Penulis: Chandra Purna Irawan SH MH. (*)
Lapan6online.com : Tulisan yang saya publikasikan ini adalah catatan dari surat yang saya kirim kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/UN), International Criminal Court (ICC), ASEAN dan OKI. Saya menyampaikan pendapat bahwa apa yang terjadi di Uyghur adalah dapat dinilai sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma (The Rome Statute of the International Criminal Court ) “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya tindakan berikut ini:
d.Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e.Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g.Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
a.Penghilangan paksa;
b.Kejahatan apartheid;
c.Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma (The Rome Statute of the International Criminal Court );
a. Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;
b. Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;
c. Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak;
d.Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;
e. Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;
f. Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;
g. Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif;
h. Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tesebut;
i. Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.
SERANGAN MELUAS DAN SISTEMATIK
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, salah satu unsur penting pada Kejahatan Kemanusian yaitu serangan yang meluas atau sistematik dengan tujuan penduduk sipil. ‘serangan yang meluas’ dapat dilihat dari jumlah korban dan skala serangan yang sehingga menimbulkan efek yang serius dan tidak terbatas. Kemudian ‘sistematik’ dicerminkan oleh suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap.
Pengertian “luas atau sistematis” merupakan syarat fundamental yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan umum lainnya yang tidak digolongkan ke dalam kejahatan oleh hukum internasional. Pengertian “luas” mengacu pada jumlah korban. Konsep ini meliputi kejahatan yang besar-besaran (massive), berulang, berskala besar, dilaksanakan secara kolektif dengan tingkat keseriusan yang tinggi.
Pengertian “sistematis” memperlihatkan adanya pola atau rencana yang terorganisir secara rapi yang membedakannya dengan tindakan atau insiden yang bersifat berdiri sendiri atau pun acak. Putusan Akayesu menyebutkan bahwa konsep “sistematis” dapat didefinisikan sebagai pola yang terorganisir secara rapi dan mengikuti suatu pola yang didasarkan pada suatu kebijakan yang umum yang melibatkan sumber daya, baik dari negara mau pun swasta.
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa kebijakan tersebut diadopsi harus secara formal sebagai kebijakan negara. Namun harus ada perencanaan atau kebijakan yang telah dipersiapkan dengan matang sebelumnya Unsur luas (widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan kedua-duanya. Artinya, kejahatan tersebut bisa saja dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas saja atau sistematis saja.
Kejahatan kemanusiaan tidak harus selalu terjadi didalam wilayah perang, tetapi kejahatan kemanusiaan merupakan Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah dan Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Aktivitas seperti ini memberikan dampak yang sangat luas dan dilakukan secara sistematik.
Berdasarkan berita ada dugaan kuat bahwa Pemerintah China sejak tahun lalu, ratusan ribu dan mungkin jutaan warga Uighur yang tidak bersalah dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang di barat laut Cina telah ditangkap secara tidak adil dan dipenjara oleh pemerintah Cina yang disebut sebagai “sekolah/tempat pendidikan ulang politik.”
Ada laporan kredibel tentang penyiksaan dan kematian di antara para tahanan. Pemerintah China mengatakan sedang memerangi “terorisme” dan “ekstremisme agama.” Atas nama memerangi teroris, pemerintah china tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, jika ingin menumpas pelaku teroris, lakukanlah dengan menegakkan hukum kepada pelaku teror bukan malah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara massal dan meluas. Pemerintah Cina memperluas jaringan kamp-kamp interniran dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis yang dirancang untuk membasmi agama dan budaya mereka.
Berdasarkan Statuta Roma dan pasal 6 huruf c undang-undang/piagam pengadilan militer internasional;
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan.
Saya melakukan analisa tindakan terhadap etnis uighurs di china termasuk kejahatan kemanusian atau tidak. saya menggunakan 2 (dua) methode yaitu actus reaus (tindakan/perbuatan) dan Mens Rea (niat jahat).
