan sendiri-sendiri yang menyebabkan tumpang tindih, bahkan kontraproduktif.
Jika pemegang kebijakan tidak segera mengambil sikap tegas, bukan tidak mungkin kejadian Covid-19 selama dua tahun itu akan terulang. Mengambil satu kebijakan, menutupi dengan kebijakan lain, begitu seterusnya. Ujung-ujungnya rakyat yang jadi korban.
Paradigma Islam tentang Persoalan Manusia
Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan sekularisme. Islam tidak mengotak-kotakkan permasalahan. Seluruh permasalahan yang terjadi di dunia adalah permasalahan manusia sehingga seluruh kebijakan akan fokus pada manusia. Tidak akan ada kebijakan yang kontraproduktif karena semua bermuara pada kemaslahatan manusia.
Pada masa Islam, inovasi dalam mengurai masalah kesehatan tentu belum seperti hari ini. Meski demikian, pola baku pencegahan dan pemutusan wabah telah ada. Antara lain Rasulullah memerintahkan untuk memisahkan antara orang yang sehat dari yang sakit sebagaimana sabda beliau, “Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mengenai karantina wilayah juga masyhur hadis Rasulullah saat wabah melanda wilayah Syam. Rasulullah saw. bersabda, “Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Upaya pengobatan (kuratif) dan rehabilitatif ini tentu membutuhkan peran para ahli. Secara kepakaran dan sumber daya alam, Indonesia adalah negeri muslim yang berpotensi besar untuk mandiri memproduksi vaksin dan obat-obatan lain untuk mengatasi Covid-19. Maka, pada titik inilah dunia riset nasional sangat membutuhkan payung kebijakan politik yang menyeluruh sehingga tidak membuat para ilmuwan berada di persimpangan. Tentu saja asalkan Indonesia mengadopsi ideologi sahih untuk mewujudkan skema vaksin tersebut, yakni ideologi Islam.
Ideologi inilah yang dijamin pelaksanaannya oleh Negara Islam, Khilafah Islamiah. Khilafah akan menerapkan mandat pemerintahan sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Wallahhu A’lam Bishshowab. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien