Oleh : Zhuhriana Putri (*)
Lapan6online.com : Pada hari Senin, 22/06/2020, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebagaimana yang diberitakan Detiknews, mereka meminta adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi.
Salah satu tuntutan yang mereka soroti adalah soal pembiayaan kuliah di masa pandemi. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen.
Di hari yang sama, dilansir dari BantenNews (22/06/2020), puluhan mahasiswa yang
tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten melakukan aksi demo terkait tuntutan penggratisan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di depan Gedung Rektorat UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Presiden Mahasiswa UIN Banten, Ade Riad Nurudin, mengatakan pihak kampus tak serius menanggapi keluhan mahasiswa.
Meski begitu, Ade mengaku bahwa rektorat sempat memberikan janji untuk memberikan subsidi berupa gratis kuota internet untuk mahasiswa, namun hingga saat ini belum diberikan. Meskipun sebelumnya Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri telah menyepakati untuk menerapkan 4 skema pembayaran UKT di masa pandemi, yaitu:
1. Penundaan Pembayaran, pembayaran UKT bisa ditunda apabila orang tua dari mahasiswa memang terdampak Covid-19 secara ekonomi;
2. Pencicilan Pembayaran, selain ditunda agar tidak memberatkan pembayaran UKT juga bisa dilakukan dengan cara dicicil;
3. Menurunkan Level UKT;
4. Pengajuan Beasiswa (Kompas.com, 05/06/2020). Dan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menganggarkan Rp 1 Triliun untuk program Dana Bantuan Uang Kuliah Tunggal (Kompas.com, 21/06/2020), namun sejumlah mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi masih belum mendapatkan apa yang telah dijanjikan dalam kebijakan tersebut.
Pendidikan, Hak Warga Negara dan Juga Tanggung Jawab Negara.
Di masa pandemi ini, seluruh lapisan masyarakat merasakan krisis dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu juga yang dialami oleh mahasiswa yang tidak bisa maksimal dalam menjalani perkuliahan karena dilakukan secara daring. Maka tuntutan mahasiswa terkait adanya subsidi pembayaran UKT di masa pandemi adalah hal yang lumrah.
Meski kuliah dilakukan secara tidak tatap muka, namun mahasiswa masih terbebani biaya kos yang harus tetap dibayar dan juga adanya biaya tambahan untuk membeli kuota data internet demi berlangsungnya pembelajaran secara daring.
Pendidikan merupakan hak warga negara yang menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhinya. Karena pendidikan adalah kebutuhan dasar yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh rakyat. Islam begitu mengutamakan pendidikan, bahkan seorang muslim diwajibkan dalam menuntut ilmu. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (H.R. Ibnu Majah No. 224).
Maka seharusnya pemimpin kaum muslim saat ini tidak melalaikan kewajiban utamanya dalam mengurus urusan umat. Apalagi dalam memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang menjadi kewajiban atas setiap Muslim.
Melalaikan pemenuhan hak warga negara sama saja dengan melalaikan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah Swt.
Suara mahasiswa dalam menuntut hak pendidikan merupakan kritik terhadap kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas dan mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat baik saat adanya pandemi maupun tidak.
Tanpa adanya kritik terhadap kelalaian negara dalam menjalankan kewajibannya akan melestarikan pelayanan tata kelola masyarakat yang menyengsarakan karena lepasnya tanggung jawab penuh negara.
Dengan memaklumi kehadiran negara yang hanya berwujud dalam penurunan Uang Kuliah Tunggal di masa pandemi sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler yang akan mengamputasi potensi generasi mahasiswa sebagai khairu ummah, sebaik-baiknya ummat.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, negara hanya menjadi regulator dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri demi menggapai pendidikannya. Jika pun ada subsidi yang diberikan, jumlahnya tidak signifikan dibandingkan besarnya jumlah mahasiswa.
Sistem kapitalisme membuat pendidikan semakin mahal. Ada uang, maka ada pendidikan. Tanpa ada uang, maka rakyat dibiarkan bertahan dalam kebodohannya.
Sistem yang sangat kejam dan tak manusiawi. Sungguh berkebalikan dengan sistem Islam yang sangat memprioritaskan ilmu sehingga setiap rakyat akan dilayani sepenuhnya dalam mendapatkan pendidikan setinggi mungkin bahkan diberikan secara cuma-cuma (gratis).
Khilafah menjamin pendidikan secara gratis sejak jenjang dasar hingga jenjang universitas. Dalam kehidupan normal saja, negara menyediakan kampus, asrama, buku, alat tulis, perpustakaan, laboratorium, fasilitas kesehatan, bahkan baju ganti untuk para mahasiswa.
Begitu juga dalam kondisi pandemi, pendidikan diatur sedemikian rupa agar mampu mendukung penyelesaian wabah. Kampus diarahkan untuk meneliti obat dan vaksin yang mampu mengobati penyakit wabah.
Pendidikan dalam Khilafah tidak hanya beres dalam urusan biaya UKT tetapi juga menghasilkan solusi dalam penanganan wabah. Sehingga para mahasiswa tidak disibukkan dalam memikirkan nasibnya untuk memenuhi pembayaran uang kuliah dan perlengkapan lainnya dalam mendukung aktivitas pendidikan.
Begitu luar biasanya kualitas pendidikan dalam sistem Khilafah Islamiyah. Sudah saatnya mahasiswa berjuang untuk tidak hanya menuntut adanya penurunan biaya UKT, namun juga untuk menuntut adanya perubahan sistem pendidikan dari sistem pendidikan sekuler menjadi sistem pendidikan Islam. Dari sistem yang dijalankan penguasa berwatak pengusaha menjadi sistem yang melayani dengan pelayanan terbaik. (*)
*Penulis adalah aktivis Mahasiswa, Fakultas Farmasi Universitas.