PERTAMA, ACTUS REUS. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma (The Rome Statute of the International Criminal Court ) “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya tindakan berikut ini:)
e.Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g.Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h.Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
a.Penghilangan paksa;
b.Kejahatan apartheid;
c. Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Untuk menilai tindakan terhadap etnis uighur masuk kategori kejahatan kemanusia, maka hal tersebut harus disesuaikan dengan kriteria ACTUS REUAS (tindakan atau perbuatan) yang termaktub didalam pasal 7 ayat (1) Statuta Roma. Untuk menjawab kriteria ini, saya akan mengetengahkan peristiwa yang terjadi berdasarkan media internasional dan laporan dari lembaga internasional, yaitu;
1. Kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW) telah mengirimkan laporan kepada komite PBB yang telah mendokumentasikan terkait klaim penahanan massal di kamp-kamp, di mana mereka diminta bersumpah setia kepada Presiden Cina Xi Jinping. Kongres Uighur Dunia mengatakan dalam laporannya bahwa para tahanan ditahan tanpa dakwaan dan dipaksa untuk meneriakkan slogan-slogan Partai Komunis.
2. Pemerintah Cina menerapkan kebijakan yang melarang warga negara memelihara jenggot yang panjang dan menggunakan jilbab di depan umum. Pemerintah China menuduh bahwa kekerasan atau kerusuhan telah terjaddi dilakukan oleh militan dan separatis Islam, namun kelompok hak asasi manusia mengatakan kerusuhan itu terjadi sebagai reaksi terhadap kebijakan represif Pemerintah China dan mengatakan bahwa kebijakan baru Cina di wilayah itu malah akan mendorong sejumlah warga Uighur untuk menjadi ekstremis. Mereka menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam “kegiatan keagamaan ilegal,”, kegiatan keagaamaan yang tidak mendapatkan izin disebut sebagai kegiataan keagaaman ilegal, dan membungkam ‘ulama’ di Kashgar yang dituduh menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash (China ‘s Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence” (2009, PDF) published in Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law).
Kedua, MENS REA. Untuk membuktikan bahwa tindakan yang sedang dilakukan terhadap orang Uighur adalah tindakan kejahatan terhadap manusia. Saya menggunakan unsur-unsur kriminal sebagai berikut;
1. Niat sudah ada sebelum tindakan dijalankan. “Mens rea pasti sudah ada sebelum tindak kejahatan dilakukan. Namun, tindakan individu tidak memerlukan persiapan; satu-satunya pertimbangan adalah bahwa tindakan tersebut memang diarahkan untuk melanjutkan tujuan yang menjadi ciri khas mens rea. Tujuan khusus ini membedakan kejahatan kemanusiaan dengan kejahatan pembunuhan biasa.
2.Niat bisa diperoleh berdasarkan kesimpulan. Niat, yang dibuktikan berdasarkan kasus per kasus, dapat diperoleh atas dasar bukti material yang disampaikan kepada Majelis termasuk bukti yang menunjukkan pola perbuatan yang dilakukan secara konsisten oleh terdakwa. Bukti dugaan tindakan dapat membantu Majelis untuk menentukan niat terdakwa, terutama ketika kata-kata dan perbuatan terdakwa tidak dengan jelas menggambarkan tujuan dari tindakannya. Meskipun demikian pengadilan mencatat bahwa penentuan niat terdakwa harus diimbangi dengan perbuatan yang membuktikan apa yang telah dilakukannya. Pengadilan berpendapat bahwa niat terdakwa harus ditentukan berdasarkan kata-kata dan perbuatannya, dan harus dibuktikan dari pola tindakan yang dimaksudkan.
Niat dapat disimpulkan dari faktor-faktor berikut;
1. Keberadaan tindak pidana konteks umum yang dilakukan oleh aktor yang sama atau berbeda yang secara sistematis diarahkan terhadap kelompok yang sama
2. Skala tindakan yang dilakukan
3. Bentuk umum dari kekejaman atau kejahatan yang terjadi di wilayah tersebut
4. suatu tindakan dilakukan dengan sengaja dan sistematis dengan korban yang ditargetkan berdasarkan keanggotaan kelompok tertentu dan tidak menargetkan kelompok lain
5. Kebijakan politis yang mendasari tindakan-tindakan tersebut
6. Ada pengulangan dari tindakan-tindakan yang bersifat merusak dan diskriminatif
Apakah muslim uyghur termasuk kedalam kelompok yang wajib dilindungi berdasarkan hukum internassional? Saya menegaskan bahwa muslim Uyghur adalah kelompok yang wajib dilindungi. Ada 4 (empat) kelompok yang dimungkinkan menjadi target kejahatan internasional, yaitu kelompok bangsa, etnis, ras dan agama.
Kelompok bangsa adalah sekelompok orang yang secara bersama menerima keterikatan secara hukum dalam suatu kewarganegaraan yang sama, dengan timbal balik antara hak dan kewajiban. (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu)
Kelompok etnis adalah suatu kelompok yang memiliki persamaan dalam bahasa atau budaya (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu); atau kelompok yang membedakan dirinya sendiri, atau kelompok yang diidentifikasikan oleh kelompok lainnya, termasuk pelaku kejahatan (diidentifikasikan oleh kelompok lain). (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Kayishema dan Ruzindana.
Kelompok ras adalah suatu kelompok yang didasarkan pada ciri-ciri fisik yang turun temurun yang seringkali diidentifikasikan dengan wilayah geografis, selain bahasa, kebudayaan, kewarganegaraan serta agama. (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu)
Kelompok agama adalah suatu kelompok di mana anggotanya memiliki agama, serta bentuk pemujaan yang sama. (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu).
Berdasarkan penjelasan saya diatas, saya berpendapat bahwa yang terjadi di uyghur adalah kejahatan kemanusian.
Saya menyeru kepada seluruh manusia yang masih memiliki hati nurani untuk bertindak menghentikan kejahatan kemanusian tersebut. Dan saya juga menyeru kepada UN, ICC, ASEAN dan OKI untuk segera terlibat aktf, serius untuk menghentikan Pemerintah China agar tidak berdampak lebih serius.
Dengan adanya kewenangan OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari ICC tidak harus bersifat pasif dan menunggu adanya laporan. Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), proprio motu adalah kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (“OTP”) di International Criminal Court (“ICC”), untuk memulai investigasi atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 Statuta Roma)
Menurut Siebert Fohr dalam makalahnya berjudul The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions, kewenangan ini diberikan kepada OTP untuk mengatasi keengganan negara pihak Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan kejahatan internasional, karena alasan-alasan politis.
Tentunya, kewenangan ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa adanya tahapan dan pertimbangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Statuta Roma, sebelum melaksanakan investigasi proprio motu, OTP harus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya dari negara yang berkepentingan, badan-badan PBB, organisasi internasional (pemerintah dan non-pemerintah), dan sumber lain yang dapat dipercaya.
Setelah informasi selesai dikumpulkan, OTP lalu mengajukan permohonan investigasi pada pre-trial chamber ICC (majelis hakim yang bertugas untuk menentukan investigasi, surat penangkapan, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk jalannya persidangan ICC). Dalam laporannya, OTP harus menunjukkan informasi dan aspek-aspek terkait secara jelas kepada pre-trial chamber (lihat Pasal 15 ayat 3 Statuta Roma).
Ada lima aspek yang harus dipertegas oleh OTP yakni:
1. Derajat kejahatan (scale of the crimes);
2. Tingkat kekejaman kejahatan (the severity of the crimes);
3. Sifat sistematis dari kejahatan (the systematic nature of the crimes);
4. Bagaimana kejahatan itu dilakukan (the manner in which they were committed); dan
5. Dampak kejahatan kepada korban (the impact on victims).
Kelima aspek ini lazim disebut dengan _lgravity threshold atau gravity requirements. Setelah disetujui, jaksa dapat melaksanakan investigasi atas kejahatan internasional yang telah terjadi. ketentuan proprio motu dalam Statuta Roma adalah hal yang menjadi pembeda ICC dengan pengadilan internasional lainnya seperti International Criminal Tribunal for Rwanda atau International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia.
Wallahualambishawab.(*)
*) Penulis adalah Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan Sekjend LBH PELITA UMAT