Oleh : Endah Sefria, SE
MENTERI Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan kunjungan kerja di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Dalam kunjungannya kali ini, dia berkeliling di pusat pasar Medan untuk menawari pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada para pedagang (detiksumut.com, 24/12/2022).
Disebutkan Airlangga, bahwa KUR senilai Rp10 juta bunganya hanya 3% per tahun. Lalu KUR Rp10-RP100 juta tidak pakai agunan dan bunganya hanya 6% satu tahun. Kemudian, untuk KUR senilai Rp100-Rp500 juta diminta agunan tambahan dengan bunga 6% (harianmistar.com, 24/12/2022).
Di tengah terpaan inflasi dan resesi yang mulai dirasakan masyarakat, para pedagang UMKM kini berupaya sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Daya beli masyarakat yang kian melemah dan harga bahan bakar minyak yang naik hingga sekitar 30 persen, ini memperparah keadaan.
Negara memang tidak peka terhadap rakyat kecil. Adapun mereka peduli terhadap UMKM senyatanya hanyalah demi kepentingan. Regulasi negara terhadap pasar bebas saja sebenarnya sudah mematikan usaha rakyat. Impor sesuka hati oleh pemerintah di saat para petani panen raya juga sering dilakukan.
Nah, ini katanya mau peduli kepada rakyat kecil terutama yang memiliki usaha kecil mikro dan menengah. UMKM bisa berjalan ketika masyarakat lancar melakukan transaksi jual beli kepada mereka. Lah, ini masyarakat ditawarkan dengan produk luar negeri yang mutunya lebih baik dan harganya lebih murah, pasti kalah UMKM. Sedangkan UMKM sendiri kalah dibahan baku. Harga bahan baku yang tinggi, negara juga memungut pajak darinya tidak akan bisa memangkas biaya produksi.
Akhirnya, harga UMKM kalah dengan harga produk luar negeri yang harganya relatif lebih murah dengan mutu yang sama, bahkan terkadang lebih baik. Penjualan lintas negara e-commerce itu membunuh UMKM. Namun, banyak diminati oleh masyarakat.
Maka, jika negara memang peduli terhadap UMKM, maka negara membuat regulasi yang tegas dan menjamin bahwa bahan baku yang tersedia dapat diakses dengan mudah dan murah, dan tanpa memungut pajak dari rakyat kecil. Penawaran kredit usaha rakyat (KUR) bukannya solusi. Namun, musibah. Ini namanya jebakan.
Bagaimana tidak, harusnya pendanaan yang diberikan oleh negara bukan dengan embel-embel riba. Konon lagi, mengambil uang riba adalah aktivitas haram yang diyakini oleh kaum muslimin.
Hukum Islam telah melarang riba dengan tegas berapa pun kadarnya, baik banyak maupun sedikit. Kaum muslim dilarang memanfaatkan harta riba. Karena harta riba adalah haram. Allah Swt. berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berpendapat, bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), baginya apa yang diambilnya dulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 275).
Hari ini riba menjadi pilar perdagangan, pertanian dan perindustrian. Bahkan sekadar hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga menjamurlah bank-bank yang menawarkan pinjaman dengan riba meski dengan bunga yang dianggap sedikit. Semua itu adalah akibat hilangnya sistem Islam di dalam kehidupan perekonomian.
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan masyarakat dijamin oleh negara. Untuk kebutuhan pokok, Islam memenuhinya dengan memberikan jaminan kehidupan bagi tiap individu rakyatnya. Ada pun kebutuhan sekunder, maka Islam memberikannya hutang tanpa riba bagi orang yang membutuhkannya. Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidaklah seorang muslim mengutangi muslim yang lain sebanyak dua kali kecuali seperti satu kali.” (h.r. Ibnu Majah).
Menurut Ibnu Taimiyah, negara dan kepemimpinan negara adalah sebagai sebuah kewajiban Islam. Mengatur segala urusan masyarakat adalah sebuah kewajiban. Pelaksanaan kenegaraan Islam pada hakikatnya adalah pelaksanaan hukum syarak dan bukan manfaat dijadikan sebagai tolak ukur. Artinya, jika perbuatan atau regulasi yang berorientasi manfaat bagi umat ini bertentangan dengan Islam, maka hukum syarak yang harus ditegakkan.
Negara mendorong berkembangnya usaha mikro kecil dan menengah, dan memberikannya kesempatan yang sama dengan perusahaan besar. Negara akan mengeluarkan undang-undang perlindungan usaha kecil.
Terhadap lapisan masyarakat miskin, negara berhak memberikan miliknya sebagai pemberian negara berupa tanah, barang dan uang untuk modal usaha. Ini adalah konsep tawazun (penyeimbangan) yang dilakukan oleh negara dalam Islam.
Dalam Islam, secara mutlak negara akan campur tangan dalam masalah luar negeri para pelaku bisnis warga negara asing. Kebijakan perdagangan luar negeri tidak menganut sistem perdagangan bebas. Negara Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi yang lain. Negara juga akan mematok bea cukai yang tinggi untuk menghalangi masuknya barang dalam negeri.
Demikianlah pengaturan negara yang pro terhadap rakyat kecil, terkhusus perlindungan terhadap UMKM. Regulasi ini hanya bisa diterapkan dalam kancah negara yang menerapkan konsep perekonomian Islam secara total.
Wallahualam bissawab. (*)
*Penulis Adalah Praktisi Ekonomi