Menulis Sekedar Untuk Mengingatkan Bahwa Kita Pernah Hidup

0
6
Jacob Ereste/Foto : Ist.
“Sampai pada akhirnya ia menyimpulkan itu semua semacam bentuk dari sakit jiwa orang kebanyakan, seperti mereka yang selalu merasa lebih benar dan lebih baik dari orang lain,”

Oleh : Jacob Ereste

SEMANGAT seorang kawan penulis yang giat membagikan buah pikiran, liputan atau semacam karya hasil investigasi untuk berbagai media yang dia bagikan secara terbuka melalui media sosial berbasis internet, sepenuhnya beranjak dari hasrat untuk meninggalkan kenangan yang bagus, ketika kelak dia sudah tak ada lagi di bumi, karena sudah pergi ke dunia sana yang tidak terlalu dipercayai oleh banyak orang, bahwa yang disebut akhirat itu lebih indah dari keindahan yang ada di bagian dunia mana pun.

Kecuali itu, secara yang lebih bersifat pribadi dari hasrat yang diusung oleh semua karya tulisnya itu itu — news, report atau opini hingga fiksi — sepenuhnya pula dia sadari sebagai penghibur diri agar tidak terlalu serius menerima usia tua yang semakin renta. Bersamaan dengan itu, dia pun sadar bahwa semua bentuk kerja kerasnya membuat tulisan yang dibagikan secara terbuka kepada khalayak pembaca, semacam upaya mengkontrol diri agar tidak pikun, tidak jumawa dan mau mendengar banyak keluhan orang lain yang tidak mendapat tempat untuk dicurahkan sebagai bagian dari Terapy psikologis sifatnya.

Karena itu, diam-diam dia merasa mampu meningkatkan dirinya pada great berikutnya sebagai manusia yang mempunyai sedikit kelebihan untuk mendengar dibanding hasrat untuk pasang omong seperti orang kebanyakan. Sehingga terkadang, mereka sedemikian bernafsu untuk pasang omong itu, lupa untuk meminjamkan pula telinganya guna mendengar apa yang hendak diperkarakan juga oleh orang lain.

Pengalaman dari beragam forum diskusi atau kelompok kajian, sampai hari ini masih dominan banyak orang yang mau ngomong tapi enggan mendengar omongan orang lain. Sampai pada akhirnya ia menyimpulkan itu semua semacam bentuk dari sakit jiwa orang kebanyakan, seperti mereka yang selalu merasa lebih benar dan lebih baik dari orang lain.

Dari pengalaman kawan itu sebagai penulis sepanjang hayatnya dia yakin sekali bila menulis itu pun sebagai terapy psikologis, untuk bisa mengendalikan diri agar tidak selalu bernafsu memonopoli pembicaraan dalam berbagai kesempatan yang selalu lupa diri memberi waktu kepada orang lain mengutarakan juga apa yang hendak dikatakannya terkait dengan topik pembahasan yang tengah menjadi tajuk bincang bersama itu.

Dalam konteks ini, sebetulnya bisa juga menjadi penakar sikap egoistik — atau semacam hasrat untuk unjuk diri — bila dengan cara mampu menguasai pembicaraan dalam satu forum — begitu pula sesungguhnya egosentrisitas yang bersangkutan dalam bentuk ketamakan dan kerakusan, termasuk bila kelak yang bersangkutan jadi penguasa.

Pemahaman dan Kesadaran diri untuk memahami hasrat psikologis dari orang lain ini, sangat penting guna memantapkan diri guna menjaga keteguhan hati untuk selalu menghargai eksistensi dari orang lain. Setidaknya, dengan cara begitu bisa mengurangi sikap jumawa dan sombong, agar tidak sampai merasa lebih super — apalagi sampai terkesan menggurui atau menceramahi lawan bicara yang ada — yang sangat mungkin tidak sepenuhnya kita pahami siapakah gerangan mereka itu yang sesungguhnya.

Menulis bagi seorang kawan penulis kita ini, merupakan kesaksian tak hanya sebatas kejadian yang pernah dia saksikan atau dia ikuti secara seksama sekemampuan daya serap dari dirinya sebagai manusia yang juga sangat terbatas dalam banyak hal, tapi setidaknya dari kesaksiannya itu — diam-diam dia sadari sebagai pertanda bahwa dia pernah hidup, dan kelak perlu meninggal jejak meski tidak cukup untuk dibilang sempurna, tapi itulah tanda dari batu nisannya kelak yang bisa dibaca oleh semua peziarah.

Karena itu, untuk membukukan tulisan yang pernah dia buat — dan sudah termuat dalam berbagai media massa — tidak lagi menjadi harapan seperti yang pernah membuatnya mabuk kepayang. Apalagi setelah ada provokasi dari sejumlah kawan dan sahabatnya yang lain, bahwa ratusan jumlah harta tulisnya itu bisa memberi daya pukau tersendiri mulai dari dimensi spiritual, semangat hidup dan semangat berkarya — utamanya dalam ikut menjaga tradisi dan budaya kepustakaan dalam bentuk buku. Tentu saja tradisi dan budaya membuat buku itu patut dijaga bersama agar budaya membaca dapat juga dipertahankan supaya tidak sampai punah.

Jadi budaya menulis bagi kawan penulis kita ini, mulai dia pahami tidak lagi saklek harus dipahami menjadi buku. Karena dia pun pernah berpikir, mungkin dengan berserakan sejumlah karya tulisnya di berbagai media, arsip, perpustakaan, boleh jadi sesungguhnya bisa mendatangkan nilai lebih tersendiri.

Sama halnya ketika lawan-kawannya yang lain mendengar rencananya untuk membukukan ribuan jumlah karya tulis yang sudah dia tulis dan sudah pula dia publikasikan melalui berbagai media massa yang ada, tak sedikit kawan dan sahabatnya yang ikut mengirimkan kembali arsip tulisan yang ada dalam arsip pribadi mereka.

Atas dasar itu pula, dia semakin menyadari bila untuk membukukan ribuan karya tulis yang sudah dia buat sejak beberapa tahun silam itu, tidaklah terlalu penting untuk dimonumentalkan dalam bentuk buku hingga menjadi semacam bunga rampai. Toh, untuk menyaingi Wulangreh atau seperti kitab Ila Galigo yang dahsyat itu, seperti tidak mendapat tempat dalam khazanah kepustakaan hati dan jiwa di jaman milenial sekarang ini.

Bukankah sepenggal syair puisi Chairil Anwar telah menjadi pesan keabadian, bahwa, “sekali, setelah itu mati”. Dan do’anya untuk hidup seribu tahun lagi telah terkabul nyaris dalam semua karyanya yang terus setia menemani hidup dan penghidupan kita sampai hari ini. Sebab legacy ternya tidak harus mewah, tapi yang mengesankan dan meninggalkan bantak kenangan. (Tangerang, 16 Juli 2023). (*